Negeri Auto Pilot atau Sopirnya Mabuk?

Kamis, 26 Januari 2012 – 11:41 WIB

jpnn.com - PEMIMPIN yang doyan nyanyi-nyanyi ternyata bisa menimbulkan malapetaka. Kapal pesiar besar nan mewah Costa Condordia, yang dua pekan lalu nabrak terumbu karang di lepas pantai Italia hingga kandas dan terbalik, gara-gara Francesco Schettino, sang nakhoda, asyik nyanyi di bar bersama Dominica Cemorman, teman kencannya.

Mudah dibayangkan, sebelum kapal oleng, Sang Nakhoda pasti sedang menikmati puji-pujian karena suaranya. Mungkin ada juga yang menyuruh membuat album lagu seperti Yudhoyono, Presiden RI. Tak perduli pada nasib ribuan penumpang yang semula ingin senang-senang tapi akhirnya harus cemas karena maut mengintai.

Bagi yang suka mengumpamakan Indonesia sebagai kapal besar, tentu saja kejadian yang menimpa Costa Condordia bikin perut mereka mual. Soalnya sang nakhoda, Presiden Yudhoyono, juga senang nyanyi seperti Francesco Schettino. Padahal cuaca (ekonomi, politik, keamanan) di dalam dan luar negeri sedang bermasalah.

Selain kapal, ada juga yang menganggap Indonesia sebagai pesawat. Menjelang kejatuhan Orde Baru, istilah “tinggal landas” sangat populer karena pemerintahan Soeharto sangat yakin tak lama lagi (perekonomian dan tingkat kesejahteraan rakyat) Indonesia akan terbang seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapur dan Malaysia.

Pada awal 1997 itu, perekonomian rezim Soeharto memang banyak dipuji lembaga asing. Termasuk Bank Dunia dan IMF. Bahkan negara-negara asing yang banyak merampok kekayaan negara kita meramalkan Indonesia bakal menjadi salah satu “macan Asia”.

Seperti rezim Yudhoyono sekarang ini, pemerintahan Soeharto juga terbuai oleh puja-puji pihak asing. Akibatnya, mereka terlena, lalu tembok kekuasaan yang dibangun puluhan tahun itu pun akhirnya rontok secara tragis.

Soeharto cukup beruntung karena waktu tren mengadili dan menghukum pemimpin yang menyimpang belum muncul seperti sekarang. Sehingga nasibnya jauh lebih baik jika dibandingkan Saddam Hussein, Khaddafi atau Hosni Mubarak.

:TERKAIT Tapi benarkah Indonesia sebagai negara-bangsa bisa diibaratkan pesawat? Kalau melihat opini yang berkembang luas di masyarakat, kita memang seperti berada di dalam pesawat. Tapi diset “auto pilot” karena “pilotnya lagi asyik sendiri” menikmati kemewahan di kokpit. Atau, jangan-jangan pilotnya terkunci di toilet seperti dialami pesawat komersial Delta yang terbang dari North Carolina menuju New York, AS akhir November tahun lalu.

Melihat kondisi bangsa yang semerawut seperti sekarang ini, di mana masyarakat menghadapi sendiri persoalan hidupnya, bahkan tak jarang malah harus  berhadapan dengan aparatur negara dengan bertaruh nyawa, republik ini memang seperti tak ada yang mengendalikan.

Lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif , asyik-asyik sendiri setelah menggasak uang negara. Lalu di mana Yudhoyono yang kepala negara merangkap presiden?

Itulah sebabnya ratusan mahasiswa yang geram, yang menamakan dirinya Geruduc (Gerakan Rakyat untuk Duduki Cikeas) menggelar aksi di komplek rumah Presiden Yudhoyono yang megah. Di hadapan ribuan polisi dan Paspampres, mereka menggelar poster dan spanduk berbunyi: Negeri auto pilot tak perlu presiden. SBY lebih baik di rumah saja.

Ada juga spanduk bertulis: Karena tidak menjalankan kewajibannya sebagai presiden, stop gaji dan fasilitas SBY. Ada lagi: SBY, tak ada gunanya bagi rakyat. Karena itu, bagi mereka, SBY sudah tak perlu lagi ke Istana, karena hanya bikin macet jalanan saja.

Tapi menurut teman saya Sri Palupi, ketua Institute for Ecosoc Righs, Yudhoyono itu pilot andal. Cuma yang diterbangkan pesawat yang salah karena penumpangnya adalah pengusaha asing, koruptor, para komprador dan kroni-kroninya sendiri. Sedangkan rakyatnya ditinggal di landasan yang diguyur hujan badai…

Makanya, teman saya yang Tionghoa makin cemas. Apalagi pada malam tahun baru Imlek 2563 tak ada hujan sama sekali. Padahal bagi masyarakat Tionghoa, hujan di tahun baru indikator adanya berkah.

“Malah memasuki Tahun Naga Air kita dikejutkan oleh ulah sopir mabuk (Apriyani Susanti) yang nabrak belasan orang di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat. Kejadian ini pasti bikin pening orang yang gemar angka “9” (sembilan) karena dari belasan yang diterjang Xenia hitam ini, yang tewas sembilan orang,” katanya.

Jadi apakah ini negeri auto pilot atau sopirnya sedang mabuk? Teman saya bertanya. Tugas Anda menjawabnya. [***]


BACA ARTIKEL LAINNYA... Titik Api Sondang

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler