Museum di Istanbul

Selasa, 08 Oktober 2013 – 17:16 WIB

jpnn.com - MASIH tentang Istanbul, minggu lalu saya memasuki sebuah bangunan –atau lebih tepatnya, “tempat penyimpanan keingintahuan” – yang membalik asumsi saya tentang arti sebuah museum dan dimana fiksi dimulai dan berakhir.

Tetapi pertama-tama saya akan menceritakan sedikit tentang bangunan yang unik ini. Museum yang saya jumpai ini berlokasi di tengah-tengah perempatan bohemian wilayah Cukurcuma di distrik Beyoglu, Istanbul. Bangunan masih kelihatan trendi meski ada sedikit yang rusak.

BACA JUGA: Istanbul, Kota Impian Olimpiade

Pada saat runtuhnya kekaisaran Ottoman dan munculnya Republik Attaturk, banyak orang Yunani, Armenia dan Yahudi meninggalkan kota mereka yang telah ditempati selama berabad-abad.

“Museum of Innocence” merupakan museum dengan nama yang sama seperti novel yang dikarang oleh peraih Nobel Sastra, Orhan Pamuk. Pamuk juga yang membuat ide museum ini berdiri.

BACA JUGA: Jusuf Kalla

Siapapun yang pernah membaca karya Pamuk sebelumnya (My Name is Red dan Snow) akan membuktikan bahwa sang penulis ini sangat memuja paradoks dan argumen yang bisa berubah-ubah ibarat dinamisnya balok-balok permainan rubik.

Jadi bersiap-siaplah anda ketika akan melangkahkan kaki memasuki gedung museum. Bangunan museum sebenarnya kecil –hanya bertingkat tiga- dan sangat sempit. Setelah membayar tiket masuk (TRY 25 atau sekitar IDR 120,000), seketika anda akan dibuat kaget karena hanya menemukan isi museum dipenuhi benda-benda perlengkapan rumah tangga yang aneh, kusut dan bercampur aduk. Ada pakaian tua yang lusuh, jepit rambut, boneka dan ribuan puntung rokok (yang berjumlah 4213 puntung!).

BACA JUGA: KPK dan Janet Napoles

“Museum of Innocence” (baik museum dan novel memiliki nama yang sama) merupakan kebangkitan sayu dari masa kecil Pamuk dari tahun 1940 sampai akhir tahun 1950-an. Sebagian isi museum diambil dari toko barang bekas di Istanbul. Kedua museum dan novel juga menceritakan tentang hubungan percintaan fiksi antara seorang laki-laki yang patuh dari keturunan bangsawan, Kemal dengan gadis pekerja dan berstrata sosial rendah bernama Fusun.

Kebanyakan museum yang saya tahu seperti Louvre, the British Museum dan Metropolitan di New York umumnya sangat gigantis dan berada di tengah ruang publik –terkadang menempati bekas istana- didedikasikan untuk tujuan pembangunan bangsa dan tak jarang untuk menciptakan mitos.

Namun Museum of Innocence justru membalikkan fokus. Alih-alih menyuguhkan kesan keren dan bombastis, ia justru hadir di ruangan sempit dan mungil yang membutuhkan pengunjung berkonsentrasi pada hal-hal yang bersifat domestik dan dangkal. Ini yang disebut dengan keintiman: cerita-cerita kecil yang tersusun dan yang terpenting bersifat pribadi.

Pada saat yang sama, museum ini juga merupakan manifestasi fisik dari novel Pamuk. Tiap-tiap bab yang berjumlah delapan puluh tiga (termasuk satu bab yang berjudul “4213 Cigarette Butts”) divisualisasikan ke dalam format 3-D dengan lemari kaca dan diorama.

Tentu, ada saat dimana kebanggan sebuah museum ini terkesan agak dipaksakan (jangan lupa bahwa Kemal dan Fusun keduanya adalah tokoh karakter fiksi). Siapapun pasti bertanya-tanya apa yang mendorong seorang peraih Nobel Sastra begitu “menyia-nyiakan” waktunya hanya untuk merakit, menampilkan dan mengkatalogkan sejumlah benda yang begitu banyak terkumpulkan di museum?

Sebagai contoh, kesemua 4213 puntung rokok  masing-masing dipisahkan dengan tanggal dan penjelasan di bawahnya.

Tapi jangan khawatir. Selain sinis dan agak nakal, Pamuk juga sangat subversif. Pamuk adalah seorang novelis yang menyuguhkan kenikmatan bacaan berlapis-lapis dan terkecap oleh indera seperti baklava yang banyak dijumpai di toko kue di Istanbul.

Penulis jelas terpesona oleh ide-ide peradaban – diambil dari era Enlightenment – yang mendukung budaya terbangunnya museum-museum. Ironisnya, pada tahun 1700-an dan 1800-an, periode era Enlightenment yang sedang berkembang pesat juga saat dimana Ottoman gagal beradaptasi dan mengalami masa-masa sulit dan keputusasaan. Ottoman melepaskan wilayah demi urusan diplomatik dan kekalahan militer.

Era Khalifah berjaya adalah justru saat orang-orang Eropa menuai manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang muncul pada periode ini, juga kajian penelitian yang intens dan berkelanjutan.

Pada kondisi yang sama, nasib kepenulisan dan kehidupan di Turki saat itu, seperti Pamuk gambarkan yaitu terjebak di antara dua dunia –Barat dan Muslim. Pamuk lantas menghindari pertanyaan abadi tersebut tentang mana yang lebih baik, karena ia sadar ketegangan akan wacana ini semakin berkembang.

Sebaliknya ia mengingatkan kita bahwa kebenaran yang ia sebut dengan “the centre of things” tidak terletak dari argumentasi dan keyakinan. Bagi Pamuk seorang yang humanis, “the centre of things” itu berada di diri kita masing-masing.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penyelamat Demokrat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler