"Itu pemikiran fasis, otoriter, dan perlu ditertawakan di era demokrasi ini," kata Slamet setelah menghadiri halalbihalal LDII kemarin.
Menurut dia, eksistensi ulama tidak dilihat dari sebuah sertifikat. Justru aneh jika ada negara yang menerapkan sertifikasi ulama sebagai upaya deradikalisasi. "Ulama itu karena pengakuan masyarakat, karena ilmu dan amalnya, bukan karena sertifikat," kata Slamet.
Ketua LDII Chriswanto Santoso menambahkan, upaya deradikalisasi juga harus dilakukan melalui dakwah bil hal. Sebab, terorisme itu juga dipicu oleh berbagai permasalahan lain, bukan soal teologi saja. "Ada kemiskinan, kesenjangan, krisis ekonomi yang juga potensial memunculkan gerakan radikal. Di Eropa, karena krisis, maka Neo Nazi juga bangkit. Makanya, kami juga bergerak dalam pengentasan kemiskinan," kata dia.
Menurut Chriswanto, strategi efektif pencegahan terorisme adalah mengoptimalkan komunikasi aparat dengan tokoh agama. Aparat tidak perlu menakut-nakuti. Dia juga mengajak ulama memberikan pemahaman agama mendalam kepada santri. "Kami bersama MUI terus menjalin komunikasi kepada ulama agar dapat mengedepankan dakwah yang tidak mengedepankan kekerasan," tegasnya.
Sebelumnya, Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris menyebutkan wacana sertifikasi terhadap ulama merupakan bagian dari program deradikalisasi BNPT. Itu terlontar dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Cikini, Sabtu lalu.
Sementara itu, pimpinan MPR juga menolak sertifikasi ulama. Wakil Ketua MPR Hajriyanto Tohari menegaskan, strategi menekan terorisme semacam itu merupakan solusi yang reaktif. "Sangat sesaat, tanpa pertimbangan dan dasar pemikiran mendalam," ujar Hajriyanto setelah menghadiri dialog nasional terkait kepemimpinan nasional kemarin (12/9). Menurut dia, kebijakan semacam itu sulit diterapkan, terutama untuk kalangan Islam.
Dia memaparkan, pemuka agama Islam memiliki ciri berbeda dengan pemuka agama lain. Di Islam tidak ada pendidikan khusus semacam seminari seperti di Kristen dan Katolik. "Selain itu, tidak ada kelas ulama, kiai, atau semacamnya. Ulama itu pengakuan masyarakat. Jadi, pasti tidak operasional kalau diterapkan," imbuh ketua Lazis PP Muhammadiyah itu.
Hajriyanto memperkirakan, usul BNPT itu muncul setelah melihat beberapa kondisi di beberapa negara. Antara lain, Malaysia, Singapura, dan Arab Saudi. "Tapi, dia (BNPT, Red) lupa kalau di Malaysia atau yang lain itu imam dan khatibnya semuanya digaji oleh negara. Jadi, berbeda sekali," katanya.
Meski demikian, secara prinsip, pihaknya sepakat jika memang perlu ada upaya penertiban terhadap potensi tindak terorisme.
Wakil ketua MPR lainnya, Lukman Hakim Saifuddin, juga menegaskan bahwa butuh penanganan yang utuh dan menyeluruh dalam mengatasi masalah terorisme. "Tak bisa ditimpakan karena alasan agama semata," tegas Lukman.
Menurut dia, benar bahwa pemahaman ajaran agama tertentu bisa menjadi faktor yang memotivasi lahirnya aksi-aksi kekerasan. Tetapi, lanjut dia, hal itu bukan satu-satunya faktor penyebab.
Dia membeberkan, akses pendidikan yang terbatas, ekonomi yang buruk, ketimpangan sosial, kekecewaan politik, hingga pudarnya nilai-nilai budaya bisa menjadi faktor munculnya terorisme. Karena itu, perlu kebijakan komprehensif yang implementatif. "Dan evaluasinya harus dikawal terus-menerus oleh presiden. Bukan malah menerapkan kebijakan sertifikasi pemuka agama. Itu salah sasaran," tandas politikus PPP tersebut. (dyn/c1/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Ada Negara Gagal Berpendapatan Meningkat
Redaktur : Tim Redaksi