JAKARTA - Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah Nadjamuddin Ramly mengatakan, pihaknya masih menolak Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat (RUU Ormas)
Sebab RUU itu memiliki paradigma totaliter dan menganut paham kekuasaan yang absolut untuk melakukan kontrol ketat kepada warga masyarakat serta memposisikan rakyat sebagai obyek dan posisi negara sebagai sangat superior. Padahal dalam perspektif Sosiologi Hukum setiap regulasi yang akan dirumuskan senantiasa mengakomodir kepentingan dan dinamika rakyatnya.
"Ini berarti harus terjadi simbiosis-mutualisme yakni adanya kemitraan strategis antara masyarakat dan negara," ujar Nadjamuddin dalam siaran pers, Selasa (2/7).
Menurutnya, definisi ormas dalam pasal yang tertuang ada kerancuan intelektual, sebab mendefinisikan ormas sangat umum. Kata dia, tidak ada kategorisasi sosiologis mana ormas yang sudah mapan, ormas yang programnya homogen, paguyuban, arisan, pengajian ibu-ibu di RT, genk motor, organisasi lokal, kesamaan hobi atau ormas yang baru berdiri tanpa tujuan tertentu.
Nadjamuddin menilai RUU ormas yang rencananya disahkan dalam Rapat Paripurna hari ini bersifat diskriminatif. Karena tidak mengatur ormas-ormas yang menjadi sayap partai politik. "Padahal mereka ormas bukan partai politik yang tidak diatur dalam UU Parpol," ucapnya.
RUU Ormas menurut Nadjamuddin, juga mengatur ormas yang berbadan hukum seperti yayasan. Padahal hal itu sudah diatur dalam UU Yayasan. Itu sebabnya, RUU ormas memposisikan dirinya sebagai RUU yang sangat superior.
Dalam hal pendaftaran, RUU Ormas menjadikan dirinya sebagai rezim izin. Sebab semua hal yang terkait urusan masyarakat harus melalui izin dengan persyaratan yang rumit termasuk tidak boleh berpolitik. "Padahal seperti Muhammadiyah selalu berpolitik namun Politik yang dilakukan Muhammadiyah adalah politik moral," kata dia.
Soal pendaftaran itu lanjut dia, juga akan menjadi pasal karet dan menjadi alat pemukul bagi rezim yang berkuasa disetiap jenjang. "Jika ada pendiri ormas yang tidak dikehendaki oleh rezim penguasa di setiap jenjang maka Surat Tanda Terdaftar Ormas tidak akan pernah terbit," ujarnya.
Mantan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah itu menambahkan pasal karet juga terdapat dalam pengaturan terkait larangan dan sanksi. Secara subyektif rezim berkuasa disetiap jenjang bisa menjadikannya alat pemukul karena tidak melalui proses peradilan. (gil/jpnn)
Sebab RUU itu memiliki paradigma totaliter dan menganut paham kekuasaan yang absolut untuk melakukan kontrol ketat kepada warga masyarakat serta memposisikan rakyat sebagai obyek dan posisi negara sebagai sangat superior. Padahal dalam perspektif Sosiologi Hukum setiap regulasi yang akan dirumuskan senantiasa mengakomodir kepentingan dan dinamika rakyatnya.
"Ini berarti harus terjadi simbiosis-mutualisme yakni adanya kemitraan strategis antara masyarakat dan negara," ujar Nadjamuddin dalam siaran pers, Selasa (2/7).
Menurutnya, definisi ormas dalam pasal yang tertuang ada kerancuan intelektual, sebab mendefinisikan ormas sangat umum. Kata dia, tidak ada kategorisasi sosiologis mana ormas yang sudah mapan, ormas yang programnya homogen, paguyuban, arisan, pengajian ibu-ibu di RT, genk motor, organisasi lokal, kesamaan hobi atau ormas yang baru berdiri tanpa tujuan tertentu.
Nadjamuddin menilai RUU ormas yang rencananya disahkan dalam Rapat Paripurna hari ini bersifat diskriminatif. Karena tidak mengatur ormas-ormas yang menjadi sayap partai politik. "Padahal mereka ormas bukan partai politik yang tidak diatur dalam UU Parpol," ucapnya.
RUU Ormas menurut Nadjamuddin, juga mengatur ormas yang berbadan hukum seperti yayasan. Padahal hal itu sudah diatur dalam UU Yayasan. Itu sebabnya, RUU ormas memposisikan dirinya sebagai RUU yang sangat superior.
Dalam hal pendaftaran, RUU Ormas menjadikan dirinya sebagai rezim izin. Sebab semua hal yang terkait urusan masyarakat harus melalui izin dengan persyaratan yang rumit termasuk tidak boleh berpolitik. "Padahal seperti Muhammadiyah selalu berpolitik namun Politik yang dilakukan Muhammadiyah adalah politik moral," kata dia.
Soal pendaftaran itu lanjut dia, juga akan menjadi pasal karet dan menjadi alat pemukul bagi rezim yang berkuasa disetiap jenjang. "Jika ada pendiri ormas yang tidak dikehendaki oleh rezim penguasa di setiap jenjang maka Surat Tanda Terdaftar Ormas tidak akan pernah terbit," ujarnya.
Mantan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah itu menambahkan pasal karet juga terdapat dalam pengaturan terkait larangan dan sanksi. Secara subyektif rezim berkuasa disetiap jenjang bisa menjadikannya alat pemukul karena tidak melalui proses peradilan. (gil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Iuran BPJS Kesehatan Naik Menjadi Rp19.225
Redaktur : Tim Redaksi