Rangkaian tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 sudah dimulai pada awal bulan September.

Dua pekan lalu, potongan klip video yang menunjukkan konser musik dengan kerumunan warga tanpa masker dan tak menjaga jarak beredar viral di media sosial.

BACA JUGA: Innalillahi, Pak Lurah Meruya Selatan Meninggal Akibat COVID-19

Para penyanyi meneriakkan yel "SMS", singkatan dari salah satu pasangan calon bupati dan wakil bupati Pohuwato, Gorontalo, Saiful A Mbuinga-Suharsi Igirisa (SMS).

Diketahui konser tersebut berlangsung di Lapangan Gelanggang Olahraga Panua, Pohuwato di Gorontalo, Kamis, 3 September lalu.

BACA JUGA: Update Corona: Belum Ada Penurunan

External Link: Konser di Gorontalo

 

Konser di Gorontalo mengawali masa pendaftaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang dimulai serentak pada Jumat (04/09) dan ditutup Minggu (06/09).

BACA JUGA: Hanya 20 Persen Penderita COVID-19 di Australia Menunjukkan Gejala Demam

Di beberapa wilayah lain, seperti di Jawa Timur dan Papua, pendaftaran Pilkada masih melibatkan arak-arakan pasangan calon dan para pendukungnya di tengah angka positif COVID-19 sudah menembuh 200 ribu kasus.

Padahal, menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman, ada beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama pendaftaran calon digelar pada 4-6 September, salah satunya adalah arak-arakan.

"Pertama, tidak boleh melakukan arak-arakan. Jadi tidak boleh membawa pendukung yang begitu banyak untuk datang ke kantor KPU melakukan pendaftaran," tutur Arief.

Dari 687 bakal pasangan calon yang mendaftar, ada ratusan yang diduga melanggar aturan protokol kesehatan COVID-19.

Menanggapi maraknya pelanggaran ini, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya Senin (07/09), memerintahkan Menteri Dalam Negeri dan kepolisian untuk menindak tegas kerumunan selama penyelenggaraan Pilkada 2020.

"Saya minta Pak Mendagri, [agar] urusan yang berkaitan dengan Pilkada ini betul-betul ditegasi betul, diberikan ketegasan betul," kata Joko Widodo.

Kementerian Dalam Negeri akhirnya menegur 51 kepala daerah dan wakilnya terkait kerumunan massa saat pendaftaran calon peserta Pilkada 2020 yang berpotensi menjadi klaster baru. 'Risikonya besar jika Pilkada terus dilanjutkan' Photo: Pasangan bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi (tengah) dan Armuji (kedua kiri) menuju kantor KPU Surabaya untuk pendaftaran calon kepala daerah di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (04/09) (ANTARA FOTO: Moch Asim)


Mengingat masih banyak tahapan Pilkada dengan potensi kerumunan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merekomendasikan agar Pemerintah dan DPR, "melakukan penundaan pelaksanaan tahapan pilkada lanjutan sampai situasi kondisi penyebaran COVID-19 berakhir atau minimal mampu dikendalikan berdasarkan data epidemologi yang dipercaya," demikian bunyi poin pertama rekomendasi Komnas HAM.

Seruan penundaan juga disampaikan oleh beberapa pengamat dan organisasi, seperti Indobarometer dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Dekorasi (Perludem)

"Kami di Perludem khawatir sekali dengan perkembangan akhir-akhir ini, ada 60 bakal pasangan calon yang positif COVID-19," kata Peneliti Perludem Nurul Amalia, Minggu (13/09).

Nurul juga menggarisbawahi temuan Bawaslu jika ada lebih dari 200 daerah yang tidak mematuhi protokol COVID-19 saat pendaftaran peserta Pilkada yang lalu.

"Selama tidak ada komitmen dari penyelenggara pemilu, pihak paslon, dan pihak keamanan untuk menerapkan dan mematuhi protokol COVID-19 secara ketat berikut sanksi yang tegas … risikonya besar jika pilkada terus dilanjutkan," tambah Nurul. Opsi menunda Pilkada 'sudah tidak relevan lagi' Photo: Di Jawa Timur dan Papua, pendaftaran Pilkada yang dilangsungkan saat angka kasus positif COVID-19 sudah menembus 200 ribu kasus masih melibatkan arak-arakan pasangan calon dan pendukungnya. (ANTARA FOTO: Sevianto Pakiding)

 

Menanggapi beberapa seruan agar Pilkada 2020 ditunda, August Mellaz dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) menilai saat ini opsi tersebut sudah tidak relevan lagi.

Ia mengingatkan sejak awal karena pandemi, pihak penyelenggara telah menunda tahapan Pilkada sambil memantau perkembangan kasus di Indonesia, sebelum akhirnya sebuah keputusan politik diambil untuk memundurkan Pilkada ke 9 Desember 2020.

"Saat itu pihak penyelenggara sebenarnya tidak berkehendak melanjutkan Pilkada. Tetapi kalaupun tetap diselenggarakan, mereka mengajukan beberapa syarat," kata August.

Ia menambahkan syarat yang diajukan penyelenggara adalah penerapan protokol kesehatan dan penambahan anggaran agar protokol tersebut terjalankan.

"Dan semua syarat yang diajukan oleh penyelenggara itu sudah dipenuhi oleh pemerintah, termasuk penambahan anggaran yang diambil dari APBN dan APBD," tambahnya.

Karenanya, kini semua otoritas ada di tangan penyelenggara dan belajar dari pengalaman pelanggaran yang marak saat tahap pendaftaran, maka pihak penyelenggara harus mengevaluasi diri.

"Menujukan [gugatan] kepada pemerintah agak enggak pas, karena otoritas, anggaran, dan instrumen hukum sudah ada di pihak penyelenggara," kata August kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

Pemerintah Indonesia sendiri juga telah menegaskan jika Pilkada serentak harus tetap dilaksanakan meski di tengah pandemi COVID-19, seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo di akun Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (08/09).

August mengakui tingginya angka kasus COVID-19 di Indonesia yang belum mencapai puncaknya, tetapi juga mengingatkan bahwa 60 persen dari angka kasus disumbang oleh DKI Jakarta yang tidak Pilkada. 'Apa benar aman?': peta zonasi risiko tidak bisa jadi acuan Photo: Epidemiolog Unair, Windhu Purnomo, meragukan validitas daerah yang hijau atau kuning pada peta zonasi risiko, karena kapasitas tes yang masih jauh di bawah ideal. (Supplied: Windhu Purnomo)

 

Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo menampik argumen August yang memakai sebaran dan angka kasus positif yang didominasi DKI Jakarta sebagai acuan.

"Memang ada daerah hijau dan kuning pada peta yang dikeluarkan Satgas COVID-19 pusat, tetapi saya tidak yakin dengan validitasnya karena testing [di] Indonesia yang belum ideal, masih setengah dari syarat minimal WHO" ucap Windhu.

"Jadi artinya di luar DKI Jakarta pun belum aman. Melihat testing di luar Jakarta yang sangat rendah, apa benar aman?"

Windhu Purnomo menilai, Pilkada serentak di 270 tempat pada masa pandemi tidak layak dilaksanakan.

Ia mengatakan keputusan di bulan Juni lalu, agar Pilkada tetap berlangsung, namun diundur ke tanggal 9 Desember, diambil saat jumlah kasus sebenarnya sedang meningkat.

"Situasi saat itu masih mendaki, angka kasus sedang meningkat, malah diputuskan Pilkada tetap berjalan meski sedikit diundur. Jadi itu keputusan yang keliru dan tidak tepat," tutur Windhu kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

Meskipun KPU menambahkan sejumlah peraturan yang berhubungan dengan protokol kesehatan, menurut Windhu dalam peraturan tambahan tersebut juga masih ada peluang untuk orang bisa berkumpul.

Misalnya pada pertemuan terbatas, debat yang bisa dihadiri peserta meskipun ada pembatasan, dan pada saat kampanye.

Apalagi, tingkat kepatuhan warga, menurut Windhu, masih rendah, dan terbukti pada saat pendaftaran calon.

"Herannya, tidak ada langkah antisipasi dari petugas Satgas COVID daerah … padahal sehari atau dua hari sebelumnya sudah ada pernyataan dari calon bahwa mereka nanti akan mendaftarkan diri dengan diantar oleh para pendukung, tapi itu tidak diantisipasi, tidak ada pencegahan," ujar Windhu. Tahapan virtual dan sanksi diskualifikasi Photo: August Mellaz dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) menilai saat ini opsi menunda Pilkada sudah tidak relevan lagi. (Supplied: August Mellaz)

 

Menurut Windhu, Pilkada 2020 baru bisa dikatakan layak jika penyelenggara berani menggelar semua aktivitas tahapan Pilkada secara online.

Namun karena peraturan yang tidak memungkinkan apabila mekanisme pencoblosan dilakukan secara online maupun melalui mekanisme pos, senada dengan Windhu, August menyarankan agar semua tahapan, kecuali tahap pemungutan suara, bisa dilakukan secara virtual.

"Pemungutan suara dilakukan secara ketat, misalnya secara bergiliran dalam slot waktu yang berbeda. Misalnya nomor pemilih 1 sampai 100 di jam pertama, kemudian 101 sampai 200 di jam kedua dan seterusnya," usul August.

Selain itu, ia juga meminta agar ada sanksi yang tegas bagi pasangan peserta Pilkada yang melanggar protokol kesehatan dengan dasar UU Karantina Kesehatan dan UU Pilkada atau Peraturan Pelaksana lainnya.

"Yang paling menakutkan untuk pasangan calon sebetulnya adalah diskualifikasi, oleh sebab itu opsi ini harus diangkat dan dipergunakan sebagai salah satu instrumen puncak untuk melakukan pemberian sanksi," kata August.

Alternatif sanksi lainnya, saran August, adalah sanksi penghentian aktivitas pasangan calon dalam tahapan pilkada.

"Misalnya kampanye, kalau tidak memenuhi protokol kesehatan, maka seketika bisa dihentikan dan juga diberikan sanksi lain, contohnya nanti slot waktu kampanye mereka yang selanjutnya juga akan dikurangi," pungkasnya.

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tekan Penyebaran Covid-19 di Transportasi Umum, IDI Keluarkan Imbauan

Berita Terkait