jpnn.com - JAKARTA- Banyaknya BUMN di Indonesia segendang sepenarian dengan besarnya pengeluaran untuk gaji komisaris dan direksi. Itu masih ditambah dengan anak dan cucu BUMN.
Total, BUMN beserta anak dan cucunya berada di kisaran 800. Jika diasumsikan masing-masing ada tiga direksi dan komisaris, berarti terdapat 4.800 posisi di BUMN dari induk hingga cucu.
BACA JUGA: Beratttt, Presiden Instruksi ini Saat Lebaran
"Nah kalau selama setahun 18 bulan ini pergantian komisaris dan direksi baru menyentuh sekitar 400-an orang, maka masih ada sekitar 4.400 orang lama di dalam sana yang bisa jadi merupakan lawan politik atau minimal bukan pendukung Jokowi di Pilpres kemarin," kata Ketua Relawan Jokowi dari Batman Immanuel Ebenezer saat membuka diskusi bertajuk Revolusi Mental dan Bersih-bersih BUMN di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (27/5).
Diskusi itu juga dihadiri beberapa pembicara seperti Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie Massardi, Don K Marut (pengawas kebijakan publik dan kerjasama internasional), Emrus Sihombing (pengamat politik), Ray Rangkuti (aktivis dan pengamat politik), dan Agus Pambagio (engamat kebijakan publik).
BACA JUGA: HEBOH! TNI AL Ungkap Dalang Pembajakan Kapal MV Hai Soon 12
Dari hitungan kasar itu, Jokowi menggaji “lawan politiknya” Rp 88 miliar per bulan atau Rp 1.056 triliun setahun. Asumsinya, satu orang lama di BUMN mendapat gaji Rp 20 juta per bulan.
"Hitungan itu memang tidak akurat, tapi bisa untuk menjadi gambaran bagi kami bahwa pemilu 2019 nanti logistik dan jaringan ada di tangan lawan-lawan Jokowi," ungkapnya.
BACA JUGA: Lebaran 2016, Target Kemenhub Hanya Satu
Lalu, kenapa 4.400 komisaris dan direksi itu diidentifikasi sebagai lawan politik Jokowi? Menurut Immanuel, mereka bukan rekomendasi partai pendukun maupun kelompok relawan Jokowi.
"Bisa dikatakan, dari 4.400-an nama itu sudah ditempatkan jauh waktu sebelum Jokowi menjadi presiden. Dengan kata lain, mereka adalah orang pilihan pemerintahan sebelum Jokowi," ujarnya.
Dia juga mencontohkan jika orang-orang lama itu mencetak sepuluh ribu kaus. Hasilnya, mereka bisa menghasilkan 44 juta kaus atau 30 persen dari total kebutuhan untuk pemilih yang mencapai 130 juta.
"Jika ada 4.400 orang yang tidak mendukung Jokowi di BUMN, anak dan cucu BUMN, lalu masing-masing orang itu bercerita kepada sepuluh orang tentang hal-hal negatif pemerintahan Jokowi, maka dalam satu tahun hal hal negatif Jokowi tersebar secara masif ke 16.060.000 orang. Atau dalam tiga tahun ke depan propaganda negatif tersebar ke 48 juta orang. Masif, terorganisir, dan sitematis tanpa medsos, koran, atau televisi. Gerilya politik dari mulut ke mulut," bebernya.
Menurutnya, berbagai posisi di BUMN itu boleh dianggap diisi sosok profesional. Kenyataannya, hampir semua BUMN induk hingga cucu selama ini merugi. Di mata Immanuel, hal itu menunjukkan bahwa mereka bukan sosok profesional.
"Pertanyaan kami, apakah Presiden Jokowi tahu hal ini atau tidak? Apa mungkin Jokowi hafal latar belakang 4.400-an orang itu? Kalau Jokowi tidak tahu maka siapa yang memanipulasi informasi ke presiden? Apa tujuannya? Apakah sekadar bekerja, bisnis, atau bertujuan politis untuk pemilu tiga tahun lagi?" tambah dia.
Dia menambahkan, menyusupkan orang ke BUMN atau memanipulasi data sangat mudah. Sebab, Jokowi tidak punya waktu mengeceknya seiring banyaknya pekerjaannya sebagai presiden.
Selaku relawan, dia mengingatkan, sisa waktu pemerintahan Jokowi hingga pemilu berikutnya tinggal tiga tahun empat bulan lagi. Jika Jokowi ingin memastikan pemerintah selama dua periode, melakukan bersih-bersih seluruh BUMN mulai induk sampai cucu dari orang-orang yang menjadi lawan politiknya merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditolak.
"Jokowi adalah orang baik, bekerja keras, dan membawa perubahan melalui revolusi mental. Tapi, Revolusi Mental itu bisa gagal total jika tidak segera dilakukan revolusi posisi di berbagai tempat dan tingkat, mulai dirjen, sesmen, hingga BUMN berikut anak cucunya," pungkasnya. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KAI Perkuat Jaringan di Wilayah Jakarta
Redaktur : Tim Redaksi