jpnn.com, JAKARTA - Anggota MPR dari Fraksi Partai Gerindra Kamrussamad mengakui selama dua minggu ini wacana dan pemikiran mengenai Pilkada dikembalikan ke DPRD kembali menyeruak.
“Apalagi terkait Pilkada serentak tak hanya tahun 2020 namun juga 2024,” ujar Kamrussamad saat menjadi pembicara dalam “Diskusi Empat Pilar MPR” di Media Center, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (22/11/2019).
BACA JUGA: Komite I DPD RI Mendalami Isu Strategis Otonomi Daerah
Diskusi ini mengangkat tema ‘Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Daerah (Pasal 18 UUD tidak mengharuskan Pilkada Dipilih Langsung).
Pada kesempatan itu, Kamrussamad mengakui pelaksanaan Pilkada diatur dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, di mana gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis.
BACA JUGA: DPD Berperan Menjalankan Kewajiban Konstitusional Dalam Otda
“Ini diterjemahkan dengan pemilihan langsung,” ungkapnya.
Terkait dengan cara pemilihan langsung, dirinya mengajak untuk mengevaluasi apakah pelaksanaannya sudah berjalan secara substantif, prosuderal, dan teknis yang benar atau tidak.
BACA JUGA: Politikus PKB Emanuel Bria Siap Maju Dalam Pilkada Malaka 2020, Nih Programnya
“Bila Pilkada sudah berjalan secara substantif, di mana rakyat memilih secara langsung karena visi dan misi calon kepala daerah maka hal yang demikian menarik untuk didiskusikan,” paparnya.
Namun dirinya melihat dari berbagai kasus yang ada, praktik money politic masih mendominasi penyelenggaraan Pilkada.
“Ada pengaruh visi dan misi calon kepala daerah namun money politic masih dominan,” ungkapnya.
Dirinya mengharap bila kita memilih cara demokrasi sebagai sarana untuk mendapat pemimpin maka perlu ditingkatkan edukasi kepada masyarakat.
Pemilu langsung di tengah kondisi perekonomian masyarakat yang masih belum mapan diakui menjadi salah satu tantangan.
“Masyarakat masih dalam kondisi income yang rendah namun kita menggunakan demokrasi liberal,” tuturnya.
Demokrasi liberal seperti yang demikian menurut Kamrussamad cocok diterapkan di negara seperti Amerika Serikat karena income per kapita masyarakat sudah mencapai 18.000 US$.
Tak hanya itu yang menjadi persoalan dalam Pilkada. Pria asal Sulawesi Selatan itu menyebut kampanye Pilkada yang terlalu panjang juga menjadi salah satu problem. Masalah inilah yang menurutnya perlu dievaluasi. Lamanya kampanye tentu akan membuat biaya yang dikeluarkan terlalu tinggi. Dirinya menyebut anggaran Pilkada serentak tahun 2020 mencapai kisaran Rp90 triliun.
“Bayangkan kalau uang sebanyak itu digunakan untuk membangun sekolah, puskesmas, pasar, dan kebutuhan rakyat lainnya,” ucapnya.
Agar Pilkada tidak memakan biaya yang mahal, dirinya menegaskan agar calon kepala daerah yang maju harus mengedepankan transparansi, akuntabel, dan tak ada mahar. “Ini yang kita dorong,” tegasnya.
Terkait adanya keinginan untuk mengembalikan Pilkada ke DPRD, mantan aktivis HMI itu menyebut belum ada usulan langsung dari pemerintah. “Jadi masih wacana, kami tunggu sikap resmi pemerintah,” ujarnya.
Anggota MPR dari unsur Kelompok DPD RI, Otopianus P Tebai dalam kesempatan yang sama mengusulkan ada beberapa isu. “Pembiayaan Pilkada harus dibatasi,” ujarnya. Anggota DPD dari Papua itu dalam diskusi memberi batasan anggaran yang mestinya dikeluarkan.
Selain masalah biaya, Oto sapaan Otopianus juga menyinggung tentang perlunya mempertimbangkan untuk mengatur potensi putra asli daerah dalam Pilkada. Mereka kepala daerah terpilih menurutnya dibatasi sekali masa periode, namun masa jabatannya ditambah menjadi 7-8 tahun untuk satu periode.
“Tak boleh dua periode,” tuturnya.
Agar pelaksanaan Pilkada bisa berjalan dengan baik, menurut Alumnus SMP PGRI Nabire ini menyarankan agar jumlah anggota KPPS juga ditambah.
Sementara itu, Pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, sebagai pembicara ketiga dalam diskusi dengan tegas mengatakan, “saya tak setuju bila Pilkada dikembalikan ke DPRD.”
Pada kesempatan itu, Ray menjelaskan alasannya dirinya menolak. “Alasannya banyak,” tegasnya.
Bila biaya Pilkada disebut banyak, dirinya membandingkan dengan biaya untuk Pilpres dan Pileg yang juga tidak sedikit. Untuk itu mengapa Pilkada saja yang disorot.
Kemudian bila dikatakan banyak kepala daerah ditangkap oleh KPK akibat dari politik biaya tinggi, Ray Rangkuti juga membandingkan banyak juga anggota DPR, DPRD, jaksa, dan hakim yang juga ditangkap oleh KPK.
Menurut Ray, kualitas demokrasi tertinggi adalah bila rakyat terlibat langsung dalam Pemilu. Dirinya heran di tengah makin berkembangnya pembangunan infrastruktur dan kemajuan teknologi, justru masyarakat diajak kembali ke Pemilu model lama.
“Pemilihan seperti pada masa Yunani kuno dengan sistem diwakilkan,” tuturnya.
Apabila UU Pilkada mau direvisi, menurut Ray, maka yang diperkuat adalah posisi rakyat. Ini penting sebab bila Pilkada dikembalikan ke DPRD maka akan menguatkan oligarki partai politik.
“Agar Pilkada tak berbiaya mahal maka partai politik perlu didisplinkan dengan cara tidak meminta mahar kepada calon kepala daerah,” tegasnya.(adv/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich