jpnn.com - jpnn.com - Para pendakwah agama Islam alias dai di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat ternyata keberatan membayar pajak penghasilan.
Hal ini terungkap setelah adanya pernyataan dari pihak Kementerian Keuangan yang mengingatkan bahwa penghasilan dai dari ceramah juga kena pajak.
BACA JUGA: Menyalati Jenazah Pendukung Ahok Tetap Fardu Kifayah
Ketua Tanfidziah Nahdlatul Ulama Kabupaten Cianjur KH Choirul Anam mengatakan, penerapan pajak bisa saja dilakukan kepada dai kondang yang kerap malang melintang di dunia hiburan. Namun untuk diwajibkan secara keseluruhan, menurutnya itu tak bisa.
”Bedakan antara mubaligh dan dai. Kalau mubaligh itu seperti banyak yang di dunia entertainment. Mungkin sekali show mereka bisa menghasilkan banyak uang. Tapi pendai khususnya yang menyebar di tiap daerah itu gak punya penghasilan,” jelasnya kepada Radar Cianjur, Selasa (28/2).
BACA JUGA: Jokowi Jadi Imam Salat, Ini Penilaian Din Syamsudin
Penyiar agama yang ada di daerah seperti Cianjur dinilai masih jauh dari sejahtera. Tak sedikit, para pendakwah lokal di Cianjur yang memiliki pekerjaan sambilan seperti berjualan bubur, tukang ojek, hingga buruh kasar. Semua itu dilakukan untuk membiayai kehidupan sehari-hari mereka.
Melihat letak geografis Kabupaten Cianjur yang terbentang dari selatan ke utara, para ustaz lokal tersebut juga dihadapkan dengan medan yang terjal, serta jauhnya jarak tempuh. Terkadang penghasilan dari ceramah pun tak sepadan dengan ongkos yang dikeluarkan.
BACA JUGA: Jokowi Ditunjuk jadi Imam Salat, Pengurus MUI Keberatan
Karena itu, Choirul mengatakan, para pendakwah dikhawatirkan kehilangan ketulusanannya jika mereka dibebankan membayar pajak penghasilan.
”Kalau dilihat-lihat, (dai) bukannya untung tapi nombok. Namun mereka selama ini ikhlas dalam menjalankannya. Kalau diterapkan pajak kepada ustaz itu keterlaluan,” tegasnya.
Hal senada diungkapkan, Sekretaris MUI Kabupaten Cianjur Ahmad Yani. Dirinya tak rela para ustaz dipajaki.
Menurut dia, seharusnya pemerintah memberikan perhatian dan bantuan kepada mereka, bukan justru sebaliknya.
”Saya gak setuju. Jangan samakan mereka dengan dai kondang yang sukses mondar-mandir di TV. Banyak dari mereka harus bekerja demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,” ujarnya.
Sementara itu, Iman (48) salah satu DKM di Masjid di Desa Sirnagalih, Kecamatan Cilaku mengatakan, biasanya di tempat tinggalnya itu ia mengundang pendai dalam sebuah kegiatan seperti peringatan isra miraj dan maulid nabi.
Di Cianjur sendiri kegiatan itu akrab disebut ’rajaban’ dan ’muludan’.
”Ustaz yang diundang tak pernah mematok berapa tarifnya. Umumnya kami masyarakat memberikan uang seadanya menyesuaikan dengan hasil iuran,” pungkasnya.
Sebelumnya, kabar mengejutkan datang dari Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo. Dia mengatakan, penghasilan para ustaz dari ceramah dikenai pajak.
”Mengenai gus-gus (ustaz), duit dari pendapatan apa pun harus bayar pajaknya. Mau dapat dari pengajian, dari kotak kaleng, atau apa pun kalau namanya penghasilan harus dibayar pajaknya,” jelas Suryo ketika acara sosialisasi tax amnesty beberapa waktu lalu.
Pendapat Suryo dikuatkan oleh Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo. Ia menjelaskan, pendapatan dari ceramah di masjid dengan di stasiun televisi sebenarnya sama saja.
”Dalam UU Pajak tidak ada pembedaan, pengusaha atau ustaz, kalau pendapatan ya kena pajak. Ustaz-ustaz yang jadi artis kan banyak juga. Setiap hari manggung di televisi kan itu dipotong pajaknya. Mau penyanyi atau ustaz, pajaknya sama,” papar Mardiasmo. (radar cianjur/cr1)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anies Bahas Strategi Tumbangkan Ahok dengan PWNU DKI
Redaktur & Reporter : Adil