jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kurniasih Mufidayati mengatakan, tata laksana karantina dan tes PCR bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang datang dari luar negeri, perlu diperbaiki.
Mufida, sapaan Mufidayati, meminta fasilitas karantina dan tes usap PCR gratis diberikan hanya kepada yang layak menerima sesuai aturan.
BACA JUGA: Sudah Disuntik Vaksin COVID-19, Tak Perlu Lagi Tes PCR atau Antigen
"Sudah ada dalam Keputusan Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 6 Tahun 2001 siapa saja yang berhak mendapatkan fasilitas karantina gratis yakni Pekerja Migran Indonesia (PMI), pelajar atau mahasiswa atau WNI yang secara ekonomi tidak mampu dibuktikan dengan Surat Pernyataan Tidak Mampu (SPTM)," papar Mufida dalam keterangannya di Jakarta, Senin (25/1).
Menurut Mufida, fakta lapangan masih ditemukan tidak tepatnya pemberian fasilitas karantina dan tes usap PCR gratis yang diperuntukkan bagi WNI yang tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
BACA JUGA: Positif Covid-19, Begini Kondisi Terbaru Bupati Sleman
Mufida pun langsung mendatangi tempat karantina mandiri bagi WNI yang pulang ke Tanah Air di wilayah Tangerang, Banten.
Dari laporan yang diterima, kata dia, ternyata banyak WNI yang langsung diberikan formulir SPTM untuk diisi dan tandatangan. Tentu saja kondisi ini menjadi pertanyaan besar.
BACA JUGA: Profil Aziz Yanuar, Anak Kemayoran yang Masuk FPI Hingga jadi Kuasa Hukum Habib Rizieq
“Kenapa tidak sejak awal disampaikan secara terbuka tentang isi kebijakan tersebut? Ini aneh. Tiba-tiba penumpang diminta tanda tangan pernyataan tidak mampu. Kami menerima informasi ini dan langsung konfirmasi ke lapangan," ungkap Mufida.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu mengatakan, temuan ini menunjukkan fakta tidak tepatnya sasaran penggunaan dana untuk karantina mandiri dan tes usap PCR.
"Jika semua penumpang dibawa dan diberikan formulir SPTM berarti semua WNI yang pulang ke Indonesia dianggap tidak mampu dan diberikan subsidi biaya karantina mandiri. Ini harus dievaluasi dan diperbaiki segera,” ungkap dia.
“Klasifikasi pelaku perjalanan luar negeri sudah bisa dilakukan sejak awal dari data visa yang pastinya tertera apakah mereka Pelajar, PMI atau masyarakat yang mandiri atau subsidi, sehingga tidak salah implementasi kebijakan di saat tiba di bandara," ujar dia.
Temuan lain di lapangan adanya keanehan PCR yang harus dilakukan dua kali pada penumpang yang menjalani karantina.
Saat sebelum terbang ke Indonesia, penumpang WNI sudah melakukan tes PCR sebagai syarat naik pesawat.
Setiba di bandara, harus tes PCR lagi di lokasi karantina. Selang tiga hari, sebelum pulang ke rumah, harus PCR lagi.
"Bagaimana mungkin seseorang, harus menjalani tiga kali PCR dalam hitungan sepekan, sangat tidak logis dan menurut saya berpotensi iritasi pada hidung. Belum lagi aspek psikologi dan biaya yang harus ditanggung oleh APBN maupun pribadi penumpang. Ini sangat aneh. Harus diperbaiki kebijakan ini," tutur dia.
Mufida juga meminta agar koordinasi antar instansi benar-benar diperbaiki. Ia sudah mengingatkan pada berbagai kesempatan tentang terlalu banyaknya stakeholder dan kuatnya ego sektoral dalam mitigas pandemi Covid-19. (ast/jpnn)
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan