jpnn.com - Amplop-amplop di negeri amplop
Mengatur denga teratur
BACA JUGA: Hamdalah... Gus Mus Sudah Terima Vaksin Kedua, Ini Foto-fotonya
Hal-hal yang tak teratur menjadi teratur
Hal-hal yang teratur menjadi tak teratur
BACA JUGA: Putri Gus Dur Mengomentari Pernyataan Suharso Soal Amplop Kiai
Memutuskan putusan yang tak putus
Membatalkan putusan yang sudah putus…
BACA JUGA: Jawab Isu Amplop dari Sambo, Ketua Komnas HAM: Dapat Doa Kali
Penggalan puisi ‘’Negeri Amplop’’ dari K.H Mustofa Bisri alias Gus Mus itu menjadi kritik keras terhadap budaya amplop yang menjalar luas di negeri amplop.
Keputusan-keputusan penting di pemerintahan, di lembaga-lembaga peradilan, dan di berbagai tempat lain bisa berubah karena pengaruh amplop.
Puisi satire Gus Mus itu disampaikan dengan gaya jenaka tapi menusuk tajam.
Siapa yang medengarnya akan tersenyum kecut dan pahit. Gus Mus memotret realitas kehidupan dengan sangat jeli.
Amplop mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam memengaruhi jalannya politik negeri.
Beberapa hari terakhir masalah amplop tengah viral di media sosial.
Presiden Joko Widodo berkunjung ke Bandung dan mampir ke pasar tradisional Cicaheum.
Seperti biasanya, Jokowi selalu bagi-bagi amplop untuk publik plus bagi-bagi kaus.
Salah seorang pedagang yang menerima hadiah itu kecewa, karena setelah dibuka ternyata amplop kosong tidak berisi apa-apa.
Amplop kosong menjadi viral dan netizen ramai-ramai memberi komentar.
Istana kepresidenan cepat memberi klarifikasi dan bergerak cepat menyelesaikan masalah.
Pedagang itu ditemui dan diberi ganti amplop baru.
Kali ini amplop ada isinya.
Presiden Jokowi sedang rajin membagi-bagikan amplop untuk membantu rakyat yang sedang menghadapi berbagai kesulitan ekonomi.
Rencana kenaikan BBM sudah menimbulkan kepanikan meskipun belum diumumkan.
Panic buying terjadi di mana-mana.
Orang mengantre di SPBU dengan tergesa-gesa.
Seorang anggota dewan yang tak sabar menunggu giliran menganiaya seorang ibu yang mengantre di depan mobilnya.
Amplop harfiah ala Jokowi beda dengan amplop imajinatif ala Gus Mus.
Dalam puisi Gus Mus itu digambarkan bagaimana para pemegang amplop di negeri amplop punya kesaktian yang mandraguna, bisa menyulap apa saja tanpa ada yang mustahil.
Pesulap legendaris David Copperfield tidak akan laku di Indonesia karena teknik sulapnya dianggap ketinggalan zaman dan kalah oleh para pesulap politik di Indonesia.
Amplop-amplop mengamplopi apa saja. Uang menjadi kuasa. Keputusan-keputusan politik penting dikendalikan oleh uang.
Keputusan tertinggi untuk memimlih pemimpin nasional pun tidak luput dari pengaruh uang.
Kabar yang sekarang sedang santer menyebutkan seorang direktur BUMN yang mengelola uang sebesar Rp 300 triliun untuk kepentingan pemilihan presiden.
Sinyalemen itu dilempar oleh pengacara Kamarudin Seimanjuntak yang tengah menangani kasus pembunuhan Brigadir Joshua dengan tersangka Ferdy Sambo dan istri.
Sinyalemen itu belum diverifikasi dan belum dikonfirmasi. Meski demikian, di zaman serbadigital seperti sekarang isu-isu semacam itu bisa berkembang dengan cepat dan menjadi bola liar.
Menteri BUMN Erick Thohir tidak memberi respons terhadap sinyalemen ini.
Erick justru memberi respons terhadap Faizal Assegaf, seorang aktivis 1998, yang me-repost pernyataan Kamarudin Simanjuntak itu di akun media sosialnya. Erick Thohir rupanya gerah oleh posting-an itu dan melaporkan Faizal Assegaf ke polisi.
Faizal tak gentar. Ia mengecek ke polisi dan menemukan bahwa tidak ada laporan dari Erick Thohir terhadap dirinya.
Faizal pun balik menantang Erick untuk membuktikan tuduhannya.
Dengan penuh kegeraman Faizal menuduh Erick telah melakukan kebohongan publik dengan berpura-pura melapor ke polisi.
Politik uang dan politik amplop menjadi permainan yang jamak dijumpai di berbagai perhelatan politik, mulai dari level desa sampai level nasional.
Pemilihan umum di level paling rendah seperti pilihan kepala desa sudah diwarnai oleh peredaran amplop.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap kali ini ada pemilihan di level desa para bandar amplop dan para petaruh berebut membagi amplop untuk membeli suara untuk memenangkan jagonya.
Vote buying dan money politics menjadi fenomena yang jamak dalam praktik demokrasi di Indonesia.
Edward Aspinall dan Ward Berenschot menulisnya dalam buku ‘’Democracy for Sale’’ jual-beli demokrasi, untuk menggambarkan bagaimana proses demokrasi itu dikendalikan oleh amplop.
Aspinall dan Berenschot mengungkap bahwa untuk mendapatkan rekomendasi partai seorang calon harus menyiapkan amplop untuk membayar mahar politik.
Mahar adalah sejumlah uang atau barang yang diberikan sebagai tanda sahnya ikatan perkawinan.
Dengan mahar itu hubungan menjadi halal.
Mahar seharusnya sakral, tetapi menjadi tercemar ketika ditempeli kata ‘’politik’’.
Mahar politik berarti amplop yang diberikan untuk mendapatkan rekomendasi politik dari partai politik.
Mahar perkawinan sifatnya halal, mahar politik bersifat haram.
Transaksi amplop politik untuk pembayaran mahar ini lebih mirip seperi transaksi jual putus.
Setelah pembeli membayar sejumlah uang dan barang diberikan, maka transaksi selesai.
Politisi yang mendapat rekomendasi dari partai tidak akan memakai jaringan partai sebagai mesin kemenangan, tetapi membentuk tim sukses sendiri.
Praktik tim sukses yang lepas dari parpol pendukung ini menjadi fenomena khas yang hanya dijumpai di Indonesia.
Aspinall dan Berenschot melakukan penelitian komparatif di India dan Argentina untuk memperbandingkannya dengan Indonesia.
Hasilnya ditemukan bahwa fenomena tim sukses dan sukarelawan hanya ada di Indonesia.
Di India dan Argentina, jaringan partai menjadi jaringan mesin pemenangan dalam pemilu.
Di Indonesia jaringan tim sukses lebih diandalkan ketimbang jaringan partai.
Di Argentina dan India, jaringan partai terbentuk sampai ke pedesaan dan aktif melakukan kerja politik secara rutin.
Setiap kali rakyat mempunya berbagai persoalan mereka bisa langsung melapor kepada aktivis partai yang langsung melaporkan persoalan itu kepada instansi terkait dan membantu mencarikan solusinya.
Dengan demikian partai politik hadir setiap hari dan selalu siap membantu kepentingan rakyat setiap saat.
Di Indonesia partai politik di level desa dan kecamatan hanya ada papan namanya saja.
Itu pun hanya partai-partai tertentu saja.
Para aktivis partai hanya muncul lima tahun sekali ketika ada pemilu.
Karena itu, mereka terputus dari rakyat dan tidak memperoleh kepercayaan dari rakyat.
Itulah sebabnya para kandidat membentuk tim sukses sendiri terlepas dari jaringan partai.
Aspinall dan Berenschot menemukan bahwa tim sukses inilah yang aktif melakukan penggalangan massa, melakukan pendataan dan canvassing dari rumah ke rumah.
Tim sukses inilah yang bertugas menyediakan dan membagi uang untuk memastikan kemenangan kandidatnya.
Praktik ‘’serangan fajar’’ menjadi hal yang jamak dalam perhelatan politik di Indonesia di berbagai level.
Tim sukses dan tim relawan ini yang menjadi pendukung utama calon yang menang.
Mereka juga mendapatkan reward politik dengan menduduki jabatan politik dan menerima proyek-proyek setelah kandidatnya menang.
Tim sukses dan tim sukarelawan lebih dipercaya ketimbang jaringan partai politik.
Itulah sebabnya sampai sekarang Jokowi masih memelihara bekas tim suksesnya dan mewadahinya dalam berbagai organisasi sukarelawan. Organisasi sukarelawan Jokowi ini menjadi ‘’pseudo-parpol’’ yang sekarang berfungsi ala parpol menjaring bakal calon presiden yang bakal dimunculkan pada perhelatan 2024.
Organisasi sukarelawan bukan partai politik, tetapi lebih powerful ketimbang partai politik.
Sangat mungkin organisasi sukarelawan ini akan memainkan peran penting untuk menentukan siapa yang bakal menjadi presiden pada 2024.
Tidak ada yang mustahil di negeri amplop.
Apa saja bisa terjadi di negeri amplop.
Seperti bait terakhir puisi Gus Mus: Di negeri amplop, amplop-amplop mengamplopi apa saja dan siapa saja. (*)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror