Munir di Mata Dua Anaknya, 8 Tahun setelah Dibunuh

Sabtu, 08 September 2012 – 07:57 WIB
SOULTAN Alif Allende dan Diva Suki Larasati mengenang sang bapak, Munir Said Thalib, dengan cara meneladani ketegaran serta keberaniannya. Alif bercita-cita menjadi sutradara yang memfilmkan perjuangan menegakkan hak asasi manusia. 
 
LAPORAN:
BAMBANG TRI, Malang
MASBAHURROZIQI, Batu

 
SOULTAN Alif Allende masih mengingat betul pagi hari, 8 September, delapan tahun silam. Dengan setengah berlari, dia menemui sang ibu, Suciwati, di kamar untuk mengonfirmasi apa yang baru saja didengarnya dari sang guru terapi autis. "Apa benar Abah meninggal," tanyanya kepada sang ibu ketika itu.

Suciwati yang tampak murung tidak langsung menjawab. Namun, Alif terus mendesak. Wanita yang dinikahi Munir pada 7 Januari 1996 itu pun akhirnya tak kuasa menahan. "Semua orang akan meninggal dunia, Nak," katanya. Keduanya pun berpelukan sembari menangis.

Butuh waktu tak sebentar bagi Alif untuk bisa melupakan kesedihan atas meninggalnya sang abah yang diracun dalam penerbangan menuju Amsterdam, Belanda, pada 7 September 2004 itu. Apalagi, pejuang hak asasi manusia tersebut pergi untuk selamanya ketika sang anak sulung yang Oktober nanti berusia 14 tahun tersebut baru saja menginjak kelas I SD di Jakarta. 

Lewat perjuangan keras, baru lima tahun terakhir inilah pelajar kelas IX MTs Surya Buana Kota Malang itu benar-benar bisa mengikhlaskan kepergian sang abah. "Aku mikirnya waktu itu gak boleh sedih terus, harus bisa tegar biar sekolah bisa berlangsung lancar," katanya kepada Jawa Pos Radar Malang yang menemuinya kemarin di kompleks sekolah, didampingi Kepala MTs Surya Buana Akhmad Riyadi dan pengasuh yayasan bidang perguruan H. Abdul Djalil Zuhri.

Setelah menyelesaikan pendidikan SD di Jakarta, Alif bersama ibu dan adiknya, Diva Suki Larasati, hijrah ke Malang untuk melanjutkan pendidikan SMP. MTs Surya Buana Kota Malang akhirnya dipilih Alif untuk melanjutkan studi. Selain bersekolah, dia memutuskan mondok di Ponpes Surya Buana.

Apalagi, salah seorang perintis Yayasan Surya Buana dr H Elvin Fajrul adalah sahabat almarhum Munir saat aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Universitas Brawijaya, Malang, dulu. "Ibu juga merasa tenang menitipkan saya di sini karena salah seorang perintisnya adalah sahabat Abah," terangnya.

Kini Alif mengenang sang abah yang dimakamkan di Kelurahan Sisir, Kecamatan Batu, Kota Batu, tersebut dengan cara yang sangat dewasa: meneladani semangat dan ketegarannya. Kebetulan, bersekolah sekaligus mondok di tempat yang membuatnya hidup terpisah dari ibu dan adik juga sangat membantunya menjadi mandiri.
 Kemandirian serupa juga diperlihatkan sang adik, Diva, yang tinggal bersama sang ibu di Jalan Raya Sidomulyo No 2, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Meski di rumah tersebut dia juga ditemani sang bibi, Hamidah, pelajar kelas V SDN Sidomulyo itu terlatih mengerjakan segala sesuatu sendirian.   

Kepedulian Munir yang tinggi terhadap sesama juga menurun kepada putri bungsunya itu. Di antara teman-temannya, dia dikenal sangat setia kawan. Tak mengherankan, rumahnya hampir selalu ramai oleh kunjungan kawan-kawannya. Seperti ketika Jawa Pos Radar Malang berkunjung kemarin, saat sang ibu harus pergi ke luar kota untuk menghadiri peringatan delapan tahun meninggalnya Munir.

"Abah orang pemberani. Saya juga harus seperti dia," kata penggemar berenang itu.

Sejak kecil Munir memang dikenal sebagai sosok yang tegar, tegas, dan pemberani. Terutama dalam urusan mencari kebenaran meski sangat berisiko sekalipun. "Orangnya baik. Saya sendiri kagum terhadap sikap dan sifatnya yang berani," kata Mufid, kakak kandung Munir, yang tinggal di Batu.

Munir meninggal saat Diva berusia dua tahun. Jadi, sejatinya tak banyak kenangan tentang sang abah yang terekam di benaknya. Namun, dengan caranya sendiri dia berusaha mengenali pria kelahiran 8 Desember 1965 tersebut lewat apa saja yang bisa dibaca di internet.

Ketika kemudian kerinduan kepada Munir memuncak, selembar foto yang tersimpan di ruang keluarga menjadi pelampiasan. Di foto yang diambil pada 2004 tersebut Diva yang berusia dua tahun saat itu digendong sang abah.

"Saya sangat rindu Abah. Saya hanya bisa melihat di foto saja saat digendong," kata Diva lirih.

Tentu kerinduan serupa juga dirasakan Alif. Tapi, Alif berusaha menyalurkan rasa kangennya kepada sang abah dengan menapaktilasi perjuangan Munir membela hak-hak asasi manusia, namun dengan cara yang sedikit berbeda.

Alif mengatakan bercita-cita menjadi seorang sutradara yang akan membuat film tentang perjuangan penegakan HAM, salah satu di antaranya tentang kisah sang ayah. Melalui film, dia juga yakin bisa menyebarkan semangat anti kekerasan yang diajarkan Munir.

"Saya masih ingat, Abah selalu mengingatkan kepada saya agar jangan pernah menyelesaikan persoalan dengan kekerasan," katanya.

Selebihnya, Alif hanya berharap agar pemerintah dan seluruh aparat penegak hukum tidak pernah menjadi pelupa. "Jangan menjadi lupa, tegakkan hukum seadil-adilnya. Ini bukan karena aku anaknya Abah. Tapi, ini demi seluruh warga negara ini," katanya lantang. (*/jpnn/c4/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ekspedisi Keliling Dunia, KRI Dewaruci Sandar di Port Said, Mesir

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler