jpnn.com - Ada orang selain Tanri Abeng yang "terpaksa" kuliah S-3 agar bisa memimpin universitas: KH Asep Syaifuddin Halim.
Secara keilmuan, Tanri Abeng sudah di atas rerata doktor. Pun Kiai Asep. Tetapi aturan pemerintah mewajibkan pimpinan perguruan tinggi harus bergelar doktor: doktor benaran, bukan doktor sekadar hadiah seperti honoris causa.
BACA JUGA: Tanri Abeng
Pak Tanri maupun Kiai Asep sama-sama pendiri perguruan tinggi. Sama-sama punya misi tertentu. Pun sama-sama punya konsep akan ke mana perguruan tinggi itu.
Pak Tanri ke arah lahirnya manajer profesional, leader, dan wirausaha.
BACA JUGA: Anies Ahok
Kiai Asep punya misi melahirkan ulama intelektual.
Dua tokoh itu sama-sama merasa: diri merekalah yang tahu konsep operasional seperti apa agar misi mereka tercapai. Untuk itu harus terjun sendiri. Memimpin sendiri.
BACA JUGA: Keturunan Seks
Bedanya: Kiai Asep sudah berpengalaman panjang membangun sekolah. Sejak tingkat SD. Sampai SMA. Di Surabaya dan di Pacet, Mojokerto. Sudah pula jatuh bangun. Sudah merasakan ditipu orang.
Akhirnya terbukti pesantrennya maju pesat. Sangat pesat. Santrinya lebih 20.000 orang. Lahan pendidikannya lebih 100 hektare.
Maka ketika Kiai Asep mendirikan perguruan tinggi, itu hanya seperti orang naik tangga ke yang lebih tinggi.
Di bidang politik, Kiai Asep juga selalu sukses: dua kali menjadi tim Jokowi dan dua kali berhasil.
Ketika mendukung penuh Khofifah Indar Parawansa juga berhasil jadi gubernur Jatim. Lalu berhasil menjadikan anak-anaknya dokter. Salah satunya jadi wakil bupati Mojokerto.
Kiai Asep juga berhasil ketika mendukung Prabowo di Jatim. Tinggal apakah Khofifah akan jadi gubernur lagi. Dan apakah anaknya yang Wabup itu, yang kini maju lawan incumbent, akan berhasil jadi Bupati Mojokerto.
Tanri Abeng memang hebat. Akan tetapi belum pernah berpengalaman mendirikan lembaga pendidikan. Dia langsung mendirikan Tanri Abeng University (TAU) di Ulujami, Jakarta.
Pun sebelum menerima mahasiswa baru di tahun 2012, Pak Tanri sudah lebih dulu membangun gedung-gedung universitas yang mentereng.
Sampai ke lapangan tenisnya yang berkualitas. Pak Tanri memang punya hobi main tenis sampai usia tuanya.
Nama besar Pak Tanri sangat diandalkan di TAU. Beliau yang jadi rektornya. Dulunya rektor dibantu oleh dua wakil rektor. Belakangan jabatan wakil rektor itu dihapus. Para dekan langsung berhubungan dengan Pak Tanri sebagai rektor.
Pernah, Pak Tanri mengumumkan akan berhenti sebagai rektor. Lalu akan diangkat seorang Plt Rektor. Disebutkan namanya: Prof Sudarsono. Akan tetapi lama-lama tidak terdengar lagi kelanjutan soal pejabat rektor itu.
Ketika Pak Tanri meninggal dunia dua hari lalu, jabatan rektor TAU kosong.
Rupanya membangun perguruan tinggi memang mudah. Yang sulit adalah mengembangkannya. Sebelum mengembangkan pun masih ada yang juga sulit: membuat daya tarik bagi mahasiswa baru.
Belakangan satu jurusan harus ditutup: teknik elektro. Beberapa jurusan hanya memiliki mahasiswa kurang dari 20 orang. Yang laku --sayangnya-- hanya jurusan komunikasi. Jurusan unggulan seperti teknik dan bisnis kurang peminat.
Pak Tanri telah pergi. Sang istri, mantan dosen di situ, tidak banyak terlibat. Akan tetapi masih ada putra pertama dari almarhumah istri yang dulu: Emil Abeng.
Emil, anak nak muda itu, mungkin akan punya kiat baru untuk megembangkan warisan sang ayah. Kalaupun Emil belum doktor, toh banyak doktor di dunia pendidikan yang hebat-hebat di luar sana.
Yang saya kaget: ada teman yang kemarin memberitahu saya. Ternyata ada nama saya di daftar dewan penasihat TAU.
Saya pun ingat: Pak Tanri pernah memberitahu saya untuk jadi salah satu penasehat. Lama sekali. Rasanya saat saya masih menjadi sesuatu dulu.
Maafkan Pak Tanri, saya belum pernah memberikan nasihat apa-apa: murid tidak boleh menasihati guru.(*)
Yuk, Simak Juga Video ini!
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dokter Ibu
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi