jpnn.com, JAKARTA - Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) melihat belum tuntasnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) berpotensi merusak keberlangsungan demokrasi dan reformasi. Pasalnya, jadwal pemungutan suara pemilu legislatif dan pemilihan presiden sudah ditetapkan 17 April 2019 mendatang.
Merujuk tanggal itu maka tahapannya sudah harus dimulai dalam waktu dekat. Namun hingga saat ini RUU Pemilu juga belum tuntas dibahas.
BACA JUGA: Hidayat Sesalkan Sikap Pemerintah Menarik Diri
Pemerintah bahkan terkesan akan menarik diri dari pembahasan di Pansus RUU Pemilu DPR karena usulan agar ambang batas pemilihan presiden 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara hasil pemilu ditolak.
"Jadi kondisi yang ada berpotensi menimbulkan kekisruhan hukum dan pelanggaran hukum oleh lembaga-lembaga negara yang tidak melaksanakan tugas kenegaraanya berdasarkan hukum," ujar pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Jenderal KIPP Kaka Suminta di Jakarta, Jumat (16/6).
BACA JUGA: Pemilu 2019 Terancam Tak Punya Payung Hukum
Untuk itu, Kaka menyarankan Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar tetap bekerja melakukan tahapan pemili. Sebab, jika harus menunggu sementara belum ada kepastian RUU Pemilu kelar maka bisa saja muncul persoalan di kemudian hari.
"Sebelum diganti (UU Pemilu baru, red), maka masih berlaku Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Pemilihan Umum yang mengamanatkan KPU melakukan verifikasi faktual terhadap partai politik peserta pemilu. Disebutkan harus dilaksanakan mulai 17 Juni ini, atau 22 bulan sebelum pelaksanaan pemungutan suara," ucap Kaka.(gir/jpnn)
BACA JUGA: Ini Opsi dari Pemerintah Jika RUU Pemilu Gagal Disepakati
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mendagri Tak Ingin RUU Pemilu Divoting di Tingkat Pansus, Nih Alasannya
Redaktur & Reporter : Ken Girsang