Nasihat Hakim Konstitusi Saldi Isra untuk Pimpinan KPK

Selasa, 10 Desember 2019 – 08:44 WIB
Sejumlah pemohon dan kuasa hukumnya pada sidang pengujian formil atas UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, di MK, Senin (9/12). Foto: ANTARA /Dhemas Reviyanto/foc.

jpnn.com, JAKARTA - Tiga pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) bersama 10 pegiat antikorupsi mengajukan uji formil terhadap UU Nomor 19 Tahun 2019 ke Mahkamah Konstitusi alias MK.

Hakim Konstitusi Saldi Isra mengingatkan pimpinan KPK serta sejumlah pegiat antikorupsi yang menggugat UU Nomor 19 Tahun 2019 tidak perlu hingga diwakili sebanyak 39 kuasa hukum.

BACA JUGA: Upaya Mahasiswa Gugat UU KPK Kandas di MK Gegara Salah Tulis Angka

"Soal kuasa hukum, tidak perlu sebanyak ini kuasa hukumnya karena yang paling penting itu kan kehadirannya," ujar Saldi Isra dalam sidang pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (9/12).

Saldi Isra memberikan nasihat agar pemohon mengutamakan kualitas daripada kuantitas dan memilih kuasa hukum yang benar-benar dapat mendedikasikan waktu untuk mewakili selama persidangan.

BACA JUGA: Tiga Bos KPK Gugat UU Baru ke MK, Begini Respons Istana

Hakim Konstitusi asal Padang itu juga mengatakan, jumlah pemohon lebih sedikit lebih baik, yang penting kerugian konstitusionalnya dapat dijelaskan dengan baik. Sementara pemohon berjumlah 13 orang, termasuk tiga pimpinan KPK.

"Tugas terberat kuasa hukum adalah sebetulnya soal legal standing. Tidak disadari semakin banyak mengikutkan pemohon, semakin banyak pekerjaan kuasa hukum menjelaskan legal standing orang-orang yang menjadi prinsipal," tutur Saldi Isra.

BACA JUGA: Ali Mochtar Ngabalin Muncul Lagi di Istana, Rangkulan Sama Ahok

Tiga pimpinan KPK serta 10 pegiat antikorupsi mengajukan uji formil terhadap UU Nomor 19 Tahun 2019 ke Mahkamah Konstitusi.

Mereka mempertanyakan keabsahan secara prosedural pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut lantaran tidak sesuai dengan asas pembentukan perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.

Pemohon juga menyoal tidak dilibatkan dalam pembahasan revisi UU KPK karena pemerintah hanya diwakili Menteri Hukum dan HAM serta Menteri PAN-RB dalam pembahasan dengan DPR.

Pemohon meminta MK untuk menyatakan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum yang mengikat.

MK juga diminta untuk menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, mengalami cacat formil dan cacat prosedural sehingga tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum. (antara/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler