Untuk mengurangi risiko tertular virus corona di dalam tahanan, pemerintah membebaskan ribuan narapidana. Tapi para pengamat mengatakan sumber masalahnya adalah rumah tahanan yang melebihi kapasitas dan masalah ini tak pernah terselesaikan.
Sehari setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kemarin Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan Peraturan Menkumham Nomor 10 tahun 2010 dan Keputusan Kemenkumham No.19/PK/01/04/2020 untuk mengeluarkan sejumlah narapidana.
BACA JUGA: Wabah Virus Corona: Amerika Serikat Siapkan 100 Ribu Kantong Mayat
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly memperkirakan akan ada 30.000 sampai 35.000 narapidana dewasa dan anak yang akan dibebaskan.
Tercatat sudah 5.556 penghuni lembaga permasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) yang dikeluarkan hingga hari Rabu siang (01/04).
BACA JUGA: Rodrigo Duterte: Tembak Saja Pelanggar Karantina Corona
Ia menargetkan, proses pelepasan bisa rampung dalam waktu seminggu.
"[Namun] tentu ini tidak cukup," kata Yasonna dalam rapat dengan Komisi III DPR RI Rabu (01/04) lalu.
BACA JUGA: Kesaksian Tamu Pernikahan Kapolsek Kembangan, Oh Ternyata
Photo: Menkum HAM Yasonna Laoly mengatakan pelepasan narapidana disebabkan oleh penjara yang kelebihan kapasitas. (Supplied: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Yasonna menjelaskan kondisi penjara yang melebih kapasitas adalah pertimbangan utama di balik penerbitan keputusan ini.
"Kami menyadari betul bahwa lapas yang overkapasitas kami sadari dampaknya jika ada yang sampai terpapar [COVID-19] di lapas," katanya. Keputusan terlambat tapi patut diapresiasi
Kebijakan yang diambil pemerintah ini diapresiasi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), meskipun dikatakan terlambat.
"Mestinya kebijakan ini tidak diambil karena merebaknya kasus COVID 19, akan tetapi diambil karena penghormatan terhadap hak-hak manusia dalam sistem peradilan pidana," kata peneliti senior ICJR Anggara Suwahju kepada Hellena Souisa dari ABC News.
"Situasi overcapacity ini harusnya disadari sejak lama sehingga kebijakan-kebijakan khusus untuk mengatasinya bisa diambil, baik dari sisi masukan orang atau sisi pelepasan orang."
Menurut Anggara, kebijakan yang diambil temporer karena kasus COVID-19 tidak akan menjawab masalah ledakan populasi di dalam Rumah Tahanan (rutan).
Ia mengatakan masalah rutan yang melebihi kapasitasnya akan tetap terjadi di masa mendatang selepas meredanya pandemi COVID-19 Photo: Peneliti senior ICJR Anggara Suwahju mengapresiasi kebijakan pemerintah meskipun terlambat. (Supplied: ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
DPR anggap kebijakan ini diskriminatif
Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi untuk bisa keluar melalui proses asimilasi atau proses pembinaan narapiadana dan anak dengan cara membaurkannya dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai contoh, untuk dapat keluar melalui asimilasi, setidaknya narapidana telah menjalani 2/3 masa pidana pada 31 Desember 2020, dan anak telah menjalani 1/2 masa pidana pada 31 Desember 2020.
Yasonna mengaku telah meminta Kepala Lapas dan Kepala Rutan untuk memantau. Ia berharap, tidak ada kendala atau moral hazard dalam setiap penanganannya.
"Kami, sudah menyatakan ini adalah pelepasan by law," katanya. Photo: Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil mempertanyakan keputusan pemerintah yang dianggap diskriminatif. (Supplied: dpr.go.id)
Keputusan untuk melepaskan narapidana dengan menggunakan alasan pandemi COVID-19 dianggap sebagian anggota DPR sebagai aturan yang diskriminatif.
Ini karena narapidana koruptor, teroris, narkotika, dan pelaku pelanggaran HAM berat tak bisa dibebaskan lebih awal, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.
Anggota Komisi III DPR Fraksi PKS Nasir Djamil mengatakan, pengecualian itu seharusnya tidak diterapkan.
Sebab, pademi virus corona Covid-19 bisa menyasar siapa saja, termasuk narapidana 'extraordinary crime' atau kejahatan luar biasa.
"Saya juga melihat Permenkumham Nomor 10 tahun 2020 ini juga diskriminatif. Kenapa napi-napi kasus tipikor tidak dimasukan? Karena ini kan kita bicara soal wabah corona. Apakah pak menteri yakin mereka napi tipikor itu tidak kena virus corona?" ujar Nasir Djamil dalam rapat dengar pendapat secara virtual, Rabu (01/04). Kemana arah COVID-19 di Indonesia?
Sejumlah ilmuwan Indonesia memproyeksikan angka kasus virus corona untuk bisa mengantisipasi situasi ke depan.
Narapidana korupsi berpotensi dibebaskan
Sejalan dengan masukan anggota DPR, Yasonna mengaku akan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 untuk menjangkau lebih banyak narapidana.
Ada empat kriteria narapidana yang bisa dibebaskan dengan revisi PP itu, mulai dari terpidana narkoba hingga koruptor berusia lanjut dengan syarat yang ketat.
Kriteria pertama adalah narapidana kasus narkotika dengan masa pidana 5 sampai 10 tahun dan telah menjalani dua pertiga masa pidananya, yang jumlahnya diperkirakan 15.482 orang.
Adapun untuk terpidana korupsi, Yasonna mengatakan bisa dibebaskan dengan syarat sudah berusia 60 tahun ke atas dan telah menjalani dua pertiga masa tahanannya.
"Jumlahnya 300 orang," katanya. Photo: Situasi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Palangka Raya (Supplied: ANTARA)
Kriteria ketiga, diberikan untuk narapidana khusus dengan kondisi sakit kronis yang dinyatakan oleh dokter rumah sakit pemerintah.
Mereka bisa bebas jika sudah menjalankan dua pertiga masa tahanannya. Jumlah terpidana khusus ini 1.457 orang.
Terakhir, menurut Yasonna, revisi PP 99 tahun 2012 bisa menyasar untuk membebaskan terpidana warga negara asing yang kini berjumlah 53 orang.
"Jadi kami akan laporkan ini di ratas [rapat terbatas] dan minta persetujuan presiden agar kebijakan revisi ini sebagai suatu tindakan emergency dapat kami lakukan," tutur Menteri Hukham tersebut. Perlu pertimbangan penuh dan rencana jangka panjang
Menilai rencana ini, Anggara dari lembaga IJCR mengingatkan agar Pemerintah Indonesia mengedepankan pertimbangan yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
"Populasi napi kasus korupsi tidak membebani populasi penghuni rutan atau lapas di Indonesia. Berbeda dengan kasus narkotika, di mana jumlah pecandu menempati 1/3 populasi rutan atau lapas," katanya.
"Kalaupun mau cepat dilepas, harus ada pertimbangan tertentu, misalnya selain usia napi sudah di atas 60 tahun dan punya kemungkinan risiko tinggi, misalnya kalau ditempatkan di lapas overcapacity, atau nilai kerugian negara dibawah 50 juta dan sudah dikembalikan," tambahnya. Photo: Mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto adalah salah satu penghuni LP Sukamiskin di blok narapidana korupsi. (Supplied: ANTARA)
Menurut pengamatannya, misalnya, blok napi korupsi di Lapas Sukamiskin tidak kelebihan kapasitas.
"Jadi Setya Novanto yang sekarang ada di LP Sukamiskin enggak relevan dipercepat pelepasannya," kata Anggara.
Selain itu, ia menilai pentingnya tim assesment untuk membuat kategori napi yang layak dan yang tidak, selain juga dapat melakukan penilaian secara independen terhadap semua aspek pribadi dari napi tersebut.
Anggara mengatakan, pemerintah juga harus memikirkan rencana jangka panjang untuk mengatasi masalah lapas dan rutan yang melebih kapasitas berdasarkan hukum yang berlaku, misalnya dengan menambah jenis hukuman nonpenjara.
Ikuti perkembangan terkini soal pandemi virus corona di dunia lewat situs ABC Indonesia
BACA ARTIKEL LAINNYA... Roro Fitria Bebas Hari ini Berkat Kebijakan Pencegahan Corona