Muchachos

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 19 Desember 2022 – 18:35 WIB
Kapten Argentina Lionel Messi saat memamerkan trofi Piala Dunia 2022. Foto: Twitter/FIFAWorldCup

jpnn.com - Di Argentina saya lahir, tanah Diego dan Lionel

Tentang anak-anak Falklands, yang tidak akan pernah saya lupakan

BACA JUGA: Foto Lionel Messi Seperti Ini Bakal Dikenang Sepanjang Masa

Saya tidak bisa menjelaskannya kepada Anda, karena Anda tidak akan mengerti

Final kami kalah, berapa tahun saya menangis

BACA JUGA: Lionel Messi Masih Lapar Gelar, Ogah Pensiun Seusai Argentina Juara Piala Dunia 2022

Tapi itu sudah selesai karena di Maracana 

Final dengan Brasil, Ayah menang lagi, Anak laki-laki, sekarang kita memiliki harapan lagi

BACA JUGA: Bukan Hanya Messi atau Martinez, Di Maria Juga Layak Jadi Pahlawan Argentina

Saya ingin memenangkan yang ketiga,

saya ingin menjadi juara dunia

Dan Diego, di langit kita bisa melihatnya, dengan Don Diego dan La Tota

Mendukung Lionel, untuk menjadi juara lagi.

Syair lagu ‘’Muchachos’’ itu menggema menggetarkan Stadion Lusail, Minggu (18/12) malam setelah Argentina memastikan diri menjadi juara dunia melalui pertandingan menegangkan melawan Prancis. 

Skor 3-3 sampai akhir babak perpanjangan akhirnya diselesaikan melalui adu penalti.

Lagu itu berkumandang di berbagai penjuru Qatar dan menjalar sampai ke Argentina, menenggelamkan emosi dan kegembiraan yang meledak tak tertahankan. 

Pendukung Argentina di stadion Lusail sejak awal sudah mengalahkan jumlah pendukung Prancis. Ketika kemenangan tercapai, stadion bergemuruh dan bergetar.

Lagu itu memuja Diego Mardona dan Lionel Messi. Syairnya menyebut Don Diego menyaksikan dari langit, "menyemangati Lionel, dan menjadi juara lagi, dan menjadi juara lagi".

Muchachos menjadi lagu paling populer di Argentina, menjadi semacam lagu kebangsaan di stadion setiap kali Argentina bermain. 

Selama 30 tahun Argentina tenggelam karena gagal menjadi juara dunia. "Kawan-kawan, kita punya harapan lagi’’. Begitu penggalan lagu itu.

Luka selama lebih dari tiga dekade hilang dalam sekejap ketika skuad Lionel Scaloni, yang dipimpin oleh Messi, merayakan kemenangan Piala Dunia mereka yang ketiga, setelah 1978 dan 1986, di babak final keenam mereka.

Turnamen dimulai dengan kejutan bagi Argentina. "Di mana Messi? Di mana Messi?" tanya para suporter Arab Saudi setelah kemenangan tak terduga tim mereka dengan skor 2-1 di pertandingan perdana babak grup.

Kalimat itu sindiran sekaligus cambuk lecutan bagi Messi. Lionel Messi ialah ‘’The GOAT’’, The Greatest Of All Time, pemain sepak bola terhebat sepanjang zaman. 

Akan tetapi, menghadapi Arab Saudi yang tidak diunggulkan, Argentina tidak berdaya. 

Sihir Messi yang biasanya menjadi mukjizat tiba-tiba lenyap. Fan Agentina hanya bisa tertunduk dan terdiam.

Seluruh dunia terkesiap. Rundungan terhadap Messi dan Argentina datang bergelombang. 

Lagu ‘’Don’t Cry For Me Argentina’’ diputar lagi untuk meledek Messi dan Argentina. Sepak bola Argentina bisa tamat riwayatnya kalau sampai gagal di fase grup.

Akan tetapi, sepak bola adalah bagian dari kapitalisme global dengan putaran uang ribuan triliun. 

Dalam tradisi kapitalisme global ada privilege bagi perusahaan-perusahaan trans-nasional raksasa untuk mendapatkan perlindungan supaya tidak bangkrut. 

Muncul jargon ‘’Too Big to Fail (TBTF)’’ , terlalu besar untuk (dibiarkan) gagal, yang menggambarkan pentingnya perusahaan-perusahaan besar itu untuk tetap berdiri, at all cost, dengan ongkos sebesar apa pun.

Pemerintah Amerika Serikat punya daftar perusahaan-perusahaan yang masuk kategori TBTF yang harus dilindungi dari kebangkrutan.

Pemerintah Amerika siap menggelontorkan subsidi besar untuk menjamin korporasi TBTF tetap berdiri.

Ekonomi Amerika boleh kembang kempis dihajar resesi, tetapi bonus para eksekutif korporasi besar akan tetap diberikan dalam jumlah edan-edanan. Itulah prinsip TBTF yang menjadi kredo kapitalisme global.

Dalam tradisi sepak bola internasional juga ada kategori TBTF itu. Brasil gagal melewati adangan Kroasia di perempat final melalui adu penalti. 

Tinggal Argentina yang menjadi wakil Amerika Latin. Untunglah Argentina bisa melewati adangan Belanda. 

Argentina tidak boleh gagal. Begitu kata teori konspirasi. 

Banyak kejanggalan yang menguntungkan Argentina. 

Messi menjadi kandidat top scorer dengan lima gol, empat di antaranya melalui penalti. 

Hanya satu gol yang dicetak melalui permainan hidup, itu pun hanya dari tim sekelas Australia.

Argentina terlalu mudah mendapatkan hadiah penalti, termasuk ketika menghadapi Kroasia. 

Messi terlalu dimanja, sehingga wasit yang membuatnya tidak senang pun harus dipulangkan lebih awal. Itulah serangkaian teori konspirasi yang berkembang.

Kapitalisme global mempunyai ikon-ikon. Bill Gates, Jeff Bezos, Mark Zuckerberg, Jack Ma, Elon Musk, adalah ikon kapitalisme global.

Sepak bola global juga punya ikonnya sendiri. Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Neymar Jr, adalah ikon sepak bola global. 

Ronaldo telah redup, Neymar tersingkir, tinggal Messi satu-satunya yang tersisa. Ikon-ikon baru pun harus segera diciptakan.

Namun, dalam pertandingan pada hari Minggu, pertanyaan itu terjawab dengan tegas ketika Messi menegaskan keagungan sepak bolanya, berdiri di podium dengan ban kapten di lengannya dan piala emas terangkat di atas kepalanya.

Final kali ini seperti final milik Messi. Ini adalah kesempatan terbesar dan, mungkin, terakhir bagi La Pulga, Si Kutu Messi untuk mengangkat tropi Piala Dunia. 

Itulah satu-satunya piala yang belum pernah dia pegang. Itulah yang membedakan Messi dan Maradona.

Harapan ditumpukan ke pundak Messi. Kaus seragam Argentina bernomor 10 yang termasyhur ada di mana-mana, di jalanan, di pasar-pasar, dan stadion, dan dipakai oleh dikenakan oleh pria, wanita, dan anak-anak.

Lagu Muchachos menggema di mana-mana, di kereta bawah tanah dan bus shuttle. Bendera Argentina digantung di atap dan balkon, dan di jendela-jendela toko di permukiman Doha. 

Hanya ada satu tim yang mereka inginkan pulang membawa trofi. Ribuan suporter Argentina, menyanyikan lagu-lagu mereka dan bersorak-sorai "Messi, Messi".

Sebagian suporter sudah berada di dalam stadion jauh sebelum kick-off, menabuh drum, melompat-lompat, dan melambai-lambaikan syal biru-putih di atas kepala mereka. 

Ketika gambar-gambar para pemain turun dari bus muncul di layar lebar, sorak-sorai yang memekakkan telinga bergema untuk Messi, dan sang pemain bintang mendapat tepuk tangan yang sama ketika nama-nama pemain dibacakan.

Messi adalah sang Mesias yang menjadi dewa penolong. Dia mencetak gol pembuka dari titik penalti, dengan kalem mengecoh kiper Hugo Lloris.

Selama Piala Dunia berlangsung, Messi menjadi algojo penalti yang tidak pernah gagal. Dia membunuh dengan tenang.

Kegembiraan Argentina bertambah ketika Angel di Maria mencetak gol kedua, menutup kerja sama tim yang menakjubkan. 

Muchachos bergema sekali lagi saat para penggemar melompat-lompat di tribun. Dengan keunggulan 2-0 seolah-olah kemenangan sudah tergenggam di tangan.

Akan tetapi Mbappe punya ide lain. Superstar Prancis Mbappe mencetak mencetak dua gol kilat – hanya berjarak 97 detik – untuk membawa pertandingan ke waktu tambahan, dan kemudian adu penalti. 

Emiliano Martinez menepis satu tendangan dan kemudian tendangan berikutnya melenceng. Inilah final Piala Dunia terbaik dan paling menegangkan dibanding fina-final lainnya.

Messi mengira dia sudah menang, menerkam dari jarak dekat, namun Mbappe menunjukkan kebolehannya untuk suatu hari nanti ikut serta dalam perdebatan tentang siapa pemain yang layak disebut The GOAT.

Dalam usianya yang masih 23 tahun, Mbappe akan menjadi salah satu pewaris Messi.

Para pemain Argentina merayakan dengan keluarga mereka di lapangan, berpose untuk foto dengan trofi di depan salah satu gawang — para suporter tidak meninggalkan lapangan lama setelah peluit akhir. 

Setelah memikul beban mereka, para pemain Argentina memberikan satu penghormatan terakhir kepada Messi dengan mengangkatnya ke pundak mereka dan membawanya berkeliling lapangan sambil mengangkat trofi tinggi-tinggi.

Pertunjukan selesai. Tongkat estafet telah diteruskan dari Maradona ke Messi. 

Kebesarannya sudah tidak diragukan lagi. Perdebatan telah berakhir. 

Messi belum akan berhenti. Dia akan terus berlari sebagai sang juara. (**)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler