Nikah Dini Berbahaya

Jumat, 24 Mei 2013 – 06:55 WIB
Plt Kepala BKKBN DR Sudibyo Alimoeso MA. Foto: int
PRAKTIK pernikahan dini masih marak. Padahal, hal itu bisa membahayakan kesehatan reproduksi. Apa saja dampak negatifnya? Berikut petikan wawancara dengan Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga sekaligus Plt Kepala BKKBN DR Sudibyo Alimoeso MA.

Apa pendapat Anda soal maraknya pernikahan anak di bawah umur?

Kita seharusnya konsisten dengan UU Perlindungan Anak. Di dalam UU itu, semua pihak, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan orangtua, dilarang melakukan hal-hal antara lain menikahkan anak secara dini.

Kenapa tidak boleh?

Supaya anak bisa memperoleh hak-haknya secara baik. Sebab, masa depan anak itu bukan untuk masa depan orangtuanya sendiri.

Apa saja hak-hak anak itu?

Banyak ya. Di antaranya, hak untuk memperoleh pendidikan baik, mendapatkan pekerjaan layak, hak partisipasi, dan hak tumbuh kembang anak. Saya kira orangtua harus diberikan pemahaman secara luas mengenai hal itu. Anak juga perlu perlindungan dan bimbingan dengan baik.

Realitasnya masih banyak kasus yang merenggut hak anak?

Kita harus percaya bahwa masa depan bangsa ini terletak pada bagaimana kita mempersiapkan masa depan anak-anak. Pada 2020 kita dapat bonus demografi. Kalau masih banyak kasus seperti ini, pasti kita akan kesulitan dalam memanfaatkan bonus tersebut. Karena remaja-remaja sekarang inilah yang akan mengisi posisi tersebut.
Sekarang ini, karena ada impitan ekonomi, orangtua ingin melepaskan tanggung jawabnya, anak akhirnya langsung dikawinkan. Padahal belum tamat SMA. Ini berat bagi anak kalau perkawinan itu tidak permanen. Kalau berdasarkan nikah siri, kawin sebagai istri simpanan, kawin karena anaknya ingin ‘berbakti’ kepada ortunya dengan menuruti kemauan orangtua, saya kira ini akan merugikan si anak. Kalau sekolah putus di tengah jalan akan berat bagi anak untuk melangsungkan hidup ke depan. Transisi anak ke remaja itu akan hilang.

Apa saja transisinya?

Ada lima transisi yang harus dilalui dengan baik. Pertama, dapat pendidikan yang baik. Bagaimana dapat pendidikan yang baik kalau lulus SMP saja sudah dikawinkan. Kalau sudah hamil, sekolah kan biasanya tidak mau menerima. Akhirnya terjadi putus sekolah. Kedua, memperoleh pekerjaan layak. Karena sudah putus sekolah dan kualitasnya rendah tentu akan akan sulit mendapat pekerjaan layak. Kalau dia terhimpit ekonomi dan tidak punya keahlian apa-apa larinya akan ke hal-hal kurang baik.
Ketiga, membentuk keluarga yang baik. Bagaimana bisa membuat keluarga yang baik kalau punya pengalaman buruk seperti itu. Keempat,  bermasyarakat dengan baik. Kalau membentuk keluarga yang baik saja susah apalagi bermasyarakat dengan baik. Inilah yang akhirnya mengganggu masa depan. Kelima, berperilaku kehidupan yang sehat dalam sehari-hari. Ini sulit kalau mereka masih dalam situasi seperti itu tadi.

UU Perlindungan Anak dan UU Perkawinan sendiri tidak ada harmonisasi?

Betul itu. Dalam UU Perlindungan Anak itu sudah bagus karena anak hingga 18 tahun. Paling tidak anak sudah sekolah minimal tingkat SMA. Tapi di lain pihak UU Perkawinan masih memungkinkan anak usia di atas 16 tahun untuk menikah.

Berarti perlu diuji materi?
Ya ini butuh pembahasan panjang. Ini sensitif karena sudah menayngkut keagamaan. Ini akan menjadi perdebatan alot. Tapi kita harus sepakat bahwa usia anak dinaikkan 18 tahun itu bagus. Pertama, lulus SMA itu lebih bagus. Kedua, secara emosional menjadi lebih dewasa dan lebih bagus. Ketiga, secara fisik dan kesehatan sudah memungkinkan. Karena anak-anak yang hamil itu berbahaya.

Bahayanya?
Pertama, reproduksinya belum siap. Itu akan membahayakan nyawa ibu. Kedua, dari penelitian disebutkan pada usia dini kehamilan ada kecenderungan bayi dilahirkan dalam keadaan berat badan rendah. Sebab, anak-anak masih dalam tahap pertumbuhan itu sama-sama butuh gizi. Jadi ujung-ujungnya angka kematian ibu dan bayi sulit diturunkan. Apalagi kalau kehamilannya tidak dikehendaki. Misalnya, istri disimpan. Tidak hamil dulu sampai nunggu sekolah selesai. Nah ketika tiba-tiba hamil, maka kecenderungannya akan diaborsi. Selain secara legal tidak dimungkinkan, hal itu juga membahayakan nasib ibu.

Apa pesan BKKBN?
Masalah kesehatan reproduksi ini jangan dianggap barang tabu lagi dan perlu disosialisasikan secara luas. BKKBN sudah melaksanakan sosialisasi itu. Supaya orangtua dan anak itu tahu kesehatan reproduksi secara lebih awal. Kalau sudah tahu akan melakukan reproduksi secara sehat dan bertanggung jawab. Kalau seandainya ada paksaan dari ortu, anak bisa memberikan argumentasi seperti ini. Meski keputusannya kembali kepada keluarga tapi setidaknya bisa memberikan pemahaman kepada ortu. (fdi)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kita Nggak Main-main

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler