Mogok Kerja Menyusahkan Masyarakat, Karyawan Pertamina Diminta Buka Hati

Selasa, 28 Desember 2021 – 22:25 WIB
Gedung Pertamina. Foto: dok Pertamina

jpnn.com, JAKARTA - Ancaman aksi mogok kerja yang dilayangkan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) di sejumlah titik strategis berisiko menghambat aktivitas bisnis PT Pertamina (Persero).

Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Indonesia (UI) Prof Aloysius Uwiyono mengatakan serikat pekerja tidak seharusnya hanya mengajukan tuntutan secara agresif, tetapi juga sebaiknya membuka diri terkait dengan segala upaya penyelesaian yang telah ditempuh oleh perusahaan pelat merah itu.

BACA JUGA: Pekerja Pertamina Ancam Mogok, Mufti Anam Ingatkan Soal Kepentingan Bangsa

"Serikat pekerja jangan hanya menuntut saja tetapi juga membuka hati. Kalau bisa mogok kerja itu tidak dijalankan, jadi harus musyawarah untuk mufakat," ujarnya, Selasa (28/12).

Dia menambahkan, aksi ini juga berisiko merugikan pekerja yang tergabung di dalam FSPPB.

BACA JUGA: Pertamina Jamin Stok BBM hingga Energi Aman selama Nataru

Sebab, jika perusahaan tidak bisa beroperasi akan menimbulkan efek yang cukup besar lantaran terhambatnya pasokan minyak.

"Pastilah mengganggu pasokan minyak karena mereka demo kan tidak bekerja. Distribusi minyak juga terhambat," kata dia.

BACA JUGA: Kepedulian Pertamina untuk Korban Erupsi Semeru, Patut Dicontoh BUMN Lainnya

Sementara itu, Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu (FSP BUMN Bersatu) menilai ancaman mogok kerja yang dilayangkan oleh FSPPB kontraproduktif dan berisiko menghambat proses pemulihan ekonomi nasional.

Pasalnya, Pertamina merupakan perusahaan pelat merah yang memiliki peran vital dalam perekonomian negara.

Selain itu, oeprasional bisnis Pertamina juga menyangkut dengan hajat hidup orang banyak.

Dengan demikian, ancaman mogok itu merugikan sebagian besar pekerja Pertamina dan mengancam keberlangsungan usaha masyarakat yang selama ini mendapatkan efek berganda dari bisnis perusahaan tersebut.

"Kami menyayangkan rencana aksi mogok tersebut, karena tidak sesuai dengan tujuan berorganisasi dari serikat pekerja," kata Sekjen FSP BUMN Bersatu Tri Sasono.

Salah satu dasar dari munculnya ancaman ini adalah adanya rencana kebijakan agile working yang berdampak pada pengaturan mekanisme kerja fleksibel alias work from home (WFH).

Akan tetapi, manajemen Pertamina memastikan untuk tidak menerapkan mekanisme tersebut sehingga tidak ada pemangkasan gaji karyawan.

Sejalan dengan hal itu, Tri menilai ancaman mogok kerja tak lagi relevan.

Sementara itu, jika masih terjadi adanya silang pendapat antara pekerja dengan pihak manajemen menurutnya harus diselesaikan secara bipartit sehingga bisa meminimalisasi gejolak.

"Kalau hanya karena masalah buntunya penyusunan PKB (Perjanjian Kerja Bersama) seharusnya diselesaikan dengan jalan dialog," ujarnya.

Tri optimistis penyelesaian melalui dialog secara bipartit akan efektif untuk menemukan solusi terbaik.

Terlebih, selama ini Pertamina dikenal sebagai salah satu perusahaan yang memprioritaskan kesejahteraan karyawan.

Di sisi lain, desakan FSPPB kepada Menteri BUMN Erick Thohir untuk mengganti Direktur Utama Pertamuna Nicke Widyawati juga tak cukup beralasan.

Musababnya di bawah kepemimpinan Nicke Pertamina berhasil mencatatkan kinerja yang ciamik.

Pada semester I/2021, Pertamina menyumbang penerimaan negara senilai Rp 110,6 triliun, yang terdiri dari Rp 70,7 triliun melalui setoran pajak, serta sisanya dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan dividen yang naik hampir 10% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler