Museum Wallacea Universitas Haluoleo, Kendari, Menuju Pusat Ilmu Satwa Dunia

Sebar Intelijen untuk Kumpulkan Koleksi Satwa Langka

Selasa, 10 April 2012 – 00:10 WIB
LANGKA: Sri Nirmalasari Aco sedang mengamati tengkorak babi rusa di Museum Wallacea Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (6/4). Foto : Hilmi Setiawan/Jawa Pos

Penjelajahan ahli biologi asal Inggris Raya Alfred Russel Wallace ke Nusantara pada 1854"1862 melahirkan garis sebaran satwa yang diberi nama Garis Wallacea. Untuk menghormati jasa besar peneliti itu, pemerintah mendirikan Museum Wallacea di Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara.
   
    M. HILMI SETIAWAN, Kendari
   
SUASANA di gedung Pascasarjana Universitas Haluoleo, Kendari, Jumat lalu (6/4) terasa sangat riuh. Di lantai dasar, ratusan civitas academica kampus merayakan peresmian gedung dengan gegap gempita. Sementara itu, di lantai lima, sejumlah mahasiswa dan dosen sibuk menata beberapa tengkorak dan foto satwa khas Wallacea.

Lantai lima gedung tersebut memang tidak dijadikan ruang kuliah. Di ruang yang cukup luas itulah Museum Wallacea didirikan. Berbagai tulang satwa endemik di Garis Wallacea mengisi museum pendidikan itu. Ada tulang satwa langka dari Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan gugusan pulau kecil di sekitar pulau-pulau besar tersebut.

Di antara yang sibuk menyiapkan Museum Wallacea adalah Dr Muzuni. Dosen yang ditunjuk sebagai kepala Museum Wallacea itu menuturkan, satwa endemik Nusantara yang sebenarnya terdapat di pulau-pulau yang masuk dalam Garis Wallacea. "Karena itu, kami terus mengumpulkan kerangka-kerangka satwa yang pernah hidup di pulau-pulau tersebut," ujarnya.

Menurut pria kelahiran Buton, 7 April 1971 itu, peta flora dan fauna di Indonesia terbagi menjadi tiga zona. Yaitu, zona Asia, zona Wallacea, dan zona Australasia.

Zona Asia berada di bagian barat, meliputi Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Zona ini juga sering disebut paparan Sunda. Satwa di zona ini memiliki kemiripan atau dipengaruhi oleh satwa di Benua Asia. Misalnya, harimau, badak, orang utan, gajah, dan leopard.
   
Sebaran yang khas ini terjadi karena ketiga pulau itu pernah menyatu dengan kawasan di Benua Asia lainnya. Pulau-pulau yang menyatu tadi memungkinkan terjadinya migrasi sejumlah satwa. Misalnya, harimau dari kawasan India ke Indonesia.
   
Sementara itu, zona Australasia terletak di Indonesia bagian timur. Wilayah ini terdiri atas Pulau Papua dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Dulu, kata Muzuni, pulau yang bentuknya mirip dengan kepala burung itu menyatu dengan Benua Australia. Tak mengherankan bila terdapat kesamaan satwa dari Pulau Papua dengan Benua Australia. Di antaranya kanguru dan kuskus yang juga banyak ditemukan di Australia.
   
Wilayah ketiga adalah zona Wallacea. Satwa yang ada di zona ini benar-benar tidak terpengaruh oleh satwa Benua Asia maupun Australia. "Hewannya benar-benar khas. Mungkin inilah hewan asli Indonesia," katanya.
   
Kekhasan satwa di zona Wallacea terbentuk karena kawasan ini dikelilingi lautan yang cukup dalam. Pulau-pulau yang dihuni satwa-satwa di zona Wallacea tidak pernah menyatu dengan pulau-pulau di kawasan Asia maupun Australia lainnya. "Di sini tidak ada gajah. Kanguru juga tidak sampai ke sini," terang kepala Pusat Penelitian Wallacea Universitas Haluoleo itu.
   
Di antara satwa endemik Wallacea yang menjadi primadona adalah anoa. Orang mengenalnya sebagai sapi Sulawesi. Selain itu, babi rusa, burung maleo, kakak tua kecil jambul kuning, julang sulawesi, dan cekakak biru-putih. Ada juga aneka kadal dan katak.
   
Sayangnya, sebagian hewan langka tersebut kini terancam punah. Ancaman serius inilah yang kemudian melecut Universitas Haluoleo tergerak untuk mendirikan Museum Wallacea. Inilah museum biologi kedua yang dikelola sebuah perguruan tinggi negeri (PTN). Selain Universitas Haluoleo, Universitas Cendrawasih Papua lebih dulu dipercaya mengurusi museum pendidikan.
   
Memang koleksi Museum Wallacea saat ini belum banyak. Baru ada beberapa kerangka binatang khas Garis Wallacea. Di antaranya, koleksi tanduk anoa, terumbu karang, dan tengkorak babi rusa. "Karena itu, kami terus mencari koleksi satwa Wallacea untuk memenuhi museum ini," tutur Koordinator Koleksi Museum Wallacea Abdul Rouf Suleman.
   
Rouf menuturkan, koleksi yang ada ini merupakan pemberian kolektor barang antik. Dia yakin masih banyak masyarakat yang memiliki koleksi tengkorak atau tulang belulang hewan-hewan khas Wallacea.
   
Pria kelahiran Maros, 14 April 1954, itu menjelaskan, persiapan peresmian museum itu benar-benar mepet. Selain koleksinya masih minim, koleksi aneka terumbu karang khas zona Wallacea juga belum banyak. Apalagi, koleksi terumbu karang itu baru diperoleh H-1 sebelum peresmian. Karena itu, saat etalase penyimpanan terumbu karang dibuka, aroma khas bangkai satwa laut itu langsung menyengat hidung.
   
Rouf memiliki beberapa strategi untuk mengumpulkan benda-benda yang layak menjadi koleksi Museum Wallacea. Salah satunya dengan menyebar beberapa "intelijen" khusus untuk blusukan ke hutan-hutan yang rawan terjadi praktik perburuan liar. Hampir seluruh hutan di Sumatera Tenggara rawan menjadi praktik perburuan liar.
 
Rouf menuturkan, anoa yang menjadi primadona di zona Wallacea terus terancam punah. Banyak warga setempat yang berburu anoa untuk diambil daging dan tanduknya. Harga daging dan tanduk "sapi Sulawesi" itu memang mahal.
 
Dengan adanya para intelijen khusus tersebut, setiap perburuan liar bisa dicegah. Tim buser tersebut juga bisa merampas hasil tangkapan para pemburu liar. Barang sitaan itu kemudian diawetkan dan dijadikan koleksi museum. "Di mana-mana koleksi museum tidak bisa langsung banyak," ujarnya.
 
Cara lain yang ditempuh untuk melengkapi koleksi Museum Wallacea adalah mengumpulkan seluruh kepala daerah di zona Wallacea. Dalam pertemuan itu, mereka diminta ikut program pengumpulan koleksi satwa. Selain itu, pertemuan dengan kepala daerah digunakan sebagai sarana kampanye untuk menangkal kepunahan satwa endemis zona Wallacea.
 
Dalam jangka panjang, Rouf yakin, Museum Wallacea bisa menjadi pusat penelitian sebaran satwa di zona Wallacea terbesar di dunia. Selama ini, banyak peneliti asing berkunjung ke Kendari dan sekitarnya untuk meneliti sebaran hewan zona Wallacea.
 
Nah, jika koleksi Museum Wallacea sudah banyak, para peneliti bisa mampir ke museum sebelum terjun ke lapangan.  Museum tersebut bakal dibuka untuk pelajar maupun mahasiswa.
 
Jika kepunahan terus mengancam, Rouf khawatir suatu saat nanti anak-anak muda Indonesia tidak bisa melihat anoa, babi rusa, atau burung maleo. "Jika kondisi ini terjadi, museum ini merupakan media menarik untuk mempelajari satwa di zona Wallacea," tandas Rouf. (*/c10/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Komunitas Single Parent, Tempat Berbagi Para Janda dan Duda


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler