Novia Widyasari & Bunuh Diri

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 06 Desember 2021 – 13:15 WIB
Ilustrasi. WHO mengungkap kasus bunuh diri di Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Novia Widyasari, seorang mahasiswi perguruan tinggi negeri di Malang, ditemukan meninggal dunia di atas makam ayahnya di Mojokerto, Jawa Timur pada Kamis (2/12).

Gadis berusia 23 tahun itu mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri meminum racun sianida. Penjaga makam menemukan perempuan itu kaku menelungkup seolah memeluk makam ayahnya.

BACA JUGA: Novia Widyasari Bunuh Diri, Begini Analisis Kondisi Psikologisnya

Sebelum kematiannya, Novia berkirim pesan kepada sahabatnya. Ia curhat mengenai perasaannya yang depresi akibat hubungan cintanya dengan seorang pria anggota polisi bernama Randy Bagus.

Novia Widyasari mengungkap bahwa selama beberapa tahun berhubungan dengan Randy ia telah diperkosa. Hamil. Dua kali.

BACA JUGA: Ada Pesan Menteri Bintang untuk Seluruh Perempuan Terkait Kematian Novia Widyasari

Selama dua kali kehamilan itu Randy memaksa Novia untuk menggugurkan kandungan. Novia merasa berdosa dan tertekan karena mendapat perlakuan yang negatif orang tua dan keluarga Randy. Ia menjadi mengalami depresi berat, sampai akhirnya memutuskan untuk bunuh diri.

Sebelum mengakhiri hidup, Novia meninggalkan ‘’suicide note’’, pesan bunuh diri, kepada ibunya. Dalam pesan yang kemudian yang viral di media sosial itu Novia menulis:
Mama
Ikhlasin aku ya ma
Aku uda capek, gak kuat
aku uda ketakutan sendiri tiap hari
Terimakasih untuk segala hal yang mama lakukan untuk aku
aku minta maaf juga
terimakasih mama
aku sayang mama.

BACA JUGA: Polda Jatim Ungkap Fakta Soal Hubungan Bripda Randy dan Novia Widyasari, Ternyata

Suicide note itu viral di media sosial. Tagar ‘’Save-Novia-Widyasari’’ menjadi trending topic. Netizen mengecam keras sikap Randy yang tidak bertanggung jawab dan menuntut polisi bertindak tegas. Polisi pun bertindak tangkas menangkap dan menahan Randy.

Kisah Novia yang mengenaskan menambah daftar panjang korban bunuh diri di Indonesia. Data dari organisasi kesehatan dunia WHO mengungkapkan kasus bunuh diri di Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun.

Pada 2005 tercatat ada 30.000 kasus, pada 2010 sebanyak 5.000 kasus, pada 2012 sejumlah 10.000 kasus, dan pada 2013 sebanyak 840 kasus.

Menulis suicide note sebelum bunuh diri banyak dilakukan oleh para pelaku bunuh diri. Di era digital seperti sekarang, para pelaku bunuh diri menggunakan media sosial untuk mengirimkan sauicide note-nya.

Bahkan, dalam beberapa kasus, pelaku bunuh diri merekam live aksi bunuh dirinya di akun media sosialnya sendiri.

Mengakhiri hidup dengan bunuh diri menjadi tren yang makin meningkat setiap tahun. WHO mencatat setiap tahunnya hampir 800.000 nyawa di dunia melayang akibat bunuh diri. Kebanyakan kasus bunuh diri yang tercatat secara global terjadi pada individu pada rentang usia 15—29 tahun.

Bunuh diri adalah fenomena global yang terjadi di seluruh wilayah di muka bumi. Bunuh diri menjadi penyebab 1,4% kasus kematian di seluruh dunia, atau menempati posisi ke-17 dalam daftar penyebab kematian terbanyak.

Korea Selatan merupakan salah satu negara maju yang ternyata memiliki angka bunuh diri sangat tinggi di dunia. Kebanyakan kasus bunuh diri yang terjadi di Korea Selatan dipengaruhi oleh faktor depresi. Korea menempati posisi kelima sebagai negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi.

Tingkat bunuh diri di Korea Selatan mencapai hampir 26 per 100 ribu populasi pada 2018, dan angka ini bertambah tiap tahun.

Guyana juga tercatat sebagai negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi. Negara berpenduduk 800 ribu jiwa ini memiliki indeks rata-rata bunuh diri sebesar 29 per 100 ribu populasi.

Jumlah ini menjadikan Guyana sebagai negara keempat dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia.

Jepang sangat terkenal dengan tingkat bunuh diri yang tinggi. Budaya Jepang bahkan menempatkan bunuh diri bukan sebagai aib, tetapi sebagai bagian dari kehormatan. Hal itu terlihat dari budaya harakiri yang sampai sekarang masih sering terjadi.

Jepang masuk dalam ranking nomor tiga dunia sebagai negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi. Pemerintah Jepang berupaya keras menekan angka bunuh diri dan membuahkan hasil yang lumayan.

Pada 2019 lalu indeks angka bunuh diri di Jepang turun menjadi 15,8 per 100 ribu populasi. Meski demikian, jika ditilik rata-rata dalam 20-30 tahun terakhir, Jepang yang berpenduduk 126 juta tetaplah merupakan salah satu negara dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia.

Negara berikut yang mempunyai tingkat bunuh diri tinggi adalah Rusia dengan angka 30 per 100 ribu dari populasi 146 juta jiwa. Penyebab utama adalah masalah depresi, masalah ekonomi, kesenjangan sosial, dan kriminalitas.

Rusia menempati posisi runner up dalam ranking tertinggi bunuh diri dunia.

Lithuania tercatat sebagai negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Negara berpenduduk 2,8 juta jiwa ini memiliki indeks sebesar 31,9 per 100 ribu populasi, jauh melebihi negara-negara lainnya di dunia. Lithunia juga tercatat sebagai negara dengan tingkat depresi paling tinggi di dunia.

Bunuh diri sudah menjadi kajian sosiologis sejak lama. Sosiolog Emile Durkheim pada 1897 menulis buku ‘’Suicide’’ yang sampai sekarang menjadi referensi utama untuk kajian bunuh diri. Durkheim melihat bunuh diri dipicu oleh penyebab psikologis, biologis, dan fisika kosmis yang terkadang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.

Durkheim membagi jenis bunuh diri menjadi tiga. Pertama, bunuh diri egostik yang dipicu oleh keterlepasan individu dari ikatan sosial. Individu yang tidak terintegrasi dengan lingkungan sosial cenderung berpikir suicidal.

Kedua, bunuh diri altruistik yang terjadi akibat terlalu kuatnya individu dalam kohesivitas sosial dengan kelompoknya. Biasanya, bunuh diri altruistik terjadi di dalam lingkungan komunitas yang masih primitif. Bunuh diri berjemaah ini biasanya dipicu oleh keyakinan atau kepercayaan religius.

Beberapa sekte agama di Amerika Serikat dan Eropa melakukan bunuh diri massal di era modern ini. Pada 1976 People’s Temple di Amerika membawa seribu orang jemaahnya beremigrasi ke Guyana untuk bunuh diri massal. Pada 1990 David Koresh dan 90 orang pengikut sektenya melakukan bunuh diri massal dengan membakar diri bersama di dalam kuilnya.

Jenis bunuh diri ketiga disebut sebagai anomik, yang dipicu oleh perubahan sistem dalam masyarakat, baik sistem ekonomi, sosial, dan budaya, sehingga menyebabkan terganggunya sistem kolektif. Ketidakpastian akibat perubahan sistem akan berdampak kepada psikologi individu.

Dalam konteks sosial budaya, fenomena bunuh diri bisa juga disebabkan oleh aspek budaya. Di Gunung Kidul ada kepercayaan pulung gantung, yaitu kepercayaan bahwa jika terjadi angin besar dan suara burung bersahut-sahutan itu pertanda ada yang bunuh diri.

Pandangan atau kepercayaan semacam itu lantas bisa menyugesti orang-orang yang sedang memiliki masalah. Saat melihat tanda-tanda seperti itu, mereka berpikir sudah waktunya dia dipanggil, sehingga kemudian dia melakukan bunuh diri.

Era digital sekarang ini memunculkan problem sosial baru yang tidak pernah dialami sebelumnya. Hal ini juga memicu munculnya motif bunuh diri yang berbeda. Di masyarakat tradisional bunuh diri pasti dilakukan secara tersembunyi.

Di era digital bunuh diri dilakukan dengan terbuka dan disiarkan live melalui akun medsos pelaku bunuh diri. Di era digital manusia mengalami anomali psikologis yang mudah menimbulkan depresi.

Di satu sisi manusia digital terkoneksi dengan siapa saja di seluruh dunia, tetapi di sisi lain manusia digital justru teraleniasi dari lingkungan keluarga terdekatnya.

Kemajuan teknologi digital memunculkan pola baru semacam ‘’digital suicide’’. Orang lebih mudah memilih jalan bunuh diri, karena semuanya bisa dilihat, dipelajari, dan didapatkan dari media digital.

Kematian Novia Widyasari yang tragis dan dramatis menjadi saksi lahirnya fenomena baru itu. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler