MUI : Harta Koruptor Halal Dirampas

Selasa, 03 Juli 2012 – 06:26 WIB

JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa menarik. Yakni, menghalalkan negara merampas harta yang diperoleh dari hasil korupsi. Bukan hanya itu. Perampasan harta tidak menggantikan hukuman penjara dan hukuman akhirat yang akan diterima koruptor.
 
"MUI akan menerbitkan buku saku tentang hukuman akhirat bagi pelaku korupsi yang akan dibagikan pada seluruh penyelenggara negara," ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh, Senin (2/7).
  
Keputusan tersebut berdasarkan diskusi Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI ke-IV yang digelar di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Diskusi diikuti sekitar 100 ulama dari berbagai daerah.

Ni'am mengatakan, harta yang boleh disita negara adalah yang terbukti secara hukum berasal dari hasil korupsi. Uang atau aset yang dirampas selanjutnya dapat digunakan oleh negara untuk kepentingan umat.

Sedangkan harta yang tidak dapat dibuktikan secara hukum berasal dari hasil korupsi, tidak boleh disita. "Misalnya, harta waris atau pendapatan lain yang bukan dari hasil korupsi, tidak boleh dirampas," terang Ni'am.
 
MUI juga menyatakan, harta seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tapi tidak terbukti berasal dari tindak pidana korupsi, namun tidak dapat dijelaskan perolehannya dari pendapatan yang halal, dapat dirampas oleh negara. Ni'am menegaskan, fatwa tersebut merupakan dukungan para ulama terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Para ulama sepakat cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara sejahtera tidak akan tercapai bila belum bebas dari korupsi. Ulama juga berpendapat, maraknya tindak pidana korupsi disebabkan lemahnya institusi penegak hukum dan belum adanya efek jera.

Dengan fatwa tersebut, diharapkan penegak hukum tidak ragu menyita kekayaan para koruptor, agar muncul efek jera. Ni'am mengakui, upaya penyitaan harta koruptor masih berpotensi menghadapi rintangan, utamanya penolakan dari aktivis HAM dengan alasan menimbun harta atau aset kekayaan adalah hak asasi manusia.

"Namun, landasan argumentasi fatwa ini sangat kuat, sehingga penegak hukum tidak perlu ragu lagi melaksanakannya," terangnya.

Selain soal korupsi, MUI juga mengeluarkan fatwa soal pencucian uang. Pencucian uang adalah jarimah atau tindak pidana. Karena merupakan bentuk dari penggelapan atau ghulul.

Dengan status ini, pelaku pencucian uang bisa diproses hukuman tindak pidana atau ta'zir. Melalui fatwa ini MUI juga menegaskan bahwa menerima atau memanfaatkan uang hasil tindak pidana pencucian uang hukumnya adalah haram.

Penerima uang dari hasil tindak pidana pencucian uang wajib mengembalikan uang itu ke negara. Dan oleh negara digunakan untuk kemaslahatan umat. Penerima uang hasil tindak pidana pencucian uang bisa terbebas dari hukuman asal sudah mengembalikan ke negara. (wan/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nasabah tak Dibayar, Dirut Bank Mutiara Dinilai Membangkang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler