Wina Armada Sukardi menegaskan, UU Penyiaran sejak awal dirancang untuk mencerminkan kebhinekaan dan tidak boleh dimonopoli oleh lembaga penyiaran tertentu. “UU Penyiaran jelas melarang pemusatan kepemilikan dan monopoli lembaga penyiaran swasta seperti yang dilakukan beberapa lembaga selama ini,” kata Wina Armada Sukardi saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli dalam sidang uji materi Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4, UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (19/1).
Mengenai akuisisi dan izin pindah tangan frekuensi, seperti yang dilakukan PT Elang Mahkota Teknologi (EMTK) yang mengakuisi Indosiar atau pemusatan kepemilikan seperti yang dilakukan MNC grup dan beberapa televisi lainnya, Wina mengatakan, pada prinsipnya monopoli dilarang dan tidak dibolehkan. "Izin frekuensi juga dilarang dan tidak boleh dipindahtangankan ke pihak lain dengan berbagai cara atau modus," tegasnya.
Wina menjelaskan, ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan terkait monopoli dan kepemilikan frekuensi, yakni izin penyiaran hanya dibolehkan untuk perusahaan, pemilik, dan pemegang saham yang berbeda-beda. Jika perusahaannya berbeda tetapi pemegang sahamnya sama, imbuh dia, maka itu tidak diperbolehkan. “Jika berbentuk grup, maka izin dan frekuensi tidak boleh diberikan kepada gabungan pemegang saham,” tegas dia.
Sementara itu, perwakilan dari Komisi Penyiaran Indonesia, Judhariksawan di depan majelis hakim MK mengatakan, terkait akuisisi Indosiar oleh PT EMTK yang juga memiliki SCTV, pihaknya sudah mengeluarkan pendapat hukum (legal opinion) yang menegaskan bahwa tidak dibenarkan terjadi pemusatan kepemilikan oleh perseorangan, holding company dan akuisisi oleh satu lembaga penyiaran.
“KPI menyadari bahwa jika terjadi pemusatan kepemilikan, maka akan menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat, karena frekuensi adalah sumber daya alam terbatas, yang harus dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat,” kata Judhariksawan di hadapan mahkamah yang dipimpin Harjono itu.
Judhariksawan menambahkan, pemusatan kepemilikan juga sangat memungkinkan akan menggiring opini publik, yang pada akhirnya masyarakat umum dirugikan. “Ada banyak fakta dimana opini digiring untuk kepentingan pemilik dan politik praktis,” tambahnya.
Karena itu, imbuh Judhariksawan berdasarkan UU Penyiaran, terutama Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4, sebagaimana yang diuji materikan saat ini, izin penyiaran tidak boleh dipindahtangankan ke pihak lain dengan cara apapun.
Sementara itu, Koordinator Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) Eko Maryadi mengatakan, dalam UU Penyiaran ditegaskan sanksi bagi mereka yang melanggar, yakni pidana penjara dua tahun dan denda Rp 5 miliar.(fuz/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BPK Laporkan Rektor UI ke KPK
Redaktur : Tim Redaksi