Nasib Honorer K2, Ditaburi Harapan Jelang Pesta Rebutan Kekuasaan, Lantas Ditinggalkan

Sabtu, 14 September 2019 – 07:00 WIB
Massa honorer K2 tidur di depan Istana Negara, Selasa (30/10) malam. Foto: Mesya/JPNN.com

jpnn.com - Banyak kelompok politik menebar harapan kepada para honorer K2 saat ada gelaran rebutan kursi kekuasaan yang butuh suara rakyat. Baik saat pilkada maupun pilpres. Usai hajatan politik, honorer K2 seperti ditinggalkan. Mereka berjuang sendirian.

Mesya Mohamad, Jakarta

BACA JUGA: Titi Honorer K2: Tidak Ada yang Berubah Meski Kami Dicaci dan Difitnah

Secara politik, jumlah honorer K2 yang mencapai 439 ribu, tidak boleh diremehkan. Pasalnya, suara harus diakumulasikan dengan sanak keluarganya. Belum lagi honorer non-kategori yang jumlahnya jutaan orang.

Wajar, bila jelang Pilpres 2019, pemerintah mengeluarkan dua kebijakan terburu-buru, seakan mengejar sesuatu.

BACA JUGA: Alhamdulillah, Rekomendasi Rakernas Honorer K2 Sudah di Tangan MenPAN-RB

Pertama, dikeluarkannya PP Manajamen PPPK pada Desember 2018. Baru berjalan sebulan dan belum disosialisasikan, tiba-tiba pemerintah mengeluarkan kebijakan kedua, yaitu membuka rekrutmen PPPK tahap I.

Rekrutmen PPPK tahap I yang digelar Februari 2019 kesannya sangat dipaksakan karena surat menpan-RB sebagai dasar pelaksanaan tes, kala itu belum keluar. Alhasil meski sudah menjalani tes, pengumumannya terus molor.

BACA JUGA: Bhimma Sampaikan Kabar Buruk untuk Honorer K2

Keterpaksaan juga terlihat jelas dari penolakan daerah. Sebab baru kali ini pengadaan ASN dibuka di awal tahun. Padahal kebiasaan diadakan di akhir tahun. Pemda pun galau lantaran tidak punya dana menggaji honorer K2 yang lulus PPPK.

Lagi-lagi pusat berdalih, pengadaan PPPK sebagai solusi menyelesaikan masalah honorer K2 yang salah satunya dipicu kesalahan pemda merekrut tenaga baru terus menerus.

Jujurkah pemerintah? Sepertinya tidak. Mari kita lihat proses pengadaan CPNS. Dalam PP Manajamen PNS, tahapan pengadaannya harus melalui usulan kebutuhan daerah yang menyertakan estimasi kebutuhan selama lima tahun ke depan.

Pengadaannya pun harus lewat perhitungan analisa jabatan (anjab) dan analisa beban kerja (ABK). Pengusulan kebutuhan dilakukan mulai April hingga Mei. Kemudian Juni-Juli dilakukan analisis oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) untuk menetapkan berapa kuota yang disiapkan untuk masing-masing instansi.

Setelah proses itu kemudian dibahas dalam rakornas kepegawaian untuk menyesuaikan kebutuhan daerah. Dalam rakornas itu juga disepakati kira-kira kapan seleksi CPNS akan dibuka walaupun pusat sudah punya estimasi tanggalnya.

Sehingga normalnya pengadaan CPNS dimulai Agustus-September dengan harapan, Badan Kepegawaian Negara (BKN) bisa memproses NIP pada tahun yang sama.

Sejatinya, tahapan rekrutmen PPPK mirip CPNS. Semuanya dimulai dari berapa sebenarnya kebutuhan daerah akan PPPK hingga waktu tes. Sayangnya, pengadaan PPPK pada Februari 2019 mengabaikan proses itu. Ibarat bayi lahirnya prematur sehingga butuh penanganan serius.

Kesalahan pemerintah dalam pengadaan PPPK semakin jelas terungkap sebab sampai saat ini status 50 ribuan honorer K2 yang lulus di tahap I belum jelas. Sebenarnya keanehan pengadaan PPPK juga tampak pada pembagian kuota. MenPAN-RB Syafruddin mengatakan, pengadaan ASN 2019 disiapkan 250 ribu orang. 150 ribu untuk PPPK dan 100 ribu CPNS.

Anehnya, PPPK dibagi dua tahap, yaitu Februari dan Oktober. Saat itu menpan-RB berdalih tidak ada unsur politik dalam pengadaan PPPK meski masyarakat terutama honorer K2 tidak percaya. Dan, ternyata perlahan tapi pasti kebenarannya mulai terungkap. Honorer K2 pun meratap, menangis, berontak. Hingga menjelang akhir tahun status mereka tetaplah honorer.

Kelulusan PPPK tahap I dipetieskan lantaran belum ada cantolan hukum yang kuat. Mengapa? Pengadaannya harus diperkuat dengan Perpres tentang jabatan apa saja yang dijadikan PPPK. Tanpa Perpres bagaimana bisa instansi mengajukan kebutuhannya.

Anehnya, untuk daerah dipaksakan merekrut PPPK khusus jabatan guru, tenaga kesehatan, dan penyuluh. Sebab, tiga formasi itu merupakan jabatan fungsional. Artinya, pemerintah melakukan kebijakan aneh. Pasalnya, jabatan fungsional ini harus ditentukan presiden melalui Perpres. Sementara Perpres tentang jabatan apa saja yang bisa diisi PPPK, belum terbit.

Salah satu Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Didi Supriyadi juga terang-terangan mengkritisi kebijakan PPPK. Dia juga mendukung langkah honorer yang menolak PPPK lantaran kebijakan tersebut belum jelas.

"Ini barang belum jelas alat kelaminnya tapi dipaksakan untuk dilaksanakan. Akibatnya daerah dan honorer yang jadi korban. Sebab, pusat beralasan NIP belum bisa diproses karena daerah. Padahal, Perpresnya saja belum ada, bagaimana bisa daerah yang disalahkan," kritiknya.

Belum lagi selesai masalah PPPK, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy memberikan angin surga berupa janji gaji guru honorer akan naik di 2020. Sembari menunggu guru PPPK, pemerintah akan memperbaiki kesejahteraan tenaga pendidik lewat perubahan gaji.

Jika selama ini gaji guru honorer hanya Rp 150 ribu sampai Rp 300 ribu per bulan karena diambil dari dana BOS. Mulai 2020, naik setara UMR karena sumber dananya masuk DAU.

Janji manis semanis permen ini sepertinya untuk merayu guru honorer yang sudah berada di batas ambang kesabaran. Sudah dipaksa ikut tes PPPK tapi masih bergaji honorer.

Kalau ternyata benar, gaji guru honorer akan masuk DAU dan naik di 2020, bagaimana dengan K2 lainnya? Sepertinya kebijakan ini justru akan menimbulkan masalah baru. Sesungguhnya, honorer K2 bukan hanya guru, tapi ada profesi lainnya yang juga mengabdi belasan hingga puluhan tahun.

Apakah ini yang disebut pemerintah telah menyodorkan solusi terbaik bagi honorer K2? Atau jangan-jangan honorer K2 yang benar, bahwa ini justru jebakan Batman bagi mereka. (esy/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler