Night Club Mengubah Tujuan

Oleh Dahlan Iskan

Kamis, 20 Desember 2018 – 04:24 WIB
Dahlan Iskan di Lebanon. Foto: Instagram/dahlaniskan19

jpnn.com - Setelah mendarat di Beirut-lah saya baru bikin rencana: ke mana dulu.

Ke pusatnya Hisbullah? Yang dikategorikan organisasi teroris oleh Amerika Serikat itu?

BACA JUGA: Begitu Jarang Abaya

Ke Sabra Shatila? Kamp pengungsi Palestina yang dihancurkan Israel itu? Yang sudah lama saya baca buku kengeriannya itu? Karya dokter China yang jadi relawan Palestina itu?

Ke pusatnya Druz? Yang dianggap bukan Islam lagi itu?

BACA JUGA: Daripada Nostalgia

Ke pusat bisnis Beirut? Yang didesain ulang itu? Dengan konsep public private partnership itu? Yang kontroversial itu? Yang dulunya hancur akibat perang itu?

Ke Museum Khalil Gibran? Yang puisinya sering saya baca itu? Yang letaknya 3 jam di utara Beirut itu?

BACA JUGA: Ingat Anas, Shangrila dan Lijiang

Atau cari visa ke Syria dulu? Siapa tahu bisa masuk ke Damaskus? Yang jaraknya hanya tiga jam bermobil dari Beirut?

Akhirnya saya pilih tidur dulu. Ngantuknya bukan main.

Saya tidak perlu cari taksi. Sopir taksi yang mencari saya. Di kedatangan bandara Beirut. Yang melihat saya kelihatan bingung mau ke mana.

“Ke mana?” tanya sopir. Dalam bahasa Arab.

“Funduq,” jawab saya.

“Hotel apa?” tanyanya lagi.

“Hotel apa saja. Saya ngantuk sekali. Mau cepat tidur.”

“Yang bintang berapa?”

“Berapa saja. Bintang tiga boleh. Empat boleh. Jangan bintang lima.”

Itu jam lima pagi.

Masih gelap.

Sepi.

Dingin sejuk. Suhu 15 derajat.

Sepanjang penerbangan dari Qatar tadi saya tidak tidur. Empat jam setengah. Ngantuk-ngantuknya. Mestinya. Meski business class kursinya tidak bisa dibuat flat.

Tapi saya tidak ngantuk.

Banyak bacaan yang saya bawa: koran-koran Qatar. Juga New York Times. Dan Financial Times.

Juga karena tadi saya sempat tidur. Di bandara Qatar. Yang lounge first class-nya istimewa. Saya dapat rezeki. Tiket saya business class tapi dimasukkan lounge first class. Diberi kamar. Seperti hotel bintang lima. Dengan kamar mandi yang lux sekali.

Bisa tidur sebentar. Dan mandi. Dan makan. Dan lihat-lihat lobbynya yang semua kursinya sofa. Atau model bar.

Pukul 1 malam boarding. Pakai bus first class.

Di situlah saya berkenalan: dengan orang yang sudah sering ke Beirut. Tenang. Berarti Beirut aman.

Ia orang Oman. Bahkan kelahiran Lebanon. Eksekutif perusahaan telekomunikasi Qatar: Oredoo. Yang kini menjadi pemilik Indosat.

Ia tahu Indosat. Ia tahu Indonesia.

Ngobrol pun asyik. Bahkan ia beri saya nomor HP-nya. “Kalau ada kesulitan hubungi saya,” katanya.

Saya langsung punya kesulitan. Saya langsung minta tolong ia: minta difotokan di bus first class itu. Untuk pembaca disway.

“Datanglah ke Oman lagi,” pintasnya. Setelah saya mengaku pernah ke Oman. 40 tahun lalu.

“Semuanya sudah beda,” katanya.

“Hotel Intercontinental itu masih ada?” tanya saya.

“Masih. Tapi sudah lebih baru.”

Tentu masih ada yang tetap sama di Oman: Sultan Qabus. Pemimpin negara itu. Yang saat saya ke sana masih sangat muda.

Oleh sopir taksi ternyata saya dipilihkan hotel dekat pantai. Bintang empat. Tapi menurut penilaian saya itu bintang dua. Kalau dibandingkan dengan perbintangan hotel di Indonesia. Hanya harganya yang benar-benar bintang empat.

Tiba di hotel itu ternyata saya tidak jadi mengantuk. Begitu masuk lobby-nya yang sempit terdengar suara musik yang keras. Kelihatannya dari ruang bawah tanah. Di bawah lobby itu.

“Suara apa itu?” tanya saya.

Night club,” jawab petugas hotel.

“Masih buka? Ini kan sudah jam enam pagi?” tanya saya.

“Baru tutup nanti pukul tujuh,” jawabnya.

Hah?

Luar biasa Beirut ini. Night club-nya bukan sepanjang malam. Bahkan sampai jam 7 pagi.

Saya pun ingin melihatnya. Seperti apa night club-nya. “Jangan pada jam segini,” kata petugas itu. “Terlalu banyak orang mabuk,” tambahnya.

Saya tidak takut orang mabuk. Saya menuju pintu ke arah basement itu.

Saya buka pintunya. Belum kelihatan apa-apa. Hanya tangga menurun. Tapi gumpalan asap rokok langsung menerpa wajah saya. Dengan kuatnya. Dengan aroma menyengatnya.

Saya tertegun. Saya urungkan niat menuruni tangga itu. Saya ingat bahayanya asap rokok. Khususnya bagi saya. Yang masih harus minum obat setiap hari.

Tapi saya tidak mungkin bisa tidur. Oleh bunyi bas dan drum yang begitu berdegub. Saya longok jalan raya. Saya lihat pantai di kejauhan. Kok ada ramai-ramai di pantai itu.

Saya ke sana.

Oh ada maraton. Finisnya akan di situ. Semua pakai kostum Santa Claus. Termasuk para wanita yang berjilbab itu.

Rupanya ini dalam rangka hari Natal 2019. Itulah pertama kali saya ke pantai Beirut.

Ternyata tujuan pertama saya pantai. Bukan Hisbullah. Bukan Sabra Shatila. Bukan Khalil Gibran.

Gara-gara night club buka sampai pukul 7 pagi.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Empat Semester untuk Ajaran Bung Karno


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler