jpnn.com, JAKARTA - Jaksa Agung pada periode kepemimpinan Presiden Jokowi - Ma'ruf Amin diharapkan berasal dari dari Jaksa-Jaksa terbaik berasal dari lingkungan Kejaksaan Agung. Tidak itu saja, figur calon Jaksa Agung harus steril dari politik praktis, terlebih-lebih tidak berafiliasi pada parpol tertentu.
Oleh karena itu, seorang Jaksa Agung bukan hanya dituntut memiliki kemampuan menjalankan tugas dan tanggung jawab secara profesional di bidang penuntutan perkara pidana, akan tetapi juga dia harus negarawan yang mampu menjaga independensi Kejaksaan serta benar-benar paham akan cita-cita publik di bidang penegakan hukum dan keadilan.
BACA JUGA: Saran Bang Emrus buat Presiden Jokowi soal Figur untuk Jaksa Agung
“Sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penegakan hukum, maka seorang Jaksa Agung haruslah berasal dari seorang Jaksa karier, terlepas dari pengaruh politik praktis dan tidak boleh berafiliasi atau bersimpati atau menjadi bagian dari partai politk manapun,” tegas Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Mantan Anggota KPKPN 2001-2004, Petrus Selestinus di Jakarta, Rabu (23/10).
Dia harus berwatak negarawan dan berwawasan kebangsaan. Pancasilais dan berkomitmen menjaga NKRI, karena dia akan menjadi partner Presiden dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penegakan hukum, demi menjaga NKRI, Pancasila, Bhineka Tunggal Ik dan UUD 1945.
Menurut Petrus, problem utama kita selama ini adalah betapa sulitnya mendapatkan seorang Jaksa Agung terbaik dari internal ?ejaksaan. Sulitnya mendapatkan sosok Jaksa terbaik yang memenuhi kriteria independen, negarawan dan kompeten yang sesuai dengan harapan publik, karena model kaderisasi di internal Kejaksaan Agung tidak berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, tidaklah mudah bagi Presiden Jokowi menemukan Jaksa yang hebat untuk dijadikan Jaksa Agung pada periode kedua masa jabatannya. Meskipun semua jaksa memiliki kualifikasi akademik dan syarat formil lainnya untuk menjadi Jaksa Agung. Namun kebanyakan Jaksa-Jaksa kita kandas di syarat rekam jejak dan integritas moral serta kejujuran yang tinggi, ketika syarat rekam jejak dan integritas moral serta kejujuran yang tinggi menjadi pertimbangan utama.
Saat ini, menurut Petrus, Presiden Jokowi diperhadapkan pada pilihan sulit, apakah memilih calon Jaksa Agung dari internal Kejaksaan atau dari luar dan dari Partai Politik. Perdebatan publik soal sosok Jaksa Agung dalam periode kepemimpinan Jokowi 5 (lima) tahun ke depan, ada dua opsi.
Ada opsi untuk memilih Jaksa Agung dari luar (non karier) tetapi juga menguat opsi Jaksa Agung diambil dari internal Kejaksaan (Jaksa Karier). Pertanyaannya apakah boleh Jaksa Agung diambil dari luar (non-karier), pengalaman membuktikan bahwa Jaksa Agung bisa diambil dari luar (non karier), bahkan disertai syarat tidak boleh dari kader partai politik, sekalipun dia mantan Jaksa seperti halnya dengan H.M Prasetyo yang menjadi Jaksa Agung dari kader Partai Nasdem.
“Mencari Jaksa Agung dari Jaksa karier yang saat ini masih menjabat atau pensiunan Jaksa, tidaklah mudah alias gampang-gampang susah, karena ada beberapa Jaksa yang rekam jejaknya bagus dan memiliki keberanian termasuk berani berbeda pendapat dengan Jaksa Agungnya sendiri, tetapi justru Jaksa-Jaksa yang berani seperti itu sering dimatikan kariernya oleh Jaksa Agungnya sendiri. Bahkan rata-rata mereka dijadikan sebagai staf ahli tanpa diberi tugas atau mengemban tugas sebagai Jaksa fungsional hingga yang bersangkutan pensiun. Ini memang budaya manajemen institusi negara yang dengan kekuasaan besar tetapi gagal membina Jaksa-Jaksa yang begitu banyak menjadi Jaksa-Jaksa yang hebat,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Petrus, Presiden Jokowi harus hati-hati dalam menjaring sosok Jaksa Agung dari internal Jaksa-Jaksa yang ada. Sebab sejumlah Jaksa pada level pensiunan Jaksa Agung Muda bahkan yang masih aktif pun diam-diam kasak-kusuk mencari dukungan politik kepada beberapa partai politik dengan barter-barter kekuasaan jika terpilih menjadi Jaksa Agung atas dukungan Parpol tertentu.
Jaksa Agung terpilih yang didukung oleh Parpol biasanya ketika berdiri selalu tidak tegak lurus dan kurang percaya diri, karena keberadaannya di Lembaga Kejaksaan itu mengemban misi khusus di luar fungsi penegakan hukum guna memenuhi titipan Partai Politik
Seorang Jaksa Agung itu harus berani dan tidak boleh merasa rendah diri di hadapan atasannya termasuk di hadapan Presiden, karena seorang Jaksa Agung itu mengemban misi melaksanakan kekuasaan negara di bidang penegakan hukum dan keadilan.
“UU Kejaksaan menegaskan bahwa Kejaksaan bukan alat negara seperti halnya dengan Polisi atau TNI, melainkan adalah pelaksana kekuasaan negara di bidang penegakan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, dia menjadi partner Presiden dalam melaksanakan kekuasaan negara, tanpa bisa diintervensi oleh kekuatan manapun,” katanya.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich