jpnn.com, YANGON - Otoritas Myanmar bergegas membangun rumah sakit lapangan di Yangon, untuk mengatasi lonjakan infeksi virus corona yang dikhawatirkan para dokter bisa membuat sistem kesehatan yang rapuh di negara itu kewalahan.
Negara Asia Tenggara itu melaporkan 307 kasus baru COVID-19 pada Selasa (15/9), jumlah korban harian tertinggi sejak pandemi mulai muncul pada Maret, dan 134 lainnya pada Rabu pagi.
BACA JUGA: Aksi Diam Muslim Rohingya Memperingati Kekejaman Militer Myanmar
Dengan demikian, total kasus di Myanmar menjadi 3.636 dan 39 kematian.
Myanmar sudah berminggu-minggu tidak memiliki kasus penularan lokal sebelum wabah pada pertengahan Agustus terjadi di wilayah barat, Rakhine, yang telah menyebar ke seluruh negeri.
BACA JUGA: Pertahanan Jebol, Myanmar Tutup Semua Sekolah
Tiga rumah sakit di Yangon, tempat sebagian besar kasus terjadi dan sekarang memasuki penguncian kedua, telah digunakan kembali untuk merawat pasien COVID-19.
Selain itu, pemerintah sedang membangun rumah sakit lapangan dengan 500 tempat tidur di sebuah lapangan sepak bola.
BACA JUGA: Di Depan Menlu Myanmar, Retno Marsudi Bicara Tegas soal Muslim Rohingya
"Kami tidak memiliki lebih banyak ruang untuk menampung wabah besar," kata Kaung Kyat Soe, kepala rumah sakit sementara yang baru, kepada Reuters pada Selasa, saat para pekerja konstruksi bekerja di lapangan.
“Keadaan akan bertambah parah jika kita tidak bisa menerima pasien, makanya kita segera membangun penampungan,” ujarnya.
Beberapa dekade pengabaian oleh junta militer Myanmar yang sebelumnya berkuasa membuat sistem kesehatan negara itu berada di peringkat terburuk di dunia, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2000, ketika terakhir kali peringkat itu dipublikasikan.
Anggaran kesehatan tercatat sekitar 0,3 persen dari PDB sebelum dimulainya reformasi demokrasi pada tahun 2011.
Pada Maret, Bank Dunia mengatakan Myanmar hanya memiliki 383 tempat tidur ICU untuk populasi 51 juta dan 249 ventilator.
Jumlah itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan 6.000 tempat tidur dan lebih dari 10.000 ventilator di negara tetangga Thailand, negara berpenduduk 69 juta. Thailand telah menyumbangkan lebih banyak ventilator kepada Myanmar.
Beberapa dokter Yangon mengatakan cara tanggapan pemerintah telah menyebabkan kekurangan ruang rumah sakit dan pilihan perawatan.
Pejabat telah meminta orang-orang yang ingin menjalani tes untuk dirawat di rumah sakit sebelum menjalani tes usap, yang menyebabkan rumah sakit kekurangan tempat tidur pasien, kata Kyaw Min Tun, yang menjalankan klinik di kota itu. "Itu tidak perlu," katanya.
Selain itu, petugas medis yang dicurigai mengidap virus telah dikirim ke pusat karantina di sekitar kota, yang membuat mereka harus menutup klinik swasta, kata Ko Ko Htwe, seorang dokter di sebuah klinik setempat.
Seorang juru bicara kementerian kesehatan tidak menjawab panggilan telepon dan pesan dari Reuters yang meminta komentar.
Kepala Menteri Yangon Phyo Min Thein mengatakan dalam sebuah wawancara yang diterbitkan di media pemerintah pada Rabu bahwa ia berharap wabah itu dapat dikendalikan dalam waktu tiga minggu.
Dia mengatakan masih ada ratusan tempat di pusat karantina yang dikelola pemerintah, tempat terduga kasus dan orang-orang yang pernah kontak dengan kasus positif dikirim.
Beberapa orang di pusat kesehatan mengeluhkan kondisi yang buruk, termasuk soal pasien-pasien COVID-19 dipaksa dirawat di dalam kamar yang sama dengan mereka yang belum dinyatakan positif corona.
Pwint Thiri San, 23, mengatakan kepada Reuters melalui telepon bahwa ia mengalami gejala ringan tetapi dia khawatir apakah akan menerima perawatan yang memadai jika gejalanya semakin parah.
Beberapa kamar tidak memiliki air bersih, katanya, dan dia tidak melihat satu pun petugas medis.
Dia dan pasien lain, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan seorang wanita di gedung itu meninggal pada Selasa setelah kesulitan bernapas.
Mereka mengatakan tetangganya harus menelepon untuk mendapatkan perhatian relawan yang membantu menjalankan pusat tersebut.
Reuters tidak dapat mengonfirmasi pernyataan tersebut secara independen. Poe Poe, manajer lokasi mengatakan melalui telepon dia tidak diizinkan menjawab pertanyaan.
"Saya khawatir apa yang akan terjadi jika saya menderita sesak napas di sini," kata Pwint Thiri San.
"Saya merasa tertekan dan rentan," katanya. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil