MoU Perlindungan Anak Belum Maksimal

Sabtu, 02 Juni 2012 – 03:47 WIB

JAKARTA – Pemerintah mengakui memorandum of understanding (MoU) terkait perlindungan anak yang dilakukan dengan sejumlah lembaga negara belum maksimal. Penyebabnya, sosialisasi kepada masyarakat dan daerah masih kurang. "Tinggal sosialisasi. MoU itu penting disosialisasikan dan diaplikasikan di lapangan. Memang yang sudah MoU belum maksimal. Kita akui itu. Tapi sejauh ini ada perkembangan yang cukup bagus," ujar Menteri Sosial (Mensos) Salim Segaf Al Jufri usai membuka Rakernas Kesejahteraan Anak di Jakarta.

Dia menegaskan, belum maksimalnya penerapan MoU bukan karena perjanjian yang dilakukan bermasalah. Tapi murni karena pemahaman yang kurang dari masyarakat dan instansi.

"Daerah juga perlu disosialisasikan MoU, sehingga dilaksanakan. Contoh anak tidak di jalan perlu pendidikan selanjutnya. Apakah pesantren atau apa. Itu bukan tanggung jawab kita lagi. Tapi Kementerian Agama (Kemenag)," kilah mantan Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi dan Kerajaan Oman ini.

Selain itu, salah satu MoU perlindungan anak yang cukup disoroti adalah soal anak berhadapan hukum. Sejak ditandatangani 2010 lalu oleh tujuh kementerian seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan Ham serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kepolisian hasilnya belum maksimal.
"MoU sudah kita bangun. Soal anak berhadapan hukum, anak jalanan. Kita sosialisasikan dan terus laksanakan. Tanpa sosialisasi mereka tidak tahu kalau ada MoU," ujarnya.

Kemensos, menurut Salim, sudah berusaha menangani anak terlantar. Melalui Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) hanya menjangkau 160.885 anak dari total 4,5 juta anak terlantar. Karenanya, perlu peran daerah untuk membantu, misalnya dengan menganggarkan dana. "Dana kita diupayakan semaksimal mungkin. Kita inginkan keikutsetaan dunia usaha dan pemerintah daerah (pemda)," tambahnya.

Untuk itu, lanjut petinggi PKS ini, diperlukan kepercayaan dan pemda serta dunia usaha. Kemensos sudah merintis hal tersebut. Contohnya, dengan membuat data base. Jadi, jika ada pihak yang mau bekerja sama silahkan langsung ke anak-anaknya. "Bagaimana strategi kita menjual. Jangan bilang APBD kecil. Kita bangun trust dengan data base. Masalah penangulangan sosial banyak cara. Undang daerah dan dunia usaha. Bangsa ini mudah tersentuh. Asal masalah clear," ucapnya.

Untuk diketahui, PKSA dibagi enam klaster terdiri dari PKSA anak balita sebanyak 7.868 anak balita terlantar dengan anggaran Rp 14,1 miliar dan melibatkan 102 tenaga bakti sosial dan 99 pekerja sosial. Klaster kedua PKSA anak terlantar yang ditujukan bagi 137.897 anak dengan anggaran Rp 150,9 miliar yang melibatkan 5.712 pekerja sosial.

Klaster berikutnya, PKSA anak jalanan yang ditujukan bagi 10.111 anak dengan anggaran Rp 15,147 miliar yang melibatkan 55 rumah singgah/yayasan dan 108 pekerja sosial. Klaster keempat, PKSA anak berhadapan dengan hukum yang ditujukan bagi 890 anak dengan anggaran Rp 1,6 miliar. Kelima, PKSA anak dengan kecacatan yang ditujukan bagi 1.888 anak dengan anggaran Rp 3,4 miliar. Klaster keenam PKSA anak yang membutuhkan perlindungan khusus bagi 2.231 anak dengan anggaran Rp 401 miliar. (cdl)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sebagian Bukti Dihilangkan, KPK Kesulitan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler