Penyelamat Demokrat

Selasa, 10 September 2013 – 13:34 WIB

jpnn.com - TAHUN-TAHUN kemarin, Partai Demokrat milik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berada dalam pelbagai masalah dan ketidakberdayaan.

Tak terhitung lagi dugaan korupsi yang mengarah kepada anggota-anggota partai ini. Di satu sisi, periode pemerintahan yang lambat laun akan berakhir membawa kekuasaan partai ini semakin berkurang dengan sendirinya.

BACA JUGA: Anies Baswedan

Pekan lalu, dua hal penting yang membuktikan bahwa partai yang sedang terkepung ini masih memiliki rencana lain. Kekalahan belum sepenuhnya terjadi.

Namun, seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, keterpurukan Demokrat mungkin terbayar di tangan seorang pria berusia enam puluh tiga tahun yang tinggal dan bekerja di Surabaya. Ia adalah Soekarwo dan bukan termasuk anggota trah Cikeas.

BACA JUGA: Misi Penyelamatan Sri Mulyani

Dalam hal ini, pembaharuan politik internal partai dan munculnya pemimpin alternatif – seperti yang telah PDI-P temukan – adalah bagian dari proses ‘bottom-up’ dengan kemunculan figur baru yang populer yang berasal dari daerah -sebut saja mantan Walikota Solo Joko Widodo yang muncul dari kota Solo. Namun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga telah menjadi “ladang pembantaian” bagi bibit-bibit pemimpin yang memiliki talenta dan ambisi kuat.

Tapi lebih dulu, izinkan saya memulai penjelasan dengan Konvensi Partai Demokrat yang ramai diperbincangkan di sana sini dan hangat menjadi tajuk beberapa media minggu lalu. Dengan menjaring sebelas kandidat, konvensi akan menjadi sangat hidup dan menarik ibarat reality show.

BACA JUGA: Tukang Cerita Sudah 50 Tahun!

Pada waktu yang bersamaan, incumbent kandidat Partai Demokrat, Pak Soekarwo memenangkan Pemilihan Gubernur Jawa Timur mengalahkan rival terberatnya Khofifah Indar Parawansa.

Harus diakui, sebelumnya saya juga mengkritik konvensi ini. Sementara, melihat dari para kandidat yang masuk dalam konvensi terlihat sedikit membingungkan, namun keinginan yang mendasari konvensi adalah untuk menuruti kemauan publik – dan harus dikatakan- antusiasme untuk partai ini cukup terpuji.

Menariknya, mereka yang masuk dalam konvensi (termasuk adik ipar SBY Jendral Purn. Pramono Edhie Wibowo, inspirator idola kaum muda Dino Patti Djalal dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan) tidak pernah mencicipi Pemilu sebelumnya. Dengan demikian, mereka relatif tidak berpengalaman dalam menyusun strategi dan mengelola kampanye serta mengamankan suara.

Tentu saja, konvensi itu sendiri akan memungkinkan tokoh-tokoh yang kurang dikenal menjadi lebih akrab terdengar di telinga masyarakat. Dengan format reality show (yang diakui terdengar kurang nyaman) yang memadukan antara tensi dramatis dan hiburan – apakah mungkin cukup menjerat suara pemirsa? Inilah yang patut dipertanyakan.

Meski demikian, jika ajang pencarian bakat sedang berlangsung di Jakarta, kontes politik secara “live” justru terjadi di ujung timur pulau Jawa.

Kontes tersebut adalah pemilihan gubernur Jawa Timur dan seorang incumbent, Soekarwo mantan pegawai negeri yang bersahaja dengan daya tarik dari kalangan grass root yang kuat muncul untuk mengamankan suara terbanyak mengalahkan musuh bebuyutannya Khofifah Indar Parawansa.

Mengingat bahwa Jawa Timur itu sangat luas – memiliki 30 juta pemilih dan faktanya bahwa tidak ada calon presiden yang terpilih bisa menang tanpa kemenangan di provinsi ini- Soekarwo adalah dorongan yang sangat besar untuk peluang Partai Demokrat.

Menariknya, PDI-P hanya berhasil mengamankan suara sekitar 13% dari suara masyarakat Jawa Timur. Hal ini memaksa partai yang berlambang banteng ini untuk menilai kembali strategi ‘go-it-alone’ mereka.

Bukankah seharusnya pemimpin-pemimpin di dalam Partai Demokrat berduyun-duyun meminang Soekarwo (Jokowinya Demokrat?) untuk bergabung dalam konvensi?

Setelah memenangkan pemilihan kepala daerah di provinsi terbesar di Indonesia (Jawa Timur tentu lebih besar daripada Sulawesi Utara yang Gubernurnya, Sinyo Harry Sarundajang diundang untuk ikut konvensi), bukankan Soekarwo muncul sebagai seorang penyelamat partai?

Tentu saja, pasti ada kerikil-kerikil kecil sepanjang jalan menuju pencalonan Soekarwo.

Namun sebagai permulaan, ada dugaan bahwa kemenangannya di Jawa Timur secara substansial dibantu oleh penggunaan dana bantuan sosial (bansos). Namun sekali lagi kabar burung sejenis itu sangat lumrah didengar di seluruh Indonesia.

Selain keengganan orang-orang Jakarta dengan apapun yang datang dari Surabaya, ada perkiraan bahwa konvensi sebenarnya sudah dibentuk sedemikian rupa untuk memenangkan kandidat “terpilih” dan tentu saja ia adalah seseorang yang tak jauh dari trah SBY.

Mengingat hal tersebut, jika ada kandidat dari luar Jakarta seperti Surabaya dengan memiliki tingkat kepopuleran yang tak perlu disanggah, akankah masih tidak bisa diterima dalam konvensi ini?

Lambat laun, mungkin saja skeptisisme ini tidak terdengar begitu aneh…[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi dan Tanah Abang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler