jpnn.com, NEW YORK - Hari terakhir Ramadan di Amerika Serikat tak semeriah negara-negara lain. Tempat-tempat ibadah dijaga ketat aparat kepolisian bersenjata.
Dilansir Pacific Standard Magazine online, meningkatnya Islamofobia selama masa kepresidenan Donald Trump menyebabkan aparat mengambil langkah tersebut. Majalah yang bermarkas di Santa Barbara, California itu juga membahas meningkatnya kekhawatiran kejahatan rasial di AS dan luar negeri mendorong para pemimpin komunitas dan penegak hukum melakukan tindakan pencegahan.
BACA JUGA: Tokoh Lintas Agama Hadir di Open House Menag
Menjelang Ramadan tahun ini, kelompok advokasi Dewan Hubungan Islam Amerika (CAIR) mendorong masyarakat untuk membangun hubungan dengan penegak hukum dan menjalin komunikasi dengan kelompok agama dan minoritas lain untuk membangun daftar kontak darurat jika ada ancaman terhadap keselamatan masyarakat.
"Tampaknya pembantaian Selandia Baru dan meningkatnya kekerasan kebencian telah membuat Muslim Amerika lebih waspada, terutama di pedesaan lokasi jarang warga Muslim," kata Khaled Beydoun, profesor di University of Arkansas School of Law. Dia juga penulis American Islamophobia.
BACA JUGA: HNW: Idulfitri dan Open House Bisa Menjadi Modal Sosial
"Ini telah menggerakkan beberapa imam dan pemimpin masjid untuk meminta perlindungan polisi selama Ramadan, dan juga salat Id kehadiran mereka lebih banyak," kata Beydoun.
BACA JUGA: Muslim Denmark Rayakan Lebaran Mendadak
BACA JUGA: Raisa Rasakan Berkah Lebaran Bertiga
Sejak kepresidenan Trump, CAIR melaporkan peningkatan jumlah kejahatan kebencian terkait Islamofobia dan insiden bias lainnya. Pada tahun pertama Trump, laporan insiden Islamofobia di California, melejit 82 persen.
Pada 2016, ketika kampanye presiden, sikap anti-Muslim melampaui tingkat pasca 11/9. Biro Investigasi Federal AS atau FBI mencatat ada 307 insiden.
Jumlah itu turun menjadi 273 pada tahun berikutnya, tetapi tetap secara signifikan lebih tinggi daripada baru-baru ini. Pada 2013 dan 2015, masing-masing ada 135 dan 257 insiden yang dilaporkan.
Banyak yang mengamati korelasi antara fitnah Trump terhadap Muslim dan kejahatan rasial. Trump pernah dikritik karena disebut menghubungkan Ilhan Omar, seorang anggota Kongres beragama Islam dengan peristiwa teror 11 September 2001 alias 9/11. Melalui kicauan di Twitter, Trump mengunggah sebuah video yang menyandingkan video Omar dengan cuplikan gedung menara kembar World Center (WTC) di New York, salah satu target serangan teror 9/11.
"Apa yang terjadi sejak saat itu adalah orang-orang yang berani keluar dari lemari fanatik mereka dan secara terbuka fanatik," kata Eugene Fields, juru bicara CAIR Los Angeles.
Fields mengatakan, di sekitar 90 masjid di Greater Los Angeles Area, tidak ada peningkatan nyata dalam peristiwa kebencian Ramadan ini. "Kami sangat menghargai penegakan hukum setempat untuk memastikan orang dapat mempraktikkan kebebasan beragama dengan aman," tambahnya.
Namun, fakta bahwa masjid membutuhkan keamanan ekstra tahun ini adalah keadaan yang menyedihkan. "Keamanan ekstra di rumah-rumah ibadah adalah norma baru dan itu adalah menyedihkan pada periode kontemporer," kata Hatem Bazian, profesor studi Muslim Amerika di University of California-Berkeley.
"Serangan terhadap masjid di Selandia Baru dan lembaga-lembaga keagamaan lainnya di negara lain memunculkan wacana Islamofobia dan fanatisme yang intens di masyarakat," tutur dia.
Bazian menggambarkan pengamanan di California Bay Area sama dengan di Southern California dan tempat lain. "Masjid-masjid di sekitar Bay Area dan nasional mengambil langkah-langkah keamanan tambahan, menyewa penjaga pribadi dan berbagi informasi dengan anggota yang menghadiri layanan serta tetap waspada," katanya. (MEL/RMCO)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Muslim Denmark Rayakan Lebaran Mendadak
Redaktur & Reporter : Adil