Nevi Zurairina: Holdingisasi PLTP di Bawah PGE Tidak Tepat

Senin, 09 Agustus 2021 – 23:25 WIB
Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuarina. Foto: Humas FPKS DPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI Hj Nevi Zuairina menyikapi rencana pemerintah untuk melakukan holdingisasi PLTP dan holdingisasi PLTU serta melanjutkannya dengan IPO.

Dia menyetujui rencana ini, namun ada hal yang ia anggap janggal sehingga mesti dilakukan berbagai pertimbangan. Persoalan mendasarnya, perusahaan Holding yang semestinya di amanatkan kepada PLN, tetapi ini malah diserahkan pada Pertamina Geothermal Energy (PGE) sebagai perusahaan Holdingnya.

BACA JUGA: Rini Soemarno Kok Tak Minta Pendapat DPR Soal Holdingisasi BUMN?

“Minimal ada tiga hal kenapa bukan PGE yang mesti menjadi Holding, tetapi seharusnya PLN,” kata Nevi dalam siaran pers pada Jumat (6/8) lalu.

Alasan pertama, menurut Nevi, PGE masih baru, sekitar tahun 2006 berdiri. Kekuatan manajemennya dalam menguasai bisnis dan operasional masih meragukan untuk mengemban holding.

BACA JUGA: DPR Minta Holdingisasi Tunggu Revisi UU BUMN

Kedua, pembangkit listrik panas bumi ini mahal investasinya yang mesti dijaga asetnya tetap milik pemerintah. Jika melakukan IPO, aset berharga ini akan dimiliki swasta.

Alasan ketiga adalah regulasi EBT pada RUU energi baru terbarukan (RBT) yang digogok di DPR RI masih berpolemik terutama pada Pasal 40 ayat (1) yang berbunyi "Perusahaan listrik milik negara wajib membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari Energi Terbarukan".

Selain itu, Pasal Pasal 51 ayat (4) yang berbunyi "Dalam hal harga listrik yang bersumber dari Energi Terbarukan lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan pembangkit listrik perusahaan listrik milik negara, Pemerintah Pusat berkewajiban memberikan pengembalian selisih harga Energi Terbarukan dengan biaya pokok penyediaan pembangkit listrik setempat kepada perusahaan listrik milik negara dan/atau Badan Usaha tersebut.”

Nevi menguraikan, proyek pengembangan lapangan panas bumi di tiga lapangan yaitu Bukit Daun (Bengkulu), Gunung Lawu dan Seulawah (Aceh), semua lapangan tersebut masih dalam tahap pemboran sumur eksplorasi dan belum sampai pada tahap produksi listrik.

Dari segi pengalaman, PGE ini kurang layak untuk menjadi holding karena masih terlalu awal dan kurang pengalaman sehingga manajemennya belum piawai dalam menghadapi berbagai persoalan bisnis dan operasional. Banyak pihak yang kahwatir dan ragu, apakah holding tenaga panas bumi ini nantinya akan lebih baik dan efisien atau tidak.

Sementara PLTP yang akan diakuisisi ini telah beroperasi dan terbukti telah memberikan manfaat kepada jaringan listrik nasional.

Politikus PKS ini melanjutkan RUU EBT, jangan sampai memuluskan jalan swasta untuk membuat pembangkit listrik dengan tenaga EBT yang sekarang ini memang harga produksinya masih di atas BPP listrik (misalnya tenaga panas bumi dan tenaga angin) dengan memanfaatkan kewajiban PLN untuk membeli listrik tersebut (skema take or pay) dan selisih biaya produksinya akan ditanggung oleh Pemerintah (subsidi EBT).

BUMN dan anak BUMN seperti PLN, Geo Dipa dan Indonesia Power mesti menjadi pengendali aset dan kegiatan utama untuk menjalankan semua bisnis proses Perusahaan Listrik Tenaga Panas Bumi.

“Fraksi kami ini tidak menolak Holdingisasi. Tapi Menolak kenapa holding ini ke PGE bukan ke PLN. Dan, terkait IPO aset-aset pembangkit listrik tenaga panas bumi, Fraksi PKS sangat menolak dengan tegas. PLTP yang sudah operasional ini seharusnya tetap menjadi milik BUMN dan listriknya menjadi hak rakyat untuk menikmatinya,” ujar anggota Fraksi PKS ini.

Nevi meminta kepada pemerintah agar menjaga etos dan semangat kerja PLN untuk terus membangun pembangkit listrik EBT baru dalam rangka meningkatkan bauran EBT nasional.

Ini saatnya PLN untuk memanfaatkan tenaga solar yang sudah sangat ekonomis secara maksimal. Jangan malah merusak suasana dengan menjual aset PLTP milik BUMN yang sangat berharga itu.

Hal yang mesti segera diperbaiki, menurut Nevi,  adalah model kontrak take or pay (TOP). Di kontrak disyaratkan sekitar sekian persen dari produksi listrik dari pembangkit swasta tsb harus dibeli PLN (take or pay).

Kalau tidak dibeli maka PLN kena denda. Dengan model ini ketika permintaan masyarakat akan listrik rendah maka terpaksa  didahulukan dioperasikan pembangkit swasta agar PLN terhindar dari denda.

Menurut Nevi, model kontrak seperti ini mesti diganti dengan take and pay (TAP), dan kalau swasta tidak memenuhi kontrak juga kena denda.

Tenaga listrik termasuk ke dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dan, tenaga listrik juga erat kaitannya dengan pertahanan dan keamanan negara sehingga berdasarkan Pasal 77 UU Nomor 19 Tahun 2003, BUMN yang bergerak di bidang ketenagalistrikan termasuk kepada Persero yang tidak dapat diprivatisasi.

Nevi berharap semua kebijakan pemerintah ini mesti berpihak kepada rakyat banyak. Hitung simulasinya mesti memasukkan komponen apa akibat buat rakyat banyak, sehingg jangan sampai nantinya ada kerugian bagi masyarakat banyak.(jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur : Friederich
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler