Muhammad Ali, Petinju yang Belum Bisa Disamai

Oleh: Syamsul Anwar*

Minggu, 05 Juni 2016 – 09:19 WIB
Muhammad Ali. Foto: AFP

jpnn.com - MENYENGAT seperti lebah. Menari seperti kupu-kupu. Itulah perumpamaan buat Muhammad Ali, sang legenda ring tinju dunia yang kemarin (4/6) menutup mata untuk selamanya. 

Ali mulai memukau tinju dunia ketika merebut gelar juara dunia kelas berat dari tangan Sonny Liston. Ketika itu Ali ditempatkan sebagai underdog. Dunia terkejut dengan gaya bertinju Ali yang dapat meredam dan mementahkan hampir semua serangan Liston dalam duel pada Februari 1964 tersebut. 

BACA JUGA: Arema Cronus Hadapi Ujian yang Sebenarnya

Ali melompat-lompat ringan, seperti kupu-kupu, menjauhi Liston yang mengejar dan hendak memukulnya. Seberapa jarak menekan Liston, sebegitu jauh Ali mundur menghindar dengan enteng. ”Catch me if you can,” katanya kepada Liston ketika itu. 

Pukulan keras Liston tak mengena. Sebaliknya, Ali melepaskan pukulan balasan yang menyengat. Pukulan Ali sesekali mengenai bagian mata Liston dan membuat pelupuk matanya membengkak.

BACA JUGA: Diving Header Guerrero Antar Peru Menang Atas Haiti

Sesekali pula pukulan balasan tersebut membentur bahu kiri Liston. Efeknya, tangan kiri Liston jadi tak dapat berfungsi baik. Liston akhirnya menyerah pada awal ronde ke-7 karena tak dapat lagi mengangkat tangan kiri. Ali menjadi juara dunia untuk kali pertama.

Kondisi pertandingan di atas adalah salah satu bukti kecerdikan Ali sebagai seorang petinju. Petarung yang lahir dengan nama Cassius Marcellus Clay Jr pada 17 Januari 1942 itu kembali sukses mempecundangi Liston dalam duel kedua sekitar setahun setelah yang pertama. 

BACA JUGA: Kosta Rika dan Paraguay Main Tanpa Gol di Copa America

Ali meng-KO Liston di ronde pertama dengan pukulan uppercut kanan yang amat cepat. Ali dengan psywar-nya yang kental membuyarkan konsentrasi Liston dan membuatnya marah. Perang mental itu dilakukan Ali, sebelum ataupun ketika sedang bertanding, memang untuk membuat lawan marah dan kehilangan konsentrasi. 

Prinsip utama dalam bertinju adalah pandai memukul dan pandai menghindar. Sebab, sehebat apa pun kekuatan pukulan, selalu ada batasnya. Dengan pandai menghindari pukulan, lawan jadi frustrasi dan kehilangan tenaga. 

Contoh yang paling akurat adalah Mike Tyson. Tyson hanya pandai memukul, tapi tak pintar menghindar. Akibatnya, dia biasanya kehabisan tenaga menjelang paro kedua pertandingan. 

Tapi, tidak demikian Ali. Sadar tenaganya berkurang, dia menari melayang dan membuat gangguan kecil terhadap lawan dengan perhitungan bahwa ronde tersebut berlangsung seimbang. Pandai memukul dan pandai menghindar dapat dilakukan Ali dengan amat baik dan itu adalah modal dalam bertarung di atas ring. Tapi, Ali juga masih punya teknik lain dalam bertanding tinju yang tak pernah dilakukan petinju mana pun selama ini. 

Teknik tersebut diperagakannya dalam duel melawan George Foreman di Kinshasa, Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo), pada 1974. Ali yang kembali dalam posisi underdog bertahan di tali ring dalam posisi menunduk. Dia membangun pertahanan double cover yang ketat agar rusuknya aman dari serangan keras hook kiri dan kanan Foreman. 

Posisi menunduk membuat otot-otot perut dapat lebih kuat terhadap pukulan. Sambil bertahan di tali ring, Ali masih dapat mengoceh dan membuat marah Foreman. Foreman marah sambil menghajar keras tembok pertahanan Ali yang terjal di duel bertajuk The Rumble in the Jungle tersebut. 

Foreman pun kehabisan tenaga. Sebuah pukulan uppercut kanan Ali menjelang akhir ronde ke-8 menghajar dagunya dan membuatnya kalah KO. Hebatnya lagi, Ali telah membuat skenario posisi terduduknya Foreman ketika jatuh terduduk karena dia pukul.

Muhammad Ali membayar utang kekalahannya melawan Joe Frazier pada 1975, empat tahun setelah dikalahkan petinju yang sama. Bertarung ketat selama 14 ronde, Frazier akhirnya menyerah pada ronde ke-15 karena mengalami kelelahan luar biasa. Duel di Manila itu berlangsung ketat. Ali tak banyak menari, sedangkan Frazier terus menekan keras. 

Dalam pertarungan itu Ali membuktikan diri dapat bertarung jarak dekat sesuai dengan kemauan lawan. Kepiawaian Ali dalam bertanding dengan segala dimensi melebihi semua petinju pada masa lalu hingga di era sekarang. Belum ada yang dapat mendekati apa yang dimiliki Ali. 

Tapi, tak ada gading yang tak retak. Ali yang telah didiagnosis mendapat kelainan pada otaknya masih mau disuruh promotor kondang Don King bertanding dengan Larry Holmes 2 Oktober 1980 di Las Vegas. Usianya sudah 38 tahun ketika itu, telah pula pensiun. Sebaliknya, sang lawan yang tujuh tahun lebih muda tengah berada dalam puncak penampilan sebagai juara dunia. 

Ali yang tak sudi menyerah angkat tangan menerima belasan pukulan keras di kepala. Wasit menghentikan pertandingan setelah pelatihnya melemparkan handuk. Ali sudah tidak bisa bertinju dengan sikap semula yang pandai memukul dan pandai menghindar.

Tiada lagi taktik jitu untuk mengguncang emosi lawan. Pukulan Holmes pun diterimanya berkali-kali tanpa bisa dielakkan. Pukulannya juga tak bisa menjangkau lawan yang lebih muda dan kuat. Pada tahun itu juga Ali dipastikan mengidap penyakit sindrom Parkinson.

Dengan semua sepak terjangnya, Ali banyak menjadi teladan bagi dunia lain selain jagat olahraga. Semangat bertarung, taktik duelnya yang dinamis dan bervariasi, juga membuatnya selalu menyenangkan untuk ditonton. 

Hingga saat ini tak ada satu pun petinju yang menjadi duplikasi Ali. Dan tak ada satu pun yang bisa mendekati. Selamat jalan, Muhammad Ali. Selamat beristirahat, legenda! (*)

*Mantan petinju, pelatih tinju, dan promotor

BACA ARTIKEL LAINNYA... Top! Ronaldo Bakal Pensiun di Madrid


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler