Naikkan Harga Rokok Setinggi-tingginya, Jangan Dijual per Batang

Rabu, 07 Oktober 2020 – 19:57 WIB
Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari. Foto: tangkapan layar webinar

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari mendesak seluruh pemerintah baik pusat dan daerah kompak melarang iklan rokok. Iklan rokok ini membuat anak-anak tertarik merokok sehingga mengancam kesehatannya.

"Rokok sangat berbahaya bagi kesehatan anak. Selain meningkatkan angka stunting, perokok sangat rentan terkena penyakit tidak menular seperti jantung," kata Lisda dalam webinar dengan tema Menagih Komitmen Pemerintah Melarang iklan Rokok, Rabu (7/10).

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Apakah Ini 7 Hal Mengerikan di UU Ciptaker? Azis Tepis Hoaks, Jokowi Bawa Oligarki

Dia menyebutkan, hingga Mei 2020 baru 16 kabupaten/kota yang membuat peraturan daerah tentang larangan iklan rokok. Komitmen kepala daerah sangat menentukan keberhasilan dalam menurunkan angka perokok anak.

Dia lantas membeberkan data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas), jumlah perokok anak usia 10-18 tahun terus meningkat dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% atau sekitar 3,2 juta.

BACA JUGA: Bea Cukai Gagalkan Penyelundupan 2,3 Juta Batang Rokok Ilegal

Padahal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 menargetkan perokok anak harusnya turun menjadi 5,4% pada 2019. 

"Ini  menunjukkan pemerintah gagal mengendalikan konsumsi rokok dan menurunkan prevalensi perokok anak," tegasnya.

BACA JUGA: Harga Rokok Murah Picu Peningkatan Jumlah Anak yang Merokok

Kenaikan prevalensi perokok anak salah satunya didorong faktor iklan, promosi dan sponsor rokok yang sangat masif menyasar anak sebagai target pemasaran. 

Industri rokok gencar beriklan, berpromosi dan mensponsori segala bentuk kegiatan yang disukai anak muda sehingga rokok terlihat normal dan aman.

Akses rokok juga sangat mudah karena harganya murah, dijual per batang dan bisa dibeli di mana saja.

"Mestinya menjual rokok semahal- mahalnya dengan kenaikan cukai rokok. Jangan menjual batangan. Anak-anak tertarik merokok karena mudah membeli rokok karena dijual pe batang," kritiknya.

Lisda melanjutkan, berbagai studi menunjukkan terpaan iklan, promosi dan sponsor rokok sejak usia dini meningkatkan persepsi positif dan keinginan untuk merokok. Studi Uhamka 2007  menunjukkan, 46,3% remaja mengaku iklan rokok memengaruhi mereka untuk mulai merokok. 

Studi Surgeon General menyimpulkan iklan rokok mendorong perokok meningkatkan konsumsinya dan mendorong anak-anak untuk mencoba merokok serta menganggap rokok adalah hal yang wajar (WHO 2009). 

"Hasil monitoring iklan rokok yang dilakukan Yayasan Lentera Anak, SFA dan YPMA di 5 kota pada 2015 menemukan 85% sekolah dikelilingi iklan rokok. Pemantauan yang dilakukan Forum Anak di 10 kota pada 2017 menunjukkan ada 2.868 iklan, promosi, dan sponsorship rokok," bebernya.

Di satu sisi anak dan remaja dikepung iklan, promosi dan sponsor rokok yang masif. Di sisi  lain peraturan yang melindungi anak dari rokok sangat lemah. 

Indonesia, kata Lisda, sebenarnya  sudah memiliki peraturan yang bertujuan mengendalikan konsumsi rokok, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan atau PP 109/2012. Namun, faktanya, PP 109/2012 gagal melindungi anak dari adiksi rokok dan menurunkan prevalensi perokok anak.

"Tidak adanya sanksi tegas dalam PP 109/2012 menjadikan iklan, promosi dan sponsor rokok merajalela dan industri rokok tetap leluasa menjual rokok kepada anak," sebutnya.

Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey 2019, sebanyak 19,20% pelajar adalah perokok aktif, dan sebanyak 65,2%  pelajar melihat iklan rokok di tempat penjualan.

Di samping itu, ada 60,9%  pelajar melihat iklan rokok di luar ruang, ada 56,8% pelajar melihat iklan rokok di televisi, dan sebanyak 36,2% pelajar melihat iklan rokok di internet.

Yang menyedihkan, ada sebanyak 60,6% pelajar tidak dicegah ketika membeli rokok, dan ada 71% pelajar membeli rokok batangan.

Pemerintah sejatinya tidak berpangku tangan menghadapi kegagalan meredam kenaikan perokok anak. Pada Februari 2020, Presiden sudah mengeluarkan Perpres No. 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024.

Di mana strategi dan arah kebijakan  RPJMN 2020-2024 adalah melarang total iklan dan promosi rokok  untuk menargetkan prevalensi perokok anak turun menjadi 8,7% pada 2024. 

Komitmen presiden untuk menurunkan prevalensi perokok anak semestinya didukung semua pihak, termasuk pemerintah daerah.

Fakta di lapangan menunjukkan sudah ada beberapa pemerintah daerah memulai inisiatif melarang iklan rokok untuk melindungi anak-anak menjadi perokok.

Lisda pun yakin larangan iklan rokok tidak akan membuat perusahaan rokok bangkrut. Contohnya Thailand yang sejak 2012/2013 sudah melarang iklan rokok tetapi tidak membuat perusahaan rokok bangkrut.

Banyaknya PHK di perusahaan rokok bukan karena iklan rokok tetapi karena mekanisasi industri rokok.

"Jadi bukan iklan rokok yang membuat perusahaan rokok melakukan PHK. Itu karena perusahaan rokok sudah menggunakan teknologi dalam industri rokok. Makanya kami meminta komitmen pemerintah untuk melarang iklan rokok demi menjaga anak-anak karena mereka generasi penerus bangsa ini," tandasnya. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler