Mursi Izinkan Militer Mesir Tangkap Warga Sipil

Selasa, 11 Desember 2012 – 05:15 WIB
KAIRO - Krisis politik belum benar-benar berlalu di Mesir. Keputusan Presiden Muhammad Mursi mencabut dan membatalkan dekrit 22 November lalu belum mampu menghentikan aksi unjuk rasa di depan Istana al-Ittihadiya atau Istana Heliopolis, Kairo, Senin (10/12). Massa yang digalang kubu oposisi juga menuntut agar Mursi menunda referendum konstitusi pada 15 Desember mendatang.

Tetapi, Mursi bersikukuh bahwa referendum jalan terus. Bahkan, kemarin tokoh 61 tahun yang menjabat presiden di Mesir sejak 30 Juni lalu itu membuat keputusan baru. Dia memberikan kekuasaan (power) dan kewenangan kepada militer untuk menangkap warga sipil atau siapa saja yang diduga menyulut kerusuhan menjelang referendum.

Bersama polisi, militer pun diperintahkan untuk menjaga keamanan dan mencegah gangguan menjelang dan setelah pelaksanaan referendum konstitusi. Keputusan presiden itu berlaku efektif kemarin atau menjelang rencana unjuk rasa besar-besaran hari ini (11/12) yang disuarakan oleh oposisi maupun para pendukung Mursi.

Meski bersifat terbatas, keputusan Mursi tersebut justru membangkitkan memori terkait undang-undang darurat di era Hosni Mubarak. Saat itu pengadilan keamanan negara (pengadilan militer) menyidangkan ribuan tahanan politik (tapol) dan militan Islam.

Tetapi, militer Mesir meyakinkan bahwa keputusan yang diambil Mursi hanya bersifat sementara. "Undang-undang terbaru memberikan hak kepada militer untuk menangkap siapa saja yang terlibat tindakan ilegal, seperti membakar bangunan atau merusak fasilitas umum. Itu dimaksudkan untuk memastikan keamanan hanya selama referendum," kata sumber di kalangan militer.

Militer, tutur dia, mengamankan tempat pemungutan suara (TPS) selama beberapa kali pemilu sebelum Mursi terpilih. Hal itu merujuk pada 16 bulan kekuasaan militer (Dewan Tertinggi Militer atau SCAF) pasca-lengsernya Mubarak.

"Saat ini, presiden (Mursi, Red) yang berkuasa. Untuk memerintahkan militer terlibat dalam pengamanan referendum, undang-undang (keputusan presiden, Red) pun harus dikeluarkan," paparnya.

Juru bicara kepresidenan Yasser Ali beralasan bahwa komite yang menangani referendum yang telah meminta bantuan militer. "Angkatan bersenjata akan bertugas dalam kerangka kerja yang legal untuk mengamankan referendum dan akan kembali (ke barak) segera setelah referendum itu selesai," terangnya.

Sabtu lalu (9/12), setelah berdialog dengan sejumlah tokoh politik, Mursi mencabut dekrit 22 November. Dekrit itu memberikan kekuasaan lebih besar kepada presiden, termasuk membubarkan lembaga peradilan. Tapi, mantan ketua Partai Kemerdekaan dan Keadilan atau FJP (Hizb Al-Hurriya Wal Adala), partai politik Ikhwanul Muslimin, itu menegaskan bahwa referendum konstitusi jalan terus.

Oposisi menolak keputusan tersebut. Mereka menuntut agar Mursi membatalkan dekrit dan menunda referendum. Para pemimpin oposisi pun menyerukan agar warga Mesir kembali turun ke jalan hari ini untuk menolak referendum.

"Penolakan kami bukan dimaksudkan untuk menjatuhkan presiden, tetapi kami menginginkan konstitusi yang lebih baik," tegas tokoh oposisi dan mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) Amr Moussa kepada BBC.

Di pihak lain, Ikhwanul Muslimin dan kelompok Islam juga menyatakan akan melakukan demo tandingan hari ini. Karena itulah, ada kekhawatiran bahwa bentrok berdarah di jalanan Mesir bakal terulang dan menelan banyak korban.

Mursi sebetulnya juga menawarkan sejumlah konsesi. Selain membatalkan dekrit, dia pun menghentikan kenaikan pajak dalam jumlah besar atas penjualan sejumlah barang seperti minuman ringan, rokok, dan bir. Harian al-Ahram melaporkan bahwa keputusan itu diungkapkan dalam laman Facebook milik Mursi kemarin.

Keterlibatan militer dalam pengamanan referendum itu mengindikasikan bahwa peran polisi berkurang dan terus melemah pasca-Mubarak. Polisi juga dianggap tidak terlalu tangguh dalam menjaga keamanan. Hal itu terjadi setelah polisi gagal mencegah demonstran anti-Ikhwanul Muslimin yang menyerbu ke markas partai tersebut di beberapa kota pekan lalu.

Penambahan personel militer juga terlihat kemarin pagi di dekat istana kepresidenan. Lokasi itu dijadikan pusat demonstrasi oposisi. Militer pun memagari istana dengan menggunakan barikade kawat berduri dan beton.

Oposisi menyatakan bahwa rancangan konstitusi tidak merepresentasikan rakyat Mesir. Melalui pernyataan resmi yang dilansir Minggu (10/12), Front Penyelamat Nasional (NSF) menyatakan bahwa mereka tidak akan mengakui konstitusi tersebut. "Kami menolak referendum karena hanya akan mengakibatkan perpecahan dan perlawanan lebih luas," ujar Juru Bicara NSF Sameh Ashour.

Minggu lalu, ratusan demonstran berkumpul di luar istana kepresidenan untuk memprotes rencana referendum. Dalam aksinya, mereka meneriakkan slogan anti-Ikhwanul Muslimin dan menuntut agar Mursi mundur.

"Referendum akan tetap berlangsung pada 15 Desember. Karena itulah, kami ada di sini untuk menolaknya," ujar salah seorang demonstran.

Konstitusi baru tersebut diyakini akan membuka peluang bagi implementasi hukum Islam. Konstitusi tersebut juga diyakini akan membuat hak-hak sipil kian dikesampingkan. Selain itu, UUD baru tersebut diyakini berisi diskriminasi gender dan akan mengembalikan perempuan pada urusan rumah atau keluarga. Kebebasan berekspresi juga diyakini kembali dikekang.

Jubir NSF Khaled Dawoud menyatakan bahwa oposisi akan meningkatkan tekanan supaya Mursi mau menunda referendum. "Juga, memberikan kami waktu lebih banyak untuk mendiskusikan rencangan konstitusi," tandasnya. (AP/BBC/RTR/cak/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jepang Digoyang Gempa, Tsunami 1 Meter Melanda

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler