Seorang musisi jazz asal Indonesia Ade Ishs yang tinggal di Melbourne (Australia) mengatakan bahwa Rencana UU Permusikan yang banyak dibicarakan di Indonesia sekarang dianggap tidak perlu dibuat, kalau naskahnya seperti sekarang.
Ade Ishs yang sering manggung teratur di berbagai klub jazz di Melbourne mengatakan dia mengikuti cukup seksama mengenai perbincangan soal UU Permusikan tersebut.
BACA JUGA: Newcastle Jets Akui Persija Lawan yang Berat
Sama seperti yang juga sudah disuarakan oleh beberapa kalangan pemusik di Indonesia yang menentang beberapa bagian dalam RUU Permusikan tersebut, Ade Ishs menyoroti hal seperti pasal mengenai pengaruh asing, dan juga perlunya seritifikasi bagi para pemusik.
"Secara keseluruhan, menurut saya, kalau melihat naskah yang ada sekarang, sebaiknya tidak usah ada saja sekalian." katanya dalam perbincangan dengan wartawan ABC Sastra Wijaya hari Senin (11/2/2019).
BACA JUGA: Pastor Katolik Asal AS di Timor Leste Dipecat Karena Kasus Seksual Anak-Anak
Photo: Ade Ishs musisi jazz asal Indonesia yang sering manggung di Melbourne. (Foto: Fitriah Usman)
Menurut Ade Ishs yang sebelumnya berasal dari Jawa Barat terebut, dari isinya sekarang RUU Permusikan tersebut menurutnya konyol dan dalam masalah sertifikasi menurutnya membuat adanya birokrasi baru yang berpotensi menciptakan korupsi.
BACA JUGA: Hakeem Al-Araibi Kembali ke Melbourne Setelah Kasus Deportasi di Thailand Dihentikan
"Mungkin saya terllalu curiga, namun dalam soal sertifikasi musisi atau pengadaan beasiswa, ini ada peluang bagi adanya korupsi atau paling tidak birokrasi tingkat tinggi." kata musisi yang memainkan instrumen utama piano tersebut.
Di bagian lain, Ade Ishs juga mempertanyakan aturan-aturan dalam RUU tersebut yang disebutnya mengekang, seperti kalau mendatangkan musisi dari luar negeri harus ada musisi Indonesia pendamping.
"Musisi dari luar negeri itu apa definisinya? Di bagian penjelasan saja cuma ditulis 'Cukup jelas'. " kata Ade Ishs mempertanyakan.
Padahal bagi dirinya sendiri Ade Ishs mempertanyakan apa yang dimaksudkan dengan musisi dari luar negeri tersebut.
"Lha, kalau seperti saya ini, jatuhnya apa? Saya WNI yang berdomisili di luar negeri. Saya masuknya musisi Indonesia atau musisi luar negeri? " katanya.
Ade Ishs yang pernah tampil di Bali dengan musisi lain yang berasal dari Australia mengatakan nantinya bila RUU itu disahkan mengenai definisi musisi asing akan membinngunkan.
"Kalau saya bawa band, saya yang pimpin dan teman band saya WNA semua, itu jatuhnya apa?" katanya lagi.Pengaruh negatif budaya asing
Salah satu pasal yang banyak dibicarakan dalam RUU Permusikan adalah Pasal 5.
Pasal 5 dalam draft itu mengatur musisi dalam melakukan proses kreasi.
Isinya berupa tujuh poin yang berisi larangan mulai dari membuat musik yang mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, hingga membawa pengaruh negatif budaya asing yang ada di butir F.
Menurut Ade Ishs, Pasal 5 sebenarnya tidak diperlukan sama sekali, bukan dalam masalah pengaruh negatif budaya asing saja.
"Dari seluruh butir itu, selain butir f yang tentang pengaruh negatif budaya asing, itu sudah diatur dengan aturan yang lain, jadi tidak perlu ada lagi." kata Ade yang sekarang bergabung dan bermain dalam sedikitnya tiga kelompok musik: Ade Ishs Trio, Ade Ishs and Emotion Band serta The Bridge.
"Butir f, itu nggak jelas yang dimaksud negatif itu apa.' kata Ade Ishs lagi.
Dan dalam pengalaman selama manggung di Australia, Ade Ishs mengatakan bahwa di sini budaya asing malah diserap dan ditonjolkan.
"Saya kan membawakan musik yang asing, jazz berbau etnis Indonesia dan orang di sini malah senang." tambah Ade Ishs. Photo: Ade Ishs (berkaos hitam) bersama kelompoknya The Bridge tampil di Festival Jazz Port Fairy Victoria. 2019. (Foto: The Bridge)
Apakah di negara-negara lain juga mengatur hal-hal berkenaan dengan permusikan?
Di negeri seperti Australia proses kreatif seperti penciptaan musik yang diatur adalah hal-hal seperti misalnya hak cipta.
Menurut Ade Ishs yang sudah lebih dari 10 tahun tinggal di Australia, pengaturan berkenaan dengan musik ada di tingkat negara bagian ataupun di tingkat kota praja lebih mengacu kepada suara yang bisa mengganggu ketentraman orang banyak.
"Hal yang berkenan dengan musik sepanjang saya tahu diatur di tingkat negara bagian, tidak ada UU khusus mengenai musik di tingkat Federal." kata Ade Ishs.
Di tingkat negara bagian misalnya di negara bagian besar seperti Victoria dan New South Wales, hal yang diatur dalam masalah adalah musik itu bisa dimainkan dari jam sekian sampai jam sekian dengan suara yang tidak melebihi kebisingan tertentu.
Tingkat kebisingan yang diakibatkan suara musik akan berbeda misalnya dengan tingkat kebisingan yang disebabkan kendaraan bermotor, atau peralatan kerja.
Hal lain yang diatur di Australia adalah hal seperi bagaimana menjalankan venue musik.
"Seperti misalnya mekanisme pembayaran royalti untuk musik yang dimainkan di venue, minuman apa saja yang bisa disediakan, dan jam berapa." kata Ade Ishs lagi.
Di negara-negara lain termasuk di Inggris dan Amerika Serikat, pengaturan berkenaan dengan musik memang lebih diarahkan kepada perlindungan hak cipta dan bukannya berkenaan dengan apa yang boleh diciptakan atau tidak.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tanggapi Kecaman Turki, Media China Rilis Video Seniman Uyghur