jpnn.com - JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak seluruh gugatan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang mengatur ketentuan pelarangan perkawinan beda agama.
Ini disampaikan saat MUI menjadi pihak terkait dalam sidang gugatan UU Perkawinan tersebut di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (5/11).
BACA JUGA: Diperiksa KPK, Irwansyah Mengaku Ditanya soal Film
Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Undang-undang MUI Luthfie Hakim dalam sidang menilai para penggugat UU Perkawinan di MK tersebut tidak mengetahui sejarah panjang terkait hukum perkawinan.
Para penggugat, ujarnya, hanya mengadopsi pemikiran dari aturan hukum yang pernah dibolehkan masa kolonial belanda. Pada masa itu, cara pandang pemerintah Belanda menganggap hukum perkawinan hanya diatur dalam kontek perdata.
BACA JUGA: Menpan-RB: Moratorium Tidak Berlaku untuk Guru Honorer dan Pegawai Medis
"Pemohon mengajak kita semua kembali pada cara berpikir seperti zaman kolonial Belanda. Sedangkan yang menyangkut hukum agama dikesampingkan," kata Luthfie dalam sidang.
Atas dasar itulah, Luthfie berharap empat mahasiswa Universitas Indonesia (UI) selaku pemohon membaca kembali literatur mengenai hukum perkawinan.
BACA JUGA: Yuddy Minta KPK Maklumi Menteri Baru
Luthfie menerangkan, pembentukan UU Perkawinan melalui proses diskusi dan diplomasi panjang oleh para pendiri negara bersama tokoh agama. Yang kemudian diputuskan hukum perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Menurutnya tafsir hukum pemohon yang menyatakan negara memiliki unsur memaksa dalam hukum perkawinan sangat tidak beralasan. Sehingga MUI mendesak MK untuk menolak seluruh permohonan pemohon.
"Ketentuan-ketentuan pasal 2 ayat 1 tidak dapat dimaknai negara memaksa warga negaranya. Sejak undang-undang perkawinan disahkan, jauh sebelum pemohon lahir, pemohon terlalu membesar-besarkan persoalan tanpa referensi yang jelas," sambung Luthfie.
Menurut Luthfie, para penggugat UU itu seolah ingin mengajak masyarakat untuk kembali merujuk pada hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda. Menurut dia, hal itu justru mengajak masyarakat untuk berpikir mundur.
"Para pemohon hadir dalam persidangan ini dengan maksud mengajak kita semua kembali pada cara pandang kolonialis Belanda," tuturnya.
Seperti diketahui permohonan uji materi UU Nomor 1 Tahun 1974 diajukan oleh empat orang berstatus mahasiswa Universitas Indonesia (UI) bernama Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Luthfi Saputra, dan Anbar Jayadi.
Para pemohon mempersoalkan masalah status hukum menurut agama. Mereka memohonkan pengujian Pasal 2 Ayat (1) tentang perkawinan yang menyatakan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
Dalam permohonannya mereka menyatakan, penerapan UU Perkawinan menurut agama telah menghilangkan hak kontitusional para pemohon secara individu.
Sebab, dengan berlakunya UU itu, pengaturan yang dilakukan diluar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Atau dengan kata lain, menurut pendapat pemohon bahwa, negara disebut memaksa agar setiap warga negaranya untuk mematuhi hukum agama dan kepercayaannya masing-masing dalam bidang perkawinan.
Pengaturan tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melakukan perkawinan di Indonesia. Penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung pada interprestasi baik secara individual maupun secara institusional. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dianggap Gagal Pimpin Golkar, Ical Tak Pantas Jadi Ketum Lagi
Redaktur : Tim Redaksi