jpnn.com - Berada di tengah Pandemi Covid-19 memang seumpama terbang di tengah cuaca ekstrem. Bikin jantung berdebar, dan semua rencana jadi ambyar.
Apalagi bagi para penyintas Covid-19 seperti saya, sungguh pengalaman yang bukan saja menegangkan, namun juga menghadapkan kita pada situasi paling sulit, antara hidup dan mati. Terutama di hari ketujuh dan kedelapan, saat pasien covid-19 menghadapi fase batuk yang hebat.
BACA JUGA: 11 Ribu Tenaga Kesehatan sudah Menerima Vaksinasi Covid-19 Tahap Dua
Pada fase itu, saya atau pasien covid-19 lain niscaya menghadapi tantangan paling menentukan, seberapa mampu imunitas kita mencegah virus untuk sampai pada paru-paru. Jika berhasil, kita selamat, tapi jika tidak kita pun lewat.
Syukur alhamdulilah, gott sei dank, meski sempat mengalami fase batuk yang hebat, dan sempat ragu apakah bisa melewatinya. Namun saya akhirnya mampu melewatinya. Itu sudah saya ceritakan di buku terbaru, ‘Dari Jendela Rumah.’
BACA JUGA: Ridwan Kamil: Penanganan COVID-19 di Karawang Harus Dievaluasi
Pandemi Covid-19 meskipun menyajikan kisah beraneka warna, namun pesan yang saya bisa tangkap sejatinya adalah ekawarna (monokrom), satu garis warna tentang kehadiran negara di tengah kesulitan warganya.
Meski dalam kasus saya ini tidak terlalu kentara, karena pilihan yang saya ambil adalah ‘Isolasi Mandiri’. Tapi bagi pasien yang lebih memilir perawatan di rumah sakit ketimbang isoman, ini jelas terasa. Ini dialami salah satu sejawat saya.
BACA JUGA: Pesan Tegas Bu Menkeu untuk Bea Cukai demi Genjot Distribusi Vaksin Covid-19
Jum’at Wage, minggu pertama Januari 2021, tak lama setelah hasil swab saya menunjukkan Ct (Cycle Threshold) value saya telah di atas 32, Sejawat saya tersebut mengirim sebuah pesan bernada kekhawatiran melalui satu grup whatsaap. “Apa masih ada yang punya kapsul Lian Hua, saya butuh untuk ibu saya, beliau mulai demam malam ini.”
Saya kebetulan masih ada banyak, karena sempat dikirim beberapa teman. Namun baru bisa saya kirim keesokan harinya. Malam itu juga, kabarnya ibunya tersebut langsung masuk rumah sakit.
Kamis (28/01) kemarin, kami sempat berbincang tentang pengalaman menjadi penyintas dan bagaimana dirinya mengurus Sang Ibu yang rupanya dirawat di rumah sakit ternama di Jakarta Selatan. Tak perlu disebutkan namanya.
Ada cerita menarik sekaligus menegangkan kala dia mengurus ibunya di rumah sakit, terutama ketika urusan administrasi. Sabtu pagi setelah malamnya ia memasukan sang ibu ke rumah sakit, tiba-tiba saja ia terpikir untuk mengecek biling tagihan di kasir. Sudah ada dua tindakan yang dilakukan untuk ibunya, namun billingnya saat itu sudah 5 juta.
Melihat angka itu, dia langsung teringat kata pertama yang keluar dari mulut ibunya ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah sakit itu, “berapa biayanya?” pikiran khas emak-emak, siapa pun dan dimanapun. Seorang ibu tidak pernah mau menyusahkan anak-anaknya.
Tentu saja dia kaget bukan main, baru saja dua tindakan tapi tagihannya sudah seharga satu sepeda MTB Thrill Vanquish. Tak bisa dibayangkan berapa yang harus dibayarkan jika 14 hari berada di rumah sakit itu.
Setelah memastikan perawatan yang terbaik untuk ibunya, dia pun mencari informasi tentang biaya perawatan pasien Covid-19 di rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta. Rupanya, aturan tersebut ada dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 413 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Beleid tersebut mengatur, bagi pasien yang suspek, probable, maupun confirm, dan dirawat di rumah sakit mana pun maka akan dibiayai oleh negara. Sehingga sepanjang rumah sakit mendeclare menerima pasien Covid-19, maka biayanya ditanggung negara.
Berdasarkan informasi tersebut, Sejawat saya yang sebelumnya sempat khawatir pun dengan tenang menyampaikan jika biaya perawatan ibunya di rumah sakit tersebut akan dibiayai pemerintah. Mendengar pernyataan anak muda tersebut, petugas rumah sakit pun tak berkata panjang dan langsung memprosesnya.
“Saya meyakinkan dan memberanikan diri untuk menyampaikan apa yang ada dalam keputusan Menkes, bahwa biaya ditanggung negara. Rumah sakit terima, dan saya pun merasakan saat itu jika negara betul-betul hadir,” ujarnya saat itu.
Apa yang saya alami, ibu dari sejawat saya, atau para penyintas covid-19 lainnya seolah mengkonfirmasi ungkapan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir bahwa pemerintah selalu bekerja keras dengan berbagai upaya untuk menangani pandemi Covid-19.
Pemerintah, menurut Erick, selalu hadir dalam berbagai persoalan yang dialami masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Mulai dari menyiapkan wisma atlet, mengatasi kelangkaan masker, kelangkaan APD, hingga kelangkaan obat untuk terapi penyembuhan.
Pemerintah juga hadir dan bekerja keras menangani, melawan pandemi Covid-19 dengan menyiapkan vaksin gratis. Melalui vaksinasi, kita sangat berharap dapat mempercepat syarat herd immunity atau kekebalan komunitas. Meski kehidupan sebelumnya tak bisa kembali sepenuhnya, tapi paling tidak kita yakin dan optimis bisa menatap masa depan lebih cepat dan aman dari ancaman virus.
Ya, kita memang harus yakin, optimis dan terus berjuang. Seyakin Presiden Jokowi, yang terlihat dari sebuah unggahannya (4 Oktober 2020), video berdurasi 7:49 menit. Di video itu, Presiden duduk di sebuah kursi, mengenakan masker yang kemudian ia lepas. Ia terlihat lelah, kantung matanya nampak terlihat dan raut wajahnya seperti menyiratkan bahwa ia kurang istirahat.
“Tujuh bulan sudah kita meghadapi pandemi ini. Begitu banyak tantangan, namun kita tidak berpangku tangan. Banyak yang sudah kita kerjakan. Maka, mari kita bicara fakta dan data, bukan kira-kira,” ujar Presiden kala itu.
Dan betul saja, Presiden Jokowi memang tidak mau sekadar berkata-kata. Ia pun yakin dan menepati janjinya menjadi orang pertama yang divaksin. Vaksinasi itu digelar di Istana Merdeka, disiarkan langsung di Youtube Sekretariat Negara. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil