Myanmar Makin Kacau, Tingkat Kematian Mengerikan, Jokowi Cs Jangan Sibuk Main Golf Dong!

Jumat, 11 November 2022 – 16:46 WIB
Biarawati, Suster Ann Rose Nu Tawng (kedua kanan) berlutut di depan aparat kepolisian untuk memohon agar menahan diri dari kekerasan terhadap anak-anak dan penduduk di tengah unjuk rasa anti kudeta militer di Myitkyina, Myanmar, Senin (8/3/2021). Foto: ANTARA FOTO/MYITKYINA NEWS JOURNAL/Handout via REUTERS/wsj.

jpnn.com, YANGON - Sudah setahun lebih sejak Presiden Jokowi serta delapan pemimpin negara ASEAN lain bertemu di Jakarta dan menetapkan Konsensus 5 Poin untuk penyelesaian krisis Myanmar.

Namun, sampai sekarang, belum ada satu poin pun dijalankan junta militer yang berkuasa di Burma.

BACA JUGA: Junta Myanmar Dipastikan Absen dari KTT ASEAN

Kini, isu Myanmar kembali dibahas para pemimpin ASEAN dalam KTT yang tengah berlangsung di Phnom Phen, Kamboja.

Sementara itu, situasi di Myanmar terus bertambah buruk.

BACA JUGA: Aksi Militer Myanmar Ini Sangat Kejam, Uni Eropa Sampai Ikut Mengecam

Frustrasi karena tak kunjung berhasil mengukuhkan kekuasaan, junta yang dipimpin Jenderal Senior Min Aung Hlaing jadi makin brutal, menurut laporan Al Jazeera, Kamis (10/11).

Militer memulai kembali eksekusi politik, membakar habis desa-desa dan mengebom rumah sakit, sekolah, bahkan pertunjukan musik di area terbuka.

BACA JUGA: Penjarakan Model OnlyFans, Pemerintah Singapura Disebut Mirip Junta Myanmar

The Armed Conflict Location and Event Data Project (ACLED), sebuah kelompok pemetaan krisis global, memperkirakan bahwa sekitar 27.683 orang telah tewas akibat kekerasan politik di Myanmar sejak militer mengkudeta pemerintahan Aung San Suu Kyi pada Februari tahun lalu.

Hanya di Ukraina, di mana Rusia melancarkan invasi berdarah pada 24 Februari, tingkat kematian lebih tinggi.

Kelompok itu telah mencatat hampir 15.000 insiden kekerasan, termasuk bentrokan bersenjata dan serangan udara, dalam 22 bulan sejak kudeta.

Warga sipil Myanmar sampai sekarang masih terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah hasil kudeta. Namun, risiko yang harus mereka tanggung terus membesar.

Pada akhir Oktober lalu, seorang guru matematika yang aktif menentang rezim ditangkap di Magway Tengah.

Sehari kemudian, sekolah tempatnya mengajar dibakar dan kepala pria bernama Saw Tun Moe itu ditemukan tertancap di gerbang depan.

Guru matematika berusia 46 tahun itu adalah seorang kritikus vokal terhadap militer Myanmar.

Dia mengajar di sekolah yang dioperasikan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) – sebuah pemerintahan yang didirikan oleh para pemimpin etnis, aktivis dan politisi untuk menentang militer.

“Dia sadar dia bisa berakhir seperti ini jika jatuh ke tangan junta,” salah satu rekan Saw Tun Moe mengatakan kepada surat kabar Irrawaddy.

“Bahkan saat itu, dia mengambil risiko dan memilih untuk mengajar di sekolah NUG.”

Terpojok, militer akhirnya membentuk milisi sipilnya sendiri, yang disebut Phyu Saw Htee, dan meluncurkan operasi pembakaran rumah-rumah dan desa-desa sebagai upaya membasmi kekuatan perlawanan.

Konflik ini menyebabkan penderitaan yang tak terkira, juga memaksa ratusan ribu orang meninggalkan rumah mereka.

Terlepas dari situasi di lapangan, komunitas internasional sejauh ini belum melibatkan NUG dalam diskusi tentang masa depan Myanmar. dengan mengandalkan yang bergabung dengan Myanmar pada tahun 1997, untuk mengatasi krisis tersebut.

ASEAN, di bawah keketuaan Kamboja, bahkan menghindari keterlibatan resmi dengan NUG, meskipun tahun lalu telah menyetujui “rencana perdamaian” yang menyerukan untuk memfasilitasi dialog konstruktif di Myanmar.

Terkait KTT ASEAN yang dimulai hari ini, Jumat (11/11), penggiat hak asasi manusia mengharapkan adanya langkah konkret dan tegas terhadap Myanmar.

"Halo? Apakah Anda cuma bisa bermain golf dan membuat pernyataan?" tanya Debbie Stothard, pendiri ALTSEAN, sebuah kelompok hak asasi manusia.

“Krisis di Myanmar merupakan salah satu ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi dan kawasan, terutama keamanan manusia dan keamanan ekonomi di kawasan.

Namun ASEAN bahkan tidak melakukan sepersepuluh dari apa yang dilakukan Uni Eropa dalam menanggapi krisis Ukraina.”

Charles Santiago, mantan legislator Malaysia dan pendiri ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR), mengatakan militer tidak boleh diberi kesempatan untuk mendikte ketentuan pemungutan suara.

“Ini adalah sesuatu yang harus dihentikan,” katanya kepada Al Jazeera.

“Para kepala pemerintahan harus memberikan pernyataan yang jelas bahwa ASEAN dan masyarakat internasional tidak akan menerima pemilu di Myanmar tahun depan. Ini adalah sesuatu yang harus dilakukan jika tidak, ASEAN akan terlihat berkolusi dengan junta Myanmar.” (ant/dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler