Letusan Gunung Merapi sudah berlalu dua tahun silam. Namun, trauma mendalam belum terhapus dari benak anak-anak pengungsi korban Merapi. Psikolog Nadia Sutanto dan sejumlah relawan Universitas Surabaya mencoba menggunakan wayang sebagai terapi penyembuhan trauma.
M. Hilmi Setiawan, Jakarta
KETIKA Merapi meletus, Universitas Surabaya mengirim relawan guna mendampingi pengungsi-pengungsi korban Merapi. Mereka ditempatkan di selter Gondang I, Wukirsari, Sleman.
Mereka menemukan trauma paling dalam dialami anak-anak usia TK. Namun, mereka sulit menemukan media yang tepat untuk menjadi bahan ajar pendidikan karakter sekaligus penyembuhan trauma.
Nadia Sutanto, dosen Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, memeras otak untuk mencari media yang paling tepat. Berbekal diskusinya dengan sejumlah dosen serta masukan dari mahasiswanya yang kerap kuliah lapangan di Cangkringan, dia akhirnya memilih menggunakan wayang kulit. Karakter wayang dinilai menarik perhatian anak-anak sekaligus mampu menjembatani dialog yang sangat dibutuhkan untuk terapi trauma.
"Cara mengajar siswa pendidikan anak usia dini (PAUD) harus segar, unik, dan menyenangkan. Kalau mengajarnya monoton, mereka mudah bosan. Dengan media ajar yang menarik perhatian, materi pelajaran dan pesan-pesan pembangkit semangat dapat ditangkap dengan baik," kata Nadia seusai menerima penghargaan di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas inovasinya tersebut.
Karena mustahil membawa satu kotak wayang ke kelas, Nadia akhirnya hanya membawa empat karakter punakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Karakter-karakter itu dipilih karena lebih komunikatif. Dengan demikian, materi-materi ringan seperti pentingnya menjaga kebersihan, kesehatan, dan sanitasi serta berbakti kepada orang tua bisa disampaikan dengan baik.
"Karakter punakawan itu selengekan, seenaknya sendiri. Karakter yang cair seperti itu sangat penting agar cerita yang kita sampaikan komunikatif dan segar. Anak-anak bisa tertawa mendengar dialog para punakawan. Jadi, walaupun ibunya meninggal, mereka tetap bisa tertawa sejenak di kelas," terangnya.
Supaya mudah dipahami anak-anak, wayang dipentaskan dengan bahasa Indonesia. Awalnya, tim Ubaya sempat menggunakan bahasa Jawa campuran kromo inggil dan ngoko seperti dalang-dalang pada umumnya. Namun, karena dosen maupun anak-anak sulit memahami bahasa Jawa halus, akhirnya digunakan bahasa Indonesia.
Lazimnya pergelaran wayang, dibutuhkan properti pendukung seperti layar dan lampu-lampu. Pergelaran wayang di TK-TK di kawasan Merapi itu pun menggunakan properti untuk menarik perhatian siswa. Namun, bentuknya sangat sederhana. Misalnya, guntingan kertas-kertas karya siswa. Tujuannya, siswa berperan aktif membantu guru menyiapkan pertunjukan. Dengan demikian, ketika pertunjukan berlangsung, siswa betah mengikuti hingga selesai.
Setelah dinilai efektif, metode tersebut diajarkan kepada beberapa guru PAUD di sekitar pengungsian. Meski awalnya banyak yang tertarik, belakangan terjadi seleksi alam sehingga hanya tersisa lima hingga sepuluh guru yang belajar dengan sistem tersebut. "Guru dipaksa meningkatkan kemampuan. Sebab, selain menguasai materi, mereka harus memiliki kemampuan mendalang atau mendongeng. Itu tidak mudah," terangnya.
Namun, dengan hadiah Rp 50 juta yang diterima dari Tanoto Foundation, Nadia yakin bisa melatih guru-guru TK di sekitar Merapi untuk menguasai teknik pengajaran budi pekerti dan trauma healing dengan menggunakan wayang. "Saya yakin dalam enam bulan mereka sudah mahir bercerita seperti dalang beneran," ujarnya lantas tersenyum. (*/c5)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kesaksian Buyung Sidi Rajo, Korban Selamat Bus PO Yanti
Redaktur : Tim Redaksi