jpnn.com - MERUJUK buku Wage Rudolf Supratman, Sang Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang diterbitkan Museum Sumpah Pemuda, tulisan-tulisan WR Supratman di koran Sin Po-lah yang jadi bahan utama penulisan sejarah lahirnya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
=======
BACA JUGA: Bahan Pengawet Jasad Firaun Ternyata dari Sumatera
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
=======
BACA JUGA: Dokumen Penting! Inilah Undangan Menghadiri Rapat yang Melahirkan Sumpah Pemuda
Wage Rudolf Supratman belum lama jadi wartawan ketika Kongres Pemuda Pertama digelar di Batavia, 30 April-2 Mei 1926. Mulai dari persiapan, dan sepanjang kongres berlangsung, dia tak pernah absen liputan.
Diikutinya perdebatan antara M. Tabrani, Sanusi Pane dan Jamaluddin tentang gagasan M. Yamin mengusulkan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia.
BACA JUGA: Pustaha Laklak, Rahasia Pengobatan Batak
Menyimak perdebatan itu, sebagai wartawan WR Supratman berharap-harap pulang membawa berita besar; kongres pemuda memutuskan bahasa Melayu menjadi bahasa pemersatu, bahasa Indonesia.
Hanya saja, hingga kongres ditutup, tak ada yang diputuskan. "Perdebatan itu ditangguhkan hingga kongres pemuda selanjutnya," tulis Bambang Sularto dalam buku Wage Rudolf Supratman.
Titik Balik
Pun demikian, pengalaman meliput perhelatan yang digagas para pemuda itu, ternyata menjadi titik balik WR Supratman. Dia terpukau melihat pemuda-pemuda yang menyiapkan kongres bekerja sepenuh hati tanpa imbalan.
"Pengaruh semangat dan gairah kerja para tokoh pemuda itu nampak sekali dalam ia menjalankan tugasnya sebagai wartawan, ia dengan bersemangat selalu berusaha keras untuk mencari dan mendapatkan bahan berita serta laporan yang aktual lagi penting langsung dari tangan pertama," papar Bambang.
Bambang menceritakan, semenjak itu Supratman memperlihatkan kebolehannya dalam berburu dan meramu berita. Dialah yang paling lengkap menulis mengenai Kongres Pemuda Indonesia I di koran Sin Po.
Supratman pun pernah terlihat berpakaian kotor di pelabuhan Tanjung Priok. Setengah hari dia liputan berpanas-panasan di antara buruh bertelanjang dada yang sedang unjuk rasa menuntut kenaikan upah.
Lain waktu, dengan baju dekil dia berada di Pasar Ikan (sekitar Museum Bahari, Jakarta Kota) sedang mewawancarai para nelayan untuk mendapatkan berita mengenai praktek lintah darat yang dilakukan para juragan pemilik perahu.
Di lain kesempatan dia kelihatan berpakaian necis lengkap dengan dasi mencari berita di gedung Volksrad. Kadangkala ia muncul mengenakan jas, berdasi kupu-kupu, berpeci menghadiri sebuah acara.
Pertemuan dengan para pemuda pergerakan membuatnya jadi, "benar-benar mencintai pekerjaannya dan tidak lagi tertarik pada jabatan redaktur ataupun desk editor yang sehari-harinya lebih lebih banyak duduk di kantor," tulis Bambang.
Gerakan Bawah Tanah
Lebih dari itu, kongres pemuda pertama itu menginspirasinya mengarang lagu Indonesia Raya.
Sesudah kongres, karena sudah kenal dengan beberapa orang, paling tidak 3 kali seminggu WR Supratman bertandang ke Indonesisch Clubgebouw di Kramat 106, markas para pemuda. Sekarang tempat itu jadi Museum Sumpah Pemuda.
Di sinilah ia berkenalan dengan Sugondo Joyopuspito, sosok misterius yang menarik perhatiannya. Dia punya feeling lain terhadap Sugondo. Maklum naluri wartawan.
Sugondo tak lain kawan sepondokan Bung Karno waktu indekos di rumah HOS Cokroaminoto di Surabaya.
Berkali-kali Supratman mencoba mewawancari Sugondo, namun gagal. Sugondo memang sedang merancang gerakan bawah tanah.
Kelompok Sugondo tak menyukai pertemuan-pertemuan formal. Mereka lebih senang ngobrol dalam keadaaan santai. Bila ada orang lain datang, mereka kompak merubah topik pembicaraan menjadi guyonan-guyonan segar.
Suatu hari Sugondo terlihat nongkrong di Taman Forsberg, Gambir bersama Abdullah Sigit dan Suwiryo. Sekarang taman itu sudah tak ada.
Melihat itu, Supratman coba-coba mendekat. Di luar dugaan, dia dipersilahkan bergabung. Sugondo menyatakan dirinya mendapat kabar dari Tabrani tentang lagu kebangsaan yang dibuat Supratman. Dia meminta Supratman memainkan lagu itu di Kramat 106.
Supratman pandai pula merendah. Itu lagu biasa saja, bukan lagu kebangsaan, katanya. Dan Sugondo cs kompak menyatakan mereka yang akan mengakui lagu itu sebagai lagu kebangsaan. Mereka juga berjanji akan berdiri sebagai tanda hormat saat lagu itu disenandungkan. Supratman pun angkat janji, lagu akan dibawakannya saat ada momen penting di Kramat suatu hari nanti.
Di samping perbincangkan mengenai lagu yang baru saja digubahnya, kesempatan langka itu dimanfaatkan Supratman yang seorang wartawan untuk menggali informasi tentang gerakan pemuda.
Sugondo cs menceritakan, bahwa gerakan mereka hanya melanjutkan apa yang sudah dimulai para seniornya saat kongres pemuda pertama, yakni mewujudkan gagasan persatuan Indonesia.
Berapa waktu kemudian, saat ada rapat pemuda di Kramat pada bulan Agustus 1926, Supratman dipersilahkan hadir sebagai pendengar.
Apa yang dibicarakan dalam rapat, muncul di koran Sin Po, edisi 15 Agustus 1926. WR Supratman cukup detail memberitakan kemajuan gerakan pemuda paska Kongres Pemuda I.
Dia pikir dia sudah dapat kunci masuk ke kelompok bawah tanah pemuda. Ternyata tidak.
Suatu hari pada akhir Agustus 1926, Supratman melihat Sugondo cs sedang berkumpul di Kramat. Ada M. Yamin pula di sana. Berharap akan dapat berita bagus, begitu dia mendekat dan siap-siap melontar tanya, eeh....rombongan itu bubar meninggalkannya sendiri.
WR Supratman bukan wartawan yang gampang menyerah. Di hari-hari berikutnya dia masih saja mengikuti gerak-gerik Sugondo. Alhasil, September 1926 Sugondo mengajaknya bicara…
"Mas Pratman ini ada berita penting. Boleh disiarkan sekarang. Kami sudah sepakat mendirikan organisasi mahasiswa yang tidak bersifat kesukuan, namanya Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI)…"
Setelah panjang lebar dia bicarakan tentang organ yang baru lahir itu, Sugondo berkata, "cukup sekian dulu ya, maaf Mas Pratman, saya ada keperluan mendesak. Sampai jumpa," tulis Bambang Sularto dalam buku Wage Rudolf Supratman, berdasarkan keterangan langsung dari Sugondo.
Sesampai di kantor, Supratman langsung menulis berita itu dan menyerahkan naskahnya kepada Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi Sin Po. Setelah diedit Pak Pemred, berita itu dimuat di halaman utama.
Indonesia Raya
Sekian jurus kemudian, feeling WR Supratman jadi kenyataan. Sugondo memang sedang menyusun rencana besar, yakni Kongres Pemuda II.
Mengintip susunan panitia Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928 tersebut, nama Sugondo ada di paling atas.
Ketua: Sugondo Joyopuspito (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia, PPPI)
Wakil Ketua: Joko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond)
Bendahara: Amir Syarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I: Johan Moh. Cai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II: Kocongsungkono (Pemuda Indonesia)
Pembantu III: Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV: J. Leimena (Jong Ambon)
Pembantu V: Rohyani (Pemuda Kaum Betawi)
Dan di acara puncak kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda yang legendaris itu, Supratman menepati janji. Tak sekadar datang untuk meliput, dia melantunkan lagu Indonesia Raya.
Karena acara itu di bawah pengawasan polisi Hindia Belanda, senandung Indonesia Raya hanya diperdengarkan lewat gesekan biola WR Supratman. Tak ada gegap gempita syair Indonesia Raya…merdeka…merdekaaaa… (wow/jpnn)
(baca juga: Misteri Biola Kedua Di Sumpah Pemuda)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Majapahit (bukan) Kerajaan Maritim!?
Redaktur : Tim Redaksi