Nani Nurani, Mantan Penari Istana yang Menggugat Pemerintah

Ditangkap CPM karena Nyanyi di Ultah PKI

Jumat, 13 Januari 2012 – 00:13 WIB
Mantan penari dan penyanyi Istana Cipanas, Nani Nurani saat menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Rabu (11/1). Foto: Agung Putu Iskandar/Jawa Pos

Gara-gara dianggap punya hubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Nani Nurani ditahan selama tujuh tahun tanpa pengadilan. Padahal, dia sebelumnya adalah penyanyi dan penari favorit Presiden Soekarno.
      
AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta

JADWAL sidang Nani Nurani di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat masih dua jam lagi. Namun, perempuan 70 tahun itu sudah bersiap. Nani menebar senyum kepada sejumlah kolega yang menemaninya menghadapi majelis hakim.
   
Penampilannya kemarin siang cukup modis. Nani mengenakan baju berwarna hijau yang dipadu dengan selendang dan bawahan putih. Kacamata berbingkai cokelat dan bertulisan Dolce & Gabbana menghiasi wajah perempuan kelahiran Cianjur, 23 Februari 1941, itu.
   
Rabu (11/1) lalu Nani menjalani rangkaian sidang gugatannya kepada presiden RI. Gugatan tersebut dia layangkan karena selama tujuh tahun (1968?1975) dirinya ditahan tanpa melalui proses pengadilan. Dia dituduh terlibat Gerakan 30 September (G 30 S) PKI. Hingga dia dibebaskan pada akhir 1975, tuduhan kepada dirinya juga tidak jelas. "Saya mencari keadilan untuk membersihkan nama keluarga saya," tutur dia.
   
Yang dialami Nani itu sungguh ironis. Apalagi jika menilik background-nya sebagai mantan penari dan penyanyi di Istana Cipanas. Dia mulai bertugas di istana presiden tersebut pada 1961. Saking bahagianya, Nani rela tak dibayar.
   
Pendidikan Nani kala itu hanya SMP. Itu sudah capaian tertinggi. Sebab, jenjang pendidikan di Cianjur memang hanya sampai SMP. "Saya diketawain orang saat masuk SMP. Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya juga di dapur" katanya.
   
Di luar urusan sekolah, Nani sangat suka menari dan menyanyi. Dia berguru langsung kepada seniman-seniman di desanya. Kemampuan itulah yang kemudian dia boyong ke Istana Cipanas. Siapa sangka, kemampuan Nani mengundang decak kagum para tamu negara. Tak terkecuali Presiden Soekarno. Bahkan, Soekarno kadang ikut menari bersama Nani. 
   
"Kalau saya menari, biasanya Bapak (Soekarno) mengambil selendang Bu Hartini (ibu negara, Red) dan mengalungkannya kepada saya. Kami menari dalam satu selendang. Semacam tayuban gitu lah," kenang Nani.
   
Tiap kali Nani bernyanyi, ada satu lagu yang selalu di-request oleh Soekarno. Yakni, tembang tradisional Cianjur yang berjudul Degung Kahyangan. ?Lagu-lagu lain terserah saya, pokoknya Degung Kahyangan harus saya nyanyikan,? katanya. Bagi Nani, Soekarno adalah sosok spesial. "He is a father," ujarnya.
   
Berkat kepiawaian bernyanyi dan menari, Nani menjadi pegawai Dinas Kebudayaan Daerah Tingkat II Cianjur. Tetapi, justru itu menjadi awal petaka bagi dia. Pada Juni 1965 Nani diundang Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menari dalam salah satu acara ulang tahun partai. Dia menyambut baik tawaran tersebut. Apalagi, acara itu juga dihadiri bupati Cianjur dan sejumlah camat.
   
Acara tersebut menjadi bumerang bagi Nani. Dia dianggap sebagai anggota partai berlambang palu dan arit itu. Setelah G 30 S/PKI meletus, orang-orang yang dianggap terkait dengan PKI diburu di mana-mana. Tak terkecuali Nani.
   
Padahal, Nani tidak memiliki kaitan apa-apa dengan PKI. Sebagai pekerja seni, dia juga tidak pernah menjadi anggota Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), organisasi di bawah PKI. Setahun setelah peristiwa G 30 S/PKI, Nani pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai sekretaris di PT Mogi, perusahaan yang dipimpin Brigjen Soerjosoemarno, ayah tokoh Pemuda Pancasila Japto Soerjosoemarno.
   
Pada Desember 1968 Nani mudik ke Cianjur. Tanpa dia tahu, kedatangannya sudah dinanti aparat. Malam setelah Nani datang, rumahnya didobrak Corps Polisi Militer (CPM) Bogor. Mereka menyerbu kamar Nani dan menodongkan dua senjata laras panjang.
   
Nani lantas dibawa ke Gedung Ampera, Cianjur. Ketika itu gedung bekas sekolah keturunan Tionghoa tersebut menjadi tempat penahanan dan interogasi bagi orang-orang yang diduga terkait dengan G 30 S/PKI. Perempuan yang sampai sekarang tidak berkeluarga itu dicecar sejumlah pertanyaan.
   
"Saya ditanya, di mana kamu saat 30 September. Saya jawab, saya ada di rumah. Mereka langsung teriak, tidak mungkin! Meja digebrak dan dilempar supaya saya mengaku. Kamu pasti di Lubang Buaya, ya?" tuturnya, menirukan anggota CPM yang menginterogasi dia.
   
Nani merasa beruntung karena tidak sampai disiksa secara fisik. Meski begitu, mentalnya menjadi sasaran. Itu juga tidak ringan. Sebab, di ruang yang sama dia menyaksikan penyiksaan terhadap orang-orang yang dianggap terlibat G 30 S/PKI. Ada salah seorang tahanan yang disuruh menulis di kertas. Kemudian, kertas tersebut dibakar di tangan tahanan itu. "Alasannya, tulisannya jelek," terang dia.
   
Ada juga tahanan yang ibu jari kakinya diletakkan di bawah kaki meja. Petugas yang menginterogasi lantas duduk di meja tersebut. "Mereka tidak berani menyiksa saya secara fisik karena saya dianggap orang Pak Soerjosoemarno," tutur dia.
   
Soerjo sejatinya berniat membebaskan Nani dengan menjaminkan diri sendiri. Tetapi, upaya itu ditolak. Meskipun menampik tudingan itu, Nani tetap harus ditahan. Setelah diinterogasi CPM Bogor, dia diserahkan ke CPM Guntur. Pada awal 1969 dia ditahan di Penjara Wanita Bukit Duri, Jakarta.

Di situ dia ditempatkan bersama tahanan politik (tapol) lain. Nani juga bertetangga blok dengan Moedigdio, mertua pimpinan PKI D.N. Aidit. "Kalau lagi lapar, lari ke sel Bu Moedigdio. Minta digorengkan ikan asin," katanya, lantas terkekeh.
   
Sampai saat ini, Nani tidak berkeluarga. Itu adalah keputusan pahit yang harus dia ambil setelah keluar dari penjara pada 1975. Dia tidak menginginkan anak keturunannya menderita karena lahir dari ibu yang dianggap sebagai orang PKI.
   
Saat ini Nani melayangkan gugatan kedua kepada pemerintah. Setelah sukses menggugat keharusan wajib lapor dan KTP seumur hidup yang tak diberikan oleh negara, kali ini dia menggugat penahanan selama tujuh tahun tersebut.
   
Dia menuding, presiden RI telah melakukan perbuatan melawan hukum. Nani pun meminta ganti rugi materiil Rp 7,4 miliar dan imateriil Rp 30 juta. "Ganti rugi itu saya hitung dari gaji saya seandainya saya tidak ditangkap," ungkap dia.
   
Sebelum ditangkap, gaji Nani sebagai sekretaris di PT Mogi setara dengan emas 37 gram. Nah, gaji tersebut lantas dikalikan dengan masa kerja dia selama 41 tahun seandainya tidak ditangkap.

"Kalau dikabulkan, uang itu akan saya gunakan untuk mendirikan sekolah bagi para TKW. Saya sedih setiap kali ada kabar bahwa mereka diperkosa dan dibunuh," katanya. (*/c11/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Irma Hikmayanti, Pencetus English Competition Pertama untuk Tuna Netra Indonesia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler