Netralitas Koes Plus dan Rasa Gemas Yok Koeswoyo dalam 'Kolam Susu'

Rabu, 27 Januari 2021 – 21:12 WIB
Yok Koeswoyo dan Harry Tjahjono. Foto: dokumentasi pribadi Harry Tjahjono untuk JPNN.Com

jpnn.com - Pemerhati musik yang juga seniman Harry Tjahjono menduga salah satu personel Koes Plus Yok Koeswoyo sedang gemas dengan kondisi Indonesia saat ini.

Penilaian Harry itu didasari video tentang Yok menyanyikan lagu Kolam Susu dengan lirik baru yang sarat sindiran.

BACA JUGA: Yok Koes Plus Ubah Lagu Kolam Susu Jadi Begini, Ada Apa Gerangan Ini?

“Ya, Koes Plus gemas, lihat revisi liriknya, tanah surga yang salah kelola," ujar Harry dalam perbincangan dengan JPNN.com belum lama ini.

Sebelumnya Yok dalam sebuah video yang viral melantunkan lagu Kolam Susu dengan mengubah liriknya. Versi baru lirik lagu kondang Koes Plus itu ialah:

BACA JUGA: Spirit Lagu Koes Plus dalam Safari Politik PDIP di DKI

Bukan lautan hanya kolam lumpur
Kail dan jala sudah banyak yang nganggur
Tiada ikan tiada udang kau temui
Semuanya sudah habis dicuri

Menurut Harry, Koes Plus sebenarnya dikenal netral secara politik. "Dari dulu Koes Plus netral, tidak pernah partisan dengan pihak tertentu,” katanya.

BACA JUGA: Yok Koeswoyo Pengin Ada Regenerasi Koes Plus

Harry menambahkan, Koes Plus lahir di era Orde Lama di bawah Bung Karno. Pemerintahan saat itu melarang band Tanah Air memainkan lagu-lagu Barat bercorak rock and roll.

Kala itu Bung Karno menyebut lagu rock and roll seperti karya The Beatles maupun Elvis Presley sebagai musik 'ngak ngik ngok' yang mencerminkan kepanjangan neokolonialisme. "Akibatnya Koes Plus ditangkap dan dipenjarakan waktu itu,” kata Harry.

Namun, Harry menyebut Yok menganggap demokrasi saat ini sudah kebablasan. Di sisi lain saat ada demokrasi, kekayaan alam justru diobral, sementara korupsi menjadi-jadi.

Harry menduga kondisi itu pula yang mendorong Yok Koeswoyo menyuarakan kegelisahannya melalui lirik baru lagu Kolam Susu. "Jiwa seniman Mas Yok sepertinya bergemuruh melihat keadaan sekarang," ulas Harry.

Koes Plus berawal ketika putra-putra R Koeswoyo membentuk band bernama Koes Bersaudara pada 1969 di Kelurahan Sendangharjo, Tuban, Jawa Timur. Saat pertama terbentuk, Koes Bersaudara diawaki Tony Koeswoyo (lead guitar), Yon Koeswoyo (vokal), Yok Koeswoyo (vokal dan bas gitar), serta Nomo Koeswoyo (drum).

Kala itu Koes Bersaudara memainkan lagu-lagu rock 'n roll. Nasib membawa Koes Bersaudara hijrah ke Jakarta dan menjadi figur idola anak-anak muda zaman itu.

“Waktu itu rambut gondrong dan memainkan lagu-lagu Barat dilarang, sedangkan Koes Bersaudara selain semuanya berambut gondrong,  juga membawakan lagu-lagu The Beatles,” ujar Harry.

Koes Bersaudara melahirkan sejumlah hit. Di antaranya Dara Manisku, Pagi yang Indah, dan Bis Sekolah.

Pada 1 Juli 1965, Komando Operasi Tertinggi (KOTI) menangkap Tony, Yon, dan Yok Koeswoyo. Ketiganya dijebloskan ke Penjara Glodok, Jakarta.

Namun, justru dari Penjara Glodok itulah Koes Bersaudara melahirkan sejumlah hit seperti Di Dalam Bui, Jadikan aku Dombamu, dan Balada Kamar 15.

Sebelum pecah peristiwa G30S/PKI, Koes Bersaudara dibebaskan begitu saja tanpa alasan yang jelas.

Perpecahan di tubuh Koes Bersaudara terjadi saat Yok dan Nomo memutuskan keluar. Selanjutnya, Tony dan Yon sebagai personel yang tersisa melanjutkan kiprah dengan mengibarkan bendera Koes Plus.

Nama 'Plus' dipakai karena masuknya Kasmuri atau Murry (drum) dan Totok AR (bas) yang notabene bukan anggota keluarga Koeswoyo. Dari situlah muncul nama Koes Plus.

Menurut Harry, kekuatan lagu-lagu Koes Plus karena terinspirasi pengalaman pribadi. Sebagai contoh ialah lagu Kembali ke Jakarta.

"Memang kisah mereka yang sempat balik ke Tuban, Jatim, kemudian memutuskan berkarier lagi di Jakarta. Begitu juga Kisah Sedih di Hari Minggu dan banyak lagi,” katanya.

Pada 1981, Harry pernah menulis sejumlah lagu untuk Yon Koeswoyo. Di antaranya ialah Lestari, Lantaran, Jakarta, dan Indahnya Kasih.

Pada 2009, Harry menciptakan lagu Orang-Orang Tikungan Jalan yang juga dinyanyikan Yon Koeswoyo. Tak hanya itu, pada era 1990-an Harry pernah dipercaya menulis skenario untuk film tentang Koes Plus.

Namun, biopik itu batal dibuat. “Tahun 90-an itu saya dibayar 150 juta hanya nulis skenario filmnya, tetapi gagal diproduksi karena copyright (hak cipta, red) yang susah,” kenang Harry.

Lebih lanjut Harry menuturkan kesulitan mengurus copyright itu. Menurutnya, semua ahli waris personel Koes Plus punya hak atas copyright lagu-lagu band yang tak hanya memainkan rock and roll dan pop, tetapi juga keroncong, dangdut serta kasidah itu.

“Ini kan band keluarga. Produser harus dapat izin dari semua ahli warisnya dari beberapa keluarga. Ini yang rumit, walau skenarionya sudah jadi dan saya sudah dibayar, tetapi batal diproduksi,” tuturnya.(dmr/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler