Nasdem: UU Pemilu Harus Diterima Secara Gentleman

Jumat, 21 Juli 2017 – 13:08 WIB
Syarif Abdullah Alkadrie. Foto: dokumen JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Fraksi yang walk out pada rapat paripurna Kamis (20/7) malam akan menggugat UU Pemilu yang baru disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka tidak terima dengan ketentuan presidential threshold yang dianggap melanggar konstitusi.

Menyikapi ini Sekretaris Fraksi Partai Nasdem di DPR Syarif Abdullah Alkadrie mengatakan, melakukan gugatan memang hak setiap warga negara. Hanya saja, dalam tatanan berdemokrasi ada etika yang harus dihormati.

BACA JUGA: Babak Baru UU Pemilu: Yusril Menggugat!

Menurut dia, UU Pemilu ini merupakan produk yang dihasilkan DPR yang dalam pembahasannya tentu ada yang setuju ada yang tidak. “Dalam kompromi itu tentu ada yang diuntungkan ada yang tidak,” kata Syarif Abdullah saat dihubungi JPNN, Jumat (21/7).

Dia menjelaskan, jika melihat dari awal proses pembentukan RUU Pemilu, sebenarnya beberapa fraksi sudah setuju jika musyawarah mufakat tidak tercapai maka dilakukan voting. “Jadi, sudah diladeni, sudah dilakukan beberapa kali lobi dan tetap tidak capai kata sepakat hingga akhirnya diputuskan untuk voting. Harusnya ini dihormati dan dihargai,” ujarnya.

BACA JUGA: Mendagri: Jangan Sampai Pemilu 2019 Tersandera

Abdullah kembali mengingatkan, dalam sebuah demokrasi tentu ada keinginan dan keputusan yang tidak sama. Hal itu sangat wajar.

Dia mencontohkan, Nasdem saja di awal pembahasan ingin parliamentary threshold tujuh persen. Namun, akhirnya melunak mengikuti keinginan fraksi lain sebesar empat persen.

BACA JUGA: Gali Aspirasi Lewat Open House

Kemudian, kuota hare. Menurut dia, sebenarnya dengan penggunaan kuota hare itu hanya menguntungkan partai kecil. Tapi, lagi-lagi Nasdem tidak masalah, karena konsekuensi dari kebersamaan akhirnya mengikuti sainta lague murni yang dianggap menguntungkan partai besar. 

Demikian juga Golkar dan PDI Perjuangan yang awalnya memaksakan alokasi kursi per dapil 3-8. Namun, mereka akhirnya luluh menyepakati alokasi kursi per dapil 3-10. “Di situlah terjadi tarik menarik dan seni dalam politik,” tegas Ketua DPW Partai Nasdem Kalbar ini.

Dia melanjutkan, dulu di awal-awal DPR periode 2014-2019 ketika mereka membuat aturan dan keputusan soal ketua DPR, fraksi lain yang tidak setuju gentlemen menerima. Tidak ada masalah dan kini terus berjalan. “Dulu di awal ketika mereka menentukan pimpinan DPR, kami juga ikuti,” ujarnya.

Dia mengatakan, ketika pembahasan, lobi-lobi, dan musyawarah sudah coba dilakukan namun tidak ada kesepakatan tentu keputusan tetap harus diambil. Ada waktu yang membatasi proses itu semua sehingga keputusan mesti diambil dengan voting. “Harusnya gentleman dalam berdemokrasi, tidak meninggalkan tempat seperti itu (walk out) dan kemudian tidak membuat opini di luar dengan menyatakan PT 20 persen inkonstitusional segala macam,” paparnya.

Padahal, kata dia, tidak ada satu pun pasal di putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu yang mengatur PT nol persen konstitusional dan 20 persen inkonstitusional. “Artinya mereka menafsirkan sendiri dan membuat opini,” tegasnya.

Dia juga mengingatkan, kalau mau melakukan uji materi harusnya dilakukan oleh masyarakat atau orang yang merasa dirugikan. Bukan partai politik yang ternyata mereka juga membuat UU.

“Ini kok pembuat regulasi? UU Pemilu ini sudah dibahas dan diputuskan lewat mekanisme yang ditentukan tentu pasti ada orang dipuaskan dan tidak. Tapi, demokrasi menyatakan itu yang harus diterima secara gentleman,” pungkasnya. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... KPU Sebaiknya Memulai Tahapan Pemilu Tanpa Tunggu UU Baru


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler