JAKARTA--Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) bersama dengan organisasi profesi kesehatan lainnya meminta Presiden SBY dan Kementerian Keuangan meninjau kembali besaran premi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dijalankan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan memperhatikan rekomendasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
“Kami meminta kepada Presiden untuk meninjau premi BPJS, lebih tepat hitungan Kemenkeu ataukah DJSN? ,” ujar Sekretaris Jenderal Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Nurul Falah, di sela-sela acara Seminar "Positioning Apoteker Dalam Penjaminan Cost-effectiveness Pengobatan di Era SJSN” di Jakarta, Rabu (4/4).
Menurutnya, besaran premi Rp 15.500 yang ditetapkan Kemenkeu, membuat resah berbagai pihak yang nanti terlibat dalam implementasi SJSN, seperti dokter, tenaga kesehatan dan profesi lainnya termasuk apoteker.
Rendahnya premi itu dikawatirkan akan berdampak besar terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia.
“Walaupun belum ditetapkan, hal ini menunjukkan Kementrian Keuangan kurang tepat penghitungannya. Karena, sesuai dengan rekomendasi DJSN yang sangat memahami masalah ini sebesar Rp 27 ribu. Makanya, IAI dan profesi kesehatan lainnnya seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) jadi bingung menghitungnya kalau dengan premi sekecil itu,” lanjutnya.
Terkait hal itu, IAI sudah mengadu ke DPR namun belum mengetahui sejauh apa prosesnya. Karenanya pihaknya berharap, pengganti menteri keuangan yang baru nanti bisa menghitungnya dengan lebih baik.
"Paling tidak, tolong didengarkan masukan DJSN. Karena harusnya SJSN itu membuat semua pihak senang. Masyarakat yang menikmati senang, tenaga kesehatan yang melayani mestinya juga senang, tenaga yang melakukan administrasi juga senang," harapnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Harian IDI dr Zainal Abidin juga keberatan atas besaran premi SJSN. IDI mengharapkan agar pemerintah cq Kementerian Keuangan tidak terlalu pelit menalangi premi masyarakat miskin.
Selain IDI, Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) mengalami dilema menghadapi implementasi SJSN karena rendahnya besaran premi. Sebab, RS swasta tidak mendapat subsidi dari pemerintah. (Esy/jpnn)
“Kami meminta kepada Presiden untuk meninjau premi BPJS, lebih tepat hitungan Kemenkeu ataukah DJSN? ,” ujar Sekretaris Jenderal Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Nurul Falah, di sela-sela acara Seminar "Positioning Apoteker Dalam Penjaminan Cost-effectiveness Pengobatan di Era SJSN” di Jakarta, Rabu (4/4).
Menurutnya, besaran premi Rp 15.500 yang ditetapkan Kemenkeu, membuat resah berbagai pihak yang nanti terlibat dalam implementasi SJSN, seperti dokter, tenaga kesehatan dan profesi lainnya termasuk apoteker.
Rendahnya premi itu dikawatirkan akan berdampak besar terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia.
“Walaupun belum ditetapkan, hal ini menunjukkan Kementrian Keuangan kurang tepat penghitungannya. Karena, sesuai dengan rekomendasi DJSN yang sangat memahami masalah ini sebesar Rp 27 ribu. Makanya, IAI dan profesi kesehatan lainnnya seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) jadi bingung menghitungnya kalau dengan premi sekecil itu,” lanjutnya.
Terkait hal itu, IAI sudah mengadu ke DPR namun belum mengetahui sejauh apa prosesnya. Karenanya pihaknya berharap, pengganti menteri keuangan yang baru nanti bisa menghitungnya dengan lebih baik.
"Paling tidak, tolong didengarkan masukan DJSN. Karena harusnya SJSN itu membuat semua pihak senang. Masyarakat yang menikmati senang, tenaga kesehatan yang melayani mestinya juga senang, tenaga yang melakukan administrasi juga senang," harapnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Harian IDI dr Zainal Abidin juga keberatan atas besaran premi SJSN. IDI mengharapkan agar pemerintah cq Kementerian Keuangan tidak terlalu pelit menalangi premi masyarakat miskin.
Selain IDI, Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) mengalami dilema menghadapi implementasi SJSN karena rendahnya besaran premi. Sebab, RS swasta tidak mendapat subsidi dari pemerintah. (Esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Luhut: Dakwaan Jaksa Dihancurkan Keterangan Saksi
Redaktur : Tim Redaksi