jpnn.com - Monumen Kresek di Madiun, Jatim, merupakan sebuah monumen untuk mengingat kekejaman PKI.
Adalah Dwi Atmanto yang sudah 26 tahun menjadi penjaga monumen. Dia kerap menjadi pemandu bermodalkan cerita dari saksi hidup peristiwa pembantaian yang dilakukan pada tahun 1948.
BACA JUGA: Kiai dan Wartawan Dibunuh Keji PKI di Tempat Ini
CHOIRUN NAFIA, Mejayan
TANGAN Dwi Atmanto sibuk dengan sapunya saat membersihkan sampah di Monumen Kresek. Sesekali botol bekas wadah air mineral dipungutnya.
BACA JUGA: Amelia Yani Menangis saat Cerita Ayahnya Ditembus 7 Peluru
Sudah 26 tahun sudah Dwi menjaga monumen yang sengaja dibangun untuk mengenang para korban kekejian Partai Komunis Indonesia (PKI) itu. ‘’Tempat ini sudah seperti rumah saya sendiri,’’ aku Dwi.
Sejarah kelam itu mampu diingat Dwi di luar kepala. Sebab, dia lama dekat dengan Suyud (almarhum), saksi mata kala PKI beraksi di Madiun pada 1948.
“Mendiang dulu kerap datang ke Monumen Kresek untuk bercerita ke pengunjung. Juga selalu diundang pada upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Saya selalu menemaninya sebelum almarhum meninggal 2003 lalu,’’ papar Dwi.
Dia mengisahkan Suyud yang seorang guru itu pernah ditawan PKI. Tempat tawanan di rumah salah seorang petani yang berada di barat patung.
Setelah membantai belasan orang, gerombolan PKI itu melarikan diri ke hutan di sebelah timur monumen.
Suyud berhasil menyelamatkan diri dengan naik ke atap. ‘’Kemudian minta bantuan warga di Dusun Jelir yang tak jauh dari monumen,’’ terang Dwi yang lahir 46 tahun lalu itu.
Suyud ditolong warga dan Pasukan Siliwangi. Para pemberontak kala itu sedang menjadi buruan hingga Muso, pimpinan PKI, akhirnya tertangkap di Ponorogo.
Jenazah korban kekejaman PKI yang ditemukan di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, akhirnya dimakamkan di Taman Makan Pahlawan (TMP). ‘’Pengetahuan sejarah saya seputar pemberontakan PKI didapat dari almarhum,’’ ungkap Dwi.
Sepeninggal Suyud, peran pemandu kerap diambil Dwi. Sebenarnya ada guide khusus tunjukan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindik) Kabupaten Madiun untuk Monumen Kresek.
Namun, kedatangan pengunjung sering tidak kenal waktu hingga memaksa Dwi tampil sebagai pemandu. ‘’Saya tawarkan kepada wisatawan, mau dengan pemandu dindik apa cukup dengan saya,’’ ujar Dwi.
Kebanyakan pengunjung justru meminta Dwi untuk memandu. Sejumlah pertanyaan harus dijawab. Terutama seputar patung-patung yang ada di Monumen Kresek yang menggambarkan tragedi pada 1948 itu.
Ada patung seseorang membawa golok yang menjadi penanda kekejaman PKI saat membunuh warga tak bersalah. Selain itu, patung Kiai Husein yang dipaksa jongkok sesaat sebelum dihabisi.
Juga ada relief yang menceritakan sejarah kelam di tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia itu. ‘’Di
luar itu saya tidak berani menjelaskan. Karena saya buka ahlinya,’’ terang Dwi yang tercatat sebagai PNS dinas lingkungan hidup (DLH) ini.
Meski begitu, Dwi pernah memandu Tukul Arwana saat syuting acara Mister Tukul Jalan-Jalan. Paranormal Ki Joko Bodo hingga pelukis arwah Ki Soleh Pati juga pernah memakai jasa Dwi.
JUga pejabat dari Pemprov Jatim dan pemerintah pusat yang singgah di Monumen Kresek. ‘’Kalau bisa membagi informasi, kenapa tidak?’’ tekannya.
Dwi bisa dibilang ikut babad Monumen Kresek. Mulai dibangun 1987 hingga diresmikan 1991, dia menjadi orang pertama yang menjaga. Ketika ditawari dinas pekerjaan umum (DPU), Dwi sempat ragu.
Apalagi, statusnya waktu itu hanya tenaga honorer dengan gaji minim.
Penantian Dwi selama 16 tahun akhirnya membuahkan hasil hingga diangkat menjadi PNS. ‘’Tidak pernah ada dalam pikiran saya menjadi PNS,’’ akunya.
Namun, pengorbanan masih berlanjut. Dwi tidak dapat menikmati libur di akhir pekan. Sebab, pengunjung Monumen Kresek lebih ramai pada Sabtu dan Minggu.
Selain membersihkan lingkungan monumen, dia harus rajin mengingatkan pengunjung agar tidak main coret di patung. Muda-mudi yang pacaran tak luput diingatkannya. ‘’Di sini kan tempat bersejarah,’’ terang Dwi.
Dwi ternyata juga tidak mengenal libur. Istri dan dua anaknya tidak pernah protes dengan kesibukan itu.
‘’Sebenarnya saya tidak sendiri di sini, ada tiga pegawai lagi yang membantu. Mereka juga tidak pernah mengeluh jika harus bekerja saat libur,’’ terangnya.
Sebagai penjaga, tugas Dwi Atmanto juga bertugas membersihkan kawasan monumen seluas 3,3 hektare itu. ***(hw)
Redaktur & Reporter : Soetomo