Negara Jangan Hanya Mencintai Sumber Daya Alam Kawasan Timur Indonesia

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina

Jumat, 04 Oktober 2024 – 13:49 WIB
Founder Archipelago Solidarity Foundation Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina. Foto: dok pribadi for JPNN.com

jpnn.com - UPAYA pengembangan Kawasan Timur Indonesia sudah dilakukan dari masa ke masa pemerintahan Indonesia. Namun, sampai saat ini, kesenjangan yang terjadi tidak mengalami perbaikan. Kebijakan yang diambil selalu berganti dari kehilangan keberlanjutannya.

Ketiadaan roadmap atau blue print yang diaplikasikan bagi pengembangan kawasan timur Indonesia menyebabkan setiap rezim mengambil kebijakan baru yang secara tidak sadar mengoreksi kebijakan pemerintahan sebelumnya dan hampir selalu mulai dengan ide baru.

BACA JUGA: Sejumlah Tokoh Mendesak Ada Kementerian Khusus Kawasan Timur Indonesia

Situasi ini menyebabkan pergantian rezim identik dengan perubahan kebijakan tanpa menunjukkan hasil nyata dan keberpihakan yang nyata terhadap pengembangan kawasan timur.

Pada masa orde baru mengambil kebijakan sampai dengan saat ini masih terus menerapkan kebijakan transmigrasi dari Jawa ke kawasan timur. Kebijakan ini bukan menyelesaikan masalah di kawasan timur, tetapi justru memindahkan persoalan dari Jawa ke Kawasan Timur yang sudah bergelut dengan masalahnya sendiri.

BACA JUGA: Engelina: Pengelola Blok Bula dan Non-Bula Harus Diaudit Menyeluruh

Selain itu pada masa orde baru juga mengambil kebijakan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet). Kebijakan ini juga layu sebelum berkembang dan menghilang seiring dengan jatuhnya pemerintahan orde baru.

Pada masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2000 Tentang Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia.

BACA JUGA: Engelina Pattiasina: Jangan Lagi Mengelola Blok Masela seperti Gaya Kolonial

Selain itu, pada masa KH Abdurrahman Wahid juga membentuk Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia pada Kabinet Persatuan Nasional dan Kabinet Gotong Royong.

Hanya saja, sejak pergantian pemerintahan pada masa Susilo Bambang Yudhoyono menghilangkan kementerian ini dan digabung dalam Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal selama dua periode masa jabatan.

Selanjutnya pada pemerintahan Joko Widodo selama dua periode mengganti nomenklatur menjadi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan bertahan sampai saat ini.

Hanya saja pergantian kementerian dari secara spesifik yang mengurus Kawasan timur, menjadi daerah tertinggal tetap saja tidak mengubah fakta ketimpangan kawasan barat dan kawasan timur yang kian dalam.

Dominasi kawasan barat dalam struktur perekonomian Indonesia membawa dampak yang semakin meninggalkan Kawasan timur dalam perekonomian, pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan sebagainya.

Hal ini semakin diperparah dengan ketiadaan kebijakan afirmasi bagi kawasan timur. Sebab, praktis kawasan ini diperlakukan sama dengan kebijakan yang berlaku di kawasan barat. Bahkan, yang terjadi sebaliknya, Kawasan ini diperlakukan tidak adil dalam distribusi anggaran negara.

Situasi selalu berulang dari tahun ke tahun, sehingga tanpa upaya lebih dan keberpihakan kepada kawasan timur melalui kebijakan negara, maka kawasan ini akan sangat sulit untuk bangkit mengejar ketertinggalan dengan kawasan barat.

Kalau mengacu kepada pertumbuhan dan dan kontribusi PDRB pada tahun 2023, maka sangat jelas struktur perekonomian Indonesia secara spasial selama tahun 2023 menurut kelompok pulau masih disumbangkan oleh Pulau Jawa dengan kontribusi sebesar 57,05 persen, diikuti Sumatera 22,01 persen, Kalimantan 8,49 persen, Sulawesi 7,10 persen, Bali dan Nusa Tenggara 2,77 persen, serta Maluku dan Papua 2,58 persen.

Data di atas menunjukkan dominasi Pulau Jawa dengan kontribusi PDRB sebesar 57,05 persen dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,96 persen.

Kalau dibandingkan dengan data Triwulan II 2024, data ini juga tidak mengalami perubahan signifikan. Sebab, secara spasial, struktur perekonomian Indonesia pada triwulan II-2024 didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa dengan kontribusi terhadap PDRB sebesar 57,04 persen, diikuti Pulau Sumatra sebesar 22,08 persen, Pulau Kalimantan sebesar 8,18 persen, Pulau Sulawesi sebesar 7,16 persen, Pulau Bali dan Nusa Tenggara sebesar 2,84 persen, serta Pulau Maluku dan Papua sebesar 2,70 persen.

Kinerja ekonomi melalui PDRB ini berbanding lurus dengan angka kemiskinan yang terjadi di Indonesia, dimana Kelompok Papua dan Maluku, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara merupakan provinsi dengan angka penduduk miskin tertinggi di Indonesia berdasarkan data BPS Tahun 2024.

Dari 17 Provinsi di kawasan timur, hanya empat provinsi yang memiliki persentase kemiskinan di bawah 10 persen, yakni Bali (4 persen), Maluku Utara (6,32 persen), Sulawesi Utara (7,25 persen) dan Sulawesi Selatan (8,06 persen).

Sebanyak 13 provinsi lainnya berada dalam 15 provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi, yakni Papua Pegunungan (32,97), Papua Tengah (29,76 Persen), Papua Barat (21,66 Persen), Nusa Tenggara Timur (19,48 Persen), Papua Barat Daya (18,13 Persen), Papua Selatan (17,44 Persen), Papua (17,26 Persen), Maluku (16,05 Persen), Gorontalo (14,57 Persen), Aceh (14,23 Peren), Bengkulu (13,56 Persen), Nusa Tenggara Barat (12,91 Persen), Sulawesi Tengah (11,77 Persen), Sulawesi Tenggara (11,21 Persen), dan Sulawesi Barat (11,21 Persen).

Dengan ketimpangan yang sangat dalam ini, Pemerintahan Jokowi menggaungkan Indonesiasentris untuk keluar dari stigma Jawasentris. Memang, Indonesiasentris sekilas sangat positif dan populis, tetapi juga mengandung makna penegasan atas ketimpangan kawasan permanen. Sebab, kawasan timur dan kawasan barat diperlakukan sama, padahal selama puluhan tahun kedua kawasan ini diperlakukan berbeda.

Satu Kawasan yang tertinggal jauh tetapi dikemas dalam Indonesiasentris dan seolah tidak ada perbedaan perlakuan. Dengan situasi seperti ini, hanya menjadikan ketimpangan permanen.

Semestinya, Pemerintah mengambil terobosan keberpihakan yang kuat terhadap percepatan kawasan timur tanpa mengabaikan kawasan barat. Kenyataanya, sejauh ini tidak ada kebijakan terhadap kawasan timur yang terarah, sistematis dan terukur.

Justru dalam praktik, disadari atau tidak, sejumlah kebijakan terutama distribusi anggaran negara sangat merugikan kawasan timur, misalnya dalam formula DAU yang antara lain menjadikan jumlah penduduk dan luas wilayah darat sebagai indikator yang menentukan besar kecilnya DAU.

Sebagai gambaran, APBN 2024 yang mengalir ke-17 provinsi di kawasan timur berkisar Rp 345,65 triliun dari total transfer ke daerah tahun 2024 sebesar Rp857,6 triliun.

Sebagian besar masih tetap menjadi bagian Kawasan barat, terutama Pulau Jawa. Karena APBN untuk Jawa Barat (Rp121,93 triliun), Jawa Timur (Rp 129,3 triliun) dan Jawa Tengah (Rp111,89 triliun) saja sudah menyamai keseluruhan alokasi untuk 17 provinsi di kawasan timur.

Di satu sisi, kekuatan APBD daerah kawasan timur tidak memiliki kemampuan untuk mendongkrak pembangunan karena APBD yang sangat minim.

Sebagai gambaran, realisasi APBD Provinisi Tahun 2022 di Sulawesi, Maluku, Papua, Bali dan Nusa Tenggara total berjumlah Rp 75,1 triliun. Dalam periode yang sama, realisasi APBD DKI Jakarta mencapai Rp 77,9 triliun. Jadi, APBD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2022 jauh lebih besar dari APBD 17 provinsi di kawasan timur.

Dengan kondisi seperti ini, kawasan timur membutuhkan terobosan dan keberpihakan yang kuat untuk melahirkan lompatan-lompatan yang bisa menjadi pengungkit untuk mengejar ketertinggalan. Namun, pemerintah hanya sebatas slogan dan pidato tanpa langkah konkret. Karena meski mengetahui persis ketimpangan dan ketertinggalan yang ada, tetapi tidak ada keberpihakan yang tampak dalam kebijakan alokasi anggaran negara.

Begitu juga kalau ditinjau dari sisi partisipasi dalam pengelolaan negara di tingkat pusat. Dari ribuan jabatan strategis yang menentukan arah pembangunan negara ini, kader dan figur dari kawasan timur praktis tidak mendapat tempat, sehingga pengembangan kawasan timur selalu menggunakan kacamata kawasan barat, karena semua kebijakan memang ditentukan dengan kacamata seperti itu.

Para pengambil kebijakan di pemerintah pusat dan jabatan politik didominasi mutlak kawasan barat, sehingga tidak heran dalam pengalokasikan anggaran dan beragam kebijakan sangat sulit untuk mengharapkan adanya keberpihakan terhadap kawasan timur.

Situasi ini sangat ironis, karena selama puluhan tahun, kawasan barat merupakan pihak yang sangat menikmati kue pembangunan, sementara kekayaan alam terbesar Indonesia ada di kawasan timur. Kontribusi daerah terhadap PDB dan PDRB yang sangat timpang antara kawasan barat dan timur serta data statistik ekonomi merupakan konfirmasi terhadap ini.

Ketertinggalan dan kemiskinan yang berada di kawasan timur ini berbanding terbalik dengan kekayaan alam baik dari kelautan maupun mineral dan perkebunan. Sehingga munculnya perasaan sebagai objek eksploitasi dan sekadar cadangan bahan kebutuhan kawasan barat tak terhindarkan.

Sebab, ketika kawasan barat tumbuh pesat dan kuat, maka dengan sendirinya kawsan timur menjadi sasaran ekspansi dengan kekuatan sumber daya yang besar. Hal ini berpotensi besar menjadikan kawasan timur sebagai objek eksploitasi karena sudah terlanjur tenggelam dalam keterpurukan dan kemiskinan.

Tidak ada jalan lain untuk menyikapi hal ini, kecuali pemerintahan memiliki keberpihakan yang nyata dalam pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan mengembangkan beragam industri di kawasan timur untuk mengelola sumber daya alam yang memang ada di kawasan timur.

Slogan dan pidato mengenai keberpihakan kepada kawasan timur sudah sangat banyak, tetapi apa yang dipidatokan berbeda dengan apa yang dilakukan.

Untuk itu, ada harapan besar kepada pemerintahan Prabowo untuk berhenti omon-omon mengenai kawasan timur, tetapi yang dibutuhkan adanya terobosan nyata melalui distribusi anggaran negara, kebijakan dan tindakan yang menunjukkan ketulusan untuk mengangkat kawasan timur. Semoga! (sam/jpnn)

Penulis: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Founder Archipelago Solidarity Foundation


Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler