RATUSAN calon guru dari Surabaya rela mengabdikan diri di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Inilah catatan wartawan Jawa Pos RUKIN FIRDA yang belum lama ini mengujungi sebagian di antara mereka di Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku.
Sekilas wajahnya mirip penyanyi Sammy Simorangkir. Suaranya juga merdu. Maklum saja, pemuda kelahiran Balikpapan itu adalah vokalis, front man, sekaligus pentolan band D"minor 7. Grup band asal Surabaya tersebut pernah memenangi talent scouting yang digagas gitaris Padi, Piyu.
Berkat prestasi itu, Noval Dwi Cahyono, pemuda tersebut, berkesempatan pentas tur ke beberapa kota. Salah satu single-nya masuk album kompilasi.
"Kami juga menggarap album indie atas arahan Mas Piyu," kata Noval lembut, jauh dari kesan anak band.
Prestasi itu pula yang membuat dia sering ditanggap tampil di kafe-kafe dan hotel-hotel. Dalam waktu singkat, Noval akrab dengan gemerlap panggung dan kehidupan malam. "Mau tidak mau kuliah pun terganggu," kata sarjana pendidikan sendratasik (seni drama, tari, dan musik) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu.
Tapi, kini dunia hiburan tersebut harus ditinggalkan. Minimal untuk sementara waktu. Sebab, sejak Oktober 2012 Noval mengabdikan diri menjadi guru di SMA Negeri I Tepa, Pulau Babar, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD). Pulau itu berhadapan langsung dengan Benua Australia. Pulau kecil tersebut hanya bisa didatangi dengan alat transportasi laut selama berhari-hari.
"Meski berada di pulau terpencil, saya merasakan kenikmatan batin saat mengajar," kata pemuda 24 tahun itu.
Kalau dulu saat malam tampil di kafe atau pub, kini Noval menghabiskan waktu malam untuk memberikan pelajaran tambahan kepada siswa-siswinya. Atau, dia mengajar anak-anak membaca Alquran di masjid satu-satunya di pulau itu.
"Saya merasakan kedamaian saat berbagi ilmu," kata Noval yang pernah masuk 50 besar Indonesia Idol Regional Surabaya tersebut.
Kehidupan pribadinya berubah total setelah Noval bergabung dalam program SM-3T (sarjana mendidik di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal). Program Kemendikbud tersebut dijalankan almamaternya, Unesa.
Meski bertekad mengabdikan diri sebagai pendidik di daerah terpencil, Noval sempat cultural shock. Itu terjadi ketika dia baru menginjakkan kaki di pulau berpenduduk 8.640 jiwa (berdasar sensus 2010) itu. Dia seperti lahir kembali. Semua yang dilihatnya sangat berbeda dan bertolak belakang dengan kehidupannya di Surabaya sebelumnya. "Perasaan saya bercampur antara kagum dan takut," kenangnya.
Satu jam pertama di pulau itu membuat semangatnya luruh. Noval sempat ragu untuk menjalani program menjadi guru selama setahun itu. Namun, kondisi pendidikan di tempatnya mengabdi membuatnya prihatin. Sebab, tak banyak guru yang mau ditugaskan di pulau tersebut. Kalau toh ada yang mau, mereka umumnya dipaksakan. Mereka hanya lulusan SMA dan dipaksa menjadi guru SD atau SMP.
Di sisi lain, warga setempat sangat berharap anak-anaknya dapat mengenyam pendidikan yang layak. Karena itu, saat mendengar ada kiriman guru dari Jawa, mereka dengan sukacita menyambutnya. "Apa pun, inilah dunia saya sekarang. Saya akan menikmatinya," tutur Noval.
Lain lagi kisah Nanda Okkyanti, sarjana PGSD (pendidikan guru sekolah dasar) Unesa yang ditugaskan menjadi guru di SD Kristen Mahaleta di Pulau Sermata, Kecamatan Mdona Hyera. Pada bulan-bulan tertentu, pulau itu terisolasi dari dunia luar karena tidak ada sarana transportasi sama sekali. Isolasi tersebut bisa berlangsung berbulan-bulan.
"Sejak bertugas di sini Oktober tahun lalu, inilah kali pertama saya bisa keluar dari Sermata," kata Nanda saat bertemu Jawa Pos pertengahan April lalu di Kampung Tepat, Pulau Babar.
Nanda mengaku tertarik mengikuti program SM-3T karena ingin "balas dendam". Dia ingin membuktikan kepada teman-temannya yang mengolok-olok bahwa dirinya tidak layak menjadi guru yang idealis. "Penampilanmu kayak gitu kok mau ikut program SM-3T. Gak idealis blas," tuturnya.
Olok-olok tersebut begitu membekas di hati dan memorinya. Karena itu, dia ingin membuktikan bahwa cemoohan tersebut salah besar. Selain itu, dia sudah lama memimpikan untuk bisa menjadi pendidik di SD terpencil. "Rasanya wow banget bisa menjadi guru di pedalaman seperti ini," tambahnya.
Nanda sangat bersyukur karena mimpinya terwujud. Dia bertugas di pulau terpencil dan terisolasi, namun memiliki kondisi alam yang begitu elok. "Allah mendengar khayalan saya," kata perempuan penggemar dunia fotografi tersebut.
Ketika mendengar adanya program tersebut kali pertama, Nanda sempat ragu. Pasalnya, saat itu dia masih belum menyelesaikan kuliah. Namun, berkat olok-olokan teman-temannya itulah, dia jadi terpacu untuk menyelesaikan kuliah agar bisa mengikuti program tersebut.
"Sampai saat ini saya masih seperti mimpi, menjadi guru bagi anak-anak di daerah terpencil. Anak-anak hitam manis berambut keriting seperti saya," papar Nanda yang memang berambut keriting dan berkulit agak gelap itu.
Meski warga menyambut dengan sukacita, ada pula yang kecewa. Yakni, warga di Pulau Marsella. Pulau itu termasuk menjadi salah satu daerah tujuan program di Kabupaten MBD. Pulau lainnya adalah Babar, Madona Hyera, Moa Lakor, dan Wetar. Program SM-3T Unesa menyiapkan 31 sarjana yang akan diterjunkan di pulau-pulau tersebut.
Namun, karena sulitnya koordinasi dengan Pemkab MBD, Unesa sebagai penyelenggara memutuskan hanya menempatkan para sarjana di Babar dan Mdona Hyera. Mereka yang semula ditempatkan di pulau lain dipindah ke dua lokasi tersebut. Termasuk, Noval dan Romlah, alumnus PGSD Unesa.
Semula Romlah ditempatkan di Pulau Marsella. Ketika kapal yang ditumpangi Romlah sandar di Tepa untuk menurunkan peserta yang bertugas di Babar, seorang bapak naik ke kapal. Lelaki berjaket lusuh dan bertopi tersebut ternyata kepala SD yang ditugasi menjemput guru-guru SM-3T yang bertugas di Pulau Marsella. "Saya ke sini untuk menjemput Ibu Guru Romlah," teriak lelaki itu seperti ditirukan Romlah.
Persoalannya, karena alasan koordinasi yang buntu dengan pihak Pemkab MBD, Romlah tak jadi ditempatkan di Pulau Marsella. Namun, informasi itu ternyata tak sampai di telinga warga Marsella.
Menghadapi bapak tersebut, Romlah hanya menangis seraya memohon maaf. Apalagi, ketika mendengar penuturan sang bapak bahwa dialah satu-satunya guru di sekolah yang terdiri atas enam kelas tersebut.
Tangis Romlah semakin menjadi-jadi ketika sang bapak menceritakan bahwa dirinya tidak datang sendiri. Beberapa warga desa dan siswa sekolah turut datang ke Tepa secara khusus untuk menyambut Ibu Guru Romlah.
Bersama rekan-rekannya, Romlah akhirnya memutuskan untuk turun dari kapal menemui warga. Dia berniat menyampaikan permohonan maaf karena tidak jadi ditugaskan di Marsella.
Penjelasan itu membuat Dermaga Tepa serasa diguyur hujan tangis. Tidak hanya tangis Romlah yang semakin menjadi, tapi juga tangis warga dan siswa yang kecewa karena keinginannya untuk mendapatkan guru tidak jadi terlaksana.
Romlah bisa memahami kekecewaan mereka. Datang menjemputnya ke Tepa yang berada di ujung barat Pulau Babar bukanlah perjalanan yang mudah dan murah. Pulau Marsella berada di tenggara Pulau Babar. Titik terdekat ke Pulau Babar adalah di Letwurung, ibu kota Kecamatan Babar Timur.
Sarana transportasi yang bisa menghubungkan kedua titik itu hanyalah perahu motor. Untuk sekali jalan, sekitar dua jam perjalanan, diperlukan dana Rp 2,5 juta. "Saat cuaca buruk, pemilik perahu bisa menaikkan tarif sampai Rp 3,5 juta," tutur seorang guru di Letwurung.
Dari Letwurung menuju Tepa masih perlu perjalanan darat sekitar empat jam dengan truk, ojek motor, atau mobil ranger. Tarifnya paling murah Rp 300 ribu untuk sekali perjalanan. Bisa dihitung berapa banyak dana yang sudah dikeluarkan kepala sekolah di Marsella tersebut untuk menjemput guru SM-3T yang sedianya ditugaskan di sekolahnya. Perjalanan sulit dan mahal yang berujung kesia-siaan. (c10/ari)
Sekilas wajahnya mirip penyanyi Sammy Simorangkir. Suaranya juga merdu. Maklum saja, pemuda kelahiran Balikpapan itu adalah vokalis, front man, sekaligus pentolan band D"minor 7. Grup band asal Surabaya tersebut pernah memenangi talent scouting yang digagas gitaris Padi, Piyu.
Berkat prestasi itu, Noval Dwi Cahyono, pemuda tersebut, berkesempatan pentas tur ke beberapa kota. Salah satu single-nya masuk album kompilasi.
"Kami juga menggarap album indie atas arahan Mas Piyu," kata Noval lembut, jauh dari kesan anak band.
Prestasi itu pula yang membuat dia sering ditanggap tampil di kafe-kafe dan hotel-hotel. Dalam waktu singkat, Noval akrab dengan gemerlap panggung dan kehidupan malam. "Mau tidak mau kuliah pun terganggu," kata sarjana pendidikan sendratasik (seni drama, tari, dan musik) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu.
Tapi, kini dunia hiburan tersebut harus ditinggalkan. Minimal untuk sementara waktu. Sebab, sejak Oktober 2012 Noval mengabdikan diri menjadi guru di SMA Negeri I Tepa, Pulau Babar, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD). Pulau itu berhadapan langsung dengan Benua Australia. Pulau kecil tersebut hanya bisa didatangi dengan alat transportasi laut selama berhari-hari.
"Meski berada di pulau terpencil, saya merasakan kenikmatan batin saat mengajar," kata pemuda 24 tahun itu.
Kalau dulu saat malam tampil di kafe atau pub, kini Noval menghabiskan waktu malam untuk memberikan pelajaran tambahan kepada siswa-siswinya. Atau, dia mengajar anak-anak membaca Alquran di masjid satu-satunya di pulau itu.
"Saya merasakan kedamaian saat berbagi ilmu," kata Noval yang pernah masuk 50 besar Indonesia Idol Regional Surabaya tersebut.
Kehidupan pribadinya berubah total setelah Noval bergabung dalam program SM-3T (sarjana mendidik di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal). Program Kemendikbud tersebut dijalankan almamaternya, Unesa.
Meski bertekad mengabdikan diri sebagai pendidik di daerah terpencil, Noval sempat cultural shock. Itu terjadi ketika dia baru menginjakkan kaki di pulau berpenduduk 8.640 jiwa (berdasar sensus 2010) itu. Dia seperti lahir kembali. Semua yang dilihatnya sangat berbeda dan bertolak belakang dengan kehidupannya di Surabaya sebelumnya. "Perasaan saya bercampur antara kagum dan takut," kenangnya.
Satu jam pertama di pulau itu membuat semangatnya luruh. Noval sempat ragu untuk menjalani program menjadi guru selama setahun itu. Namun, kondisi pendidikan di tempatnya mengabdi membuatnya prihatin. Sebab, tak banyak guru yang mau ditugaskan di pulau tersebut. Kalau toh ada yang mau, mereka umumnya dipaksakan. Mereka hanya lulusan SMA dan dipaksa menjadi guru SD atau SMP.
Di sisi lain, warga setempat sangat berharap anak-anaknya dapat mengenyam pendidikan yang layak. Karena itu, saat mendengar ada kiriman guru dari Jawa, mereka dengan sukacita menyambutnya. "Apa pun, inilah dunia saya sekarang. Saya akan menikmatinya," tutur Noval.
Lain lagi kisah Nanda Okkyanti, sarjana PGSD (pendidikan guru sekolah dasar) Unesa yang ditugaskan menjadi guru di SD Kristen Mahaleta di Pulau Sermata, Kecamatan Mdona Hyera. Pada bulan-bulan tertentu, pulau itu terisolasi dari dunia luar karena tidak ada sarana transportasi sama sekali. Isolasi tersebut bisa berlangsung berbulan-bulan.
"Sejak bertugas di sini Oktober tahun lalu, inilah kali pertama saya bisa keluar dari Sermata," kata Nanda saat bertemu Jawa Pos pertengahan April lalu di Kampung Tepat, Pulau Babar.
Nanda mengaku tertarik mengikuti program SM-3T karena ingin "balas dendam". Dia ingin membuktikan kepada teman-temannya yang mengolok-olok bahwa dirinya tidak layak menjadi guru yang idealis. "Penampilanmu kayak gitu kok mau ikut program SM-3T. Gak idealis blas," tuturnya.
Olok-olok tersebut begitu membekas di hati dan memorinya. Karena itu, dia ingin membuktikan bahwa cemoohan tersebut salah besar. Selain itu, dia sudah lama memimpikan untuk bisa menjadi pendidik di SD terpencil. "Rasanya wow banget bisa menjadi guru di pedalaman seperti ini," tambahnya.
Nanda sangat bersyukur karena mimpinya terwujud. Dia bertugas di pulau terpencil dan terisolasi, namun memiliki kondisi alam yang begitu elok. "Allah mendengar khayalan saya," kata perempuan penggemar dunia fotografi tersebut.
Ketika mendengar adanya program tersebut kali pertama, Nanda sempat ragu. Pasalnya, saat itu dia masih belum menyelesaikan kuliah. Namun, berkat olok-olokan teman-temannya itulah, dia jadi terpacu untuk menyelesaikan kuliah agar bisa mengikuti program tersebut.
"Sampai saat ini saya masih seperti mimpi, menjadi guru bagi anak-anak di daerah terpencil. Anak-anak hitam manis berambut keriting seperti saya," papar Nanda yang memang berambut keriting dan berkulit agak gelap itu.
Meski warga menyambut dengan sukacita, ada pula yang kecewa. Yakni, warga di Pulau Marsella. Pulau itu termasuk menjadi salah satu daerah tujuan program di Kabupaten MBD. Pulau lainnya adalah Babar, Madona Hyera, Moa Lakor, dan Wetar. Program SM-3T Unesa menyiapkan 31 sarjana yang akan diterjunkan di pulau-pulau tersebut.
Namun, karena sulitnya koordinasi dengan Pemkab MBD, Unesa sebagai penyelenggara memutuskan hanya menempatkan para sarjana di Babar dan Mdona Hyera. Mereka yang semula ditempatkan di pulau lain dipindah ke dua lokasi tersebut. Termasuk, Noval dan Romlah, alumnus PGSD Unesa.
Semula Romlah ditempatkan di Pulau Marsella. Ketika kapal yang ditumpangi Romlah sandar di Tepa untuk menurunkan peserta yang bertugas di Babar, seorang bapak naik ke kapal. Lelaki berjaket lusuh dan bertopi tersebut ternyata kepala SD yang ditugasi menjemput guru-guru SM-3T yang bertugas di Pulau Marsella. "Saya ke sini untuk menjemput Ibu Guru Romlah," teriak lelaki itu seperti ditirukan Romlah.
Persoalannya, karena alasan koordinasi yang buntu dengan pihak Pemkab MBD, Romlah tak jadi ditempatkan di Pulau Marsella. Namun, informasi itu ternyata tak sampai di telinga warga Marsella.
Menghadapi bapak tersebut, Romlah hanya menangis seraya memohon maaf. Apalagi, ketika mendengar penuturan sang bapak bahwa dialah satu-satunya guru di sekolah yang terdiri atas enam kelas tersebut.
Tangis Romlah semakin menjadi-jadi ketika sang bapak menceritakan bahwa dirinya tidak datang sendiri. Beberapa warga desa dan siswa sekolah turut datang ke Tepa secara khusus untuk menyambut Ibu Guru Romlah.
Bersama rekan-rekannya, Romlah akhirnya memutuskan untuk turun dari kapal menemui warga. Dia berniat menyampaikan permohonan maaf karena tidak jadi ditugaskan di Marsella.
Penjelasan itu membuat Dermaga Tepa serasa diguyur hujan tangis. Tidak hanya tangis Romlah yang semakin menjadi, tapi juga tangis warga dan siswa yang kecewa karena keinginannya untuk mendapatkan guru tidak jadi terlaksana.
Romlah bisa memahami kekecewaan mereka. Datang menjemputnya ke Tepa yang berada di ujung barat Pulau Babar bukanlah perjalanan yang mudah dan murah. Pulau Marsella berada di tenggara Pulau Babar. Titik terdekat ke Pulau Babar adalah di Letwurung, ibu kota Kecamatan Babar Timur.
Sarana transportasi yang bisa menghubungkan kedua titik itu hanyalah perahu motor. Untuk sekali jalan, sekitar dua jam perjalanan, diperlukan dana Rp 2,5 juta. "Saat cuaca buruk, pemilik perahu bisa menaikkan tarif sampai Rp 3,5 juta," tutur seorang guru di Letwurung.
Dari Letwurung menuju Tepa masih perlu perjalanan darat sekitar empat jam dengan truk, ojek motor, atau mobil ranger. Tarifnya paling murah Rp 300 ribu untuk sekali perjalanan. Bisa dihitung berapa banyak dana yang sudah dikeluarkan kepala sekolah di Marsella tersebut untuk menjemput guru SM-3T yang sedianya ditugaskan di sekolahnya. Perjalanan sulit dan mahal yang berujung kesia-siaan. (c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ali Fauzi, Adik Amrozi yang Enggan Disebut Insaf Jadi Teroris
Redaktur : Tim Redaksi