jpnn.com, JAKARTA - Anggota Tim Pengawas (Timwas) Penanggulangan Bencana Covid-19 DPR RI, Mufti Anam mengecam para pelaku usaha yang masih mengambil untung besar dengan memanfaatkan kebutuhan masyarakat di masa pandemi Covid-19.
Hal itu terutama terlihat di dunia usaha yang terkait dengan kebutuhan kesehatan masyarakat.
BACA JUGA: Mufti Anam Beri Jempol Untuk Kinerja Erick Thohir Tangani Corona
”Salah satu yang menonjol misalnya soal rapid test (uji cepat), terlepas dari kontroversi akurasinya. Beli di luar negeri harga sekitar Rp 30.000-Rp 50.000 per satuan, tetapi di Indonesia dijual mahal. Ada yang Rp 200.000, Rp 300.000, Rp 500.000, bahkan ada yang menawarkan Rp 800.000 sampai Rp 1 juta,” ujar Mufti, Senin (11/5).
”Ambil untung tidak apa-apa, wong namanya dunia usaha. Namun, untung yang gila-gilaan saat pandemi yang menyusahkan banyak orang itu tidak beretika,” imbuhnya.
BACA JUGA: Mufti Anam Kasih Jempol Buat Penjelasan Jokowi di Mata Najwa
Mufti mengatakan, banyak Dinas Kesehatan dan rumah sakit daerah yang dibiayai APBD membeli rapid test dalam jumlah yang besar dengan harga yang cukup mahal karena pelaku dunia usaha mematok marjin dalam skala yang tak masuk akal.
”Sungguh disayangkan. Padahal kalau harga bisa ditekan lebih murah, dana APBD itu bisa dialihkan untuk beli alat kesehatan yang lain, menambah ventilator misalnya. Atau bisa juga dialihkan untuk menambah jaring pengaman sosial membantu sembako ke warga terdampak yang kini kesulitan ekonomi,” papar politikus PDI Perjuangan tersebut.
BACA JUGA: Banjar Serokadan Diisolasi Setelah 400 Warganya Reaktif saat Rapid Test Corona
Mufti juga memperingatkan BUMN farmasi, seperti Kimia Farma yang telah mengimpor rapid test dalam jumlah besar dan memasarkannya ke berbagai rumah sakit daerah serta dinas kesehatan.
”Jangan sampai BUMN malah ikut dalam permainan taking profit gila-gilaan yang menyusahkan rakyat,” tegas Mufti yang juga anggota Komisi VI DPR yang membidangi BUMN itu.
Saat ini, jutaan rapid test telah masuk ke Indonesia, baik diimpor oleh swasta maupun BUMN.
Rapid test itu lalu dipasarkan ke berbagai rumah sakit, dinas kesehatan, hingga klinik.
Kecuali dinyatakan bagian dari pelayanan pemerintah seperti untuk kebutuhan tracing (penelusuran) klaster penularan, banyak warga yang berinisiatif melakukan pemeriksaan uji cepat yang ditawarkan pelaku usaha kesehatan swasta.
”Masyarakat yang takut, cemas, terpaksa mengakses rapid test mandiri dengan harga yang relatif mahal,” ujarnya.
Selain mencekik dari sisi harga, akurasi rapid test juga perlu menjadi perhatian bersama.
”Banyak kasus di mana rapid test mempunyai tingkat akurasi yang sangat lemah. Seperti kasus salah satu desa di Bali yang bikin heboh itu,” pungkasnya. (*/adk/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adek