MANOKWARI - Juru bicara Perdana Menteri Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB), Jack Wanggai menyatakan, NRFB memberi apresiasi atas inisiatif Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono yang berencana menggelar dialog atau komunikasi konstruktif Jakarta–Papua guna menyelesaikan berbagai gejolak yang sedang terjadi di Tanah Papua.
NRFPB, kata Jack Wanggai menyambut baik niat pemerintah Indonesia itu. Namun, ia menegaskan rakyat Papua hanya bersedia mengikuti komunikasi konstruktif tersebut, jika dialog itu dilaksanakan dengan format perundingan negara dengan negara (G to G). Dialog tersebut secara otomatis akan batal, andaikata Jakarta tetap memaksakan format dialog sesuai konsep yang ditawarkan selama ini yakni dialog Jakarta – Papua dalam bingkai NKRI.
“Dialog atau komunikasi konstruktif itu bentuknya harus perundingan negara dengan negara, yakni antara Negara Republik Federal Papua Barat dengan Republik Indonesia, bukan lagi antara wakil dari pemerintah Indonesia dengan representasi dari suku atau kelompok perlawanan, tetapi negara, “tandas Jack.
Pernyataan ini disampaikan Jack dalam konferensi pers kepada wartawan terkait sikap NRFPB menanggapi rencana digelarnya dialog Jakarta-Papua, di rumahnya yang juga sekaligus sebagai sekretariat NRFPB, Jalan Pembebasan, Sanggeng Manokwari, Senin (9/1).
Menurut pria yang sempat mendekam di tahanan dengan tuduhan makar ini, Jakarta harus memandang Papua sebagai sebuah bangsa merdeka. Kemerdekaan bangsa Papua telah dideklarasikan pada 19 Oktober 2011 di Port Numbai (Jayapura), pada hari terakhir Kongres Rakyat Papua III.
Dia mengklaim terbentuknya Negara Republik Federal Papua Barat dengan presiden Forkorus Yaboisembut dan Perdana Mentri Ev. Edison Waromi, SH adalah sah dan telah diakui oleh dunia internasional, terutama dari kongres Amerika Serikat.
Sejatinya, lanjut Jack, kemerdekaan bangsa Papua telah diproklamirkan pada 1 Desember 1961. Namun ketika itu, para inisiator yang menggagas kemerdekaan Papua, tidak langsung mendeklarasikan lahirnya Negara Republik Federal Papua Barat.
Untuk itulah maka pada Kongres Rakyat Papua III, 17-19 Oktober 2011 lalu, dilakukan deklarasi pembentukan NRFPB. Deklarasi tersebut, menurutnya adalah langkah politik lanjutan untuk memulihkan atau mengukuhkan secara de facto lahirnya NRFPB.
“50 tahun (Papua bergabung dengan Indonesia) itu sudah cukup. Indonesia harus mengakui kalau dalam kurun waktu itu, dia gagal meng-Indonesiakan Papua. Kami memandang perundingan ini sebagai babak baru dalam memperjuangkan pengakuan terhadap NRFPB, “ ujar Jack.
Dia kembali menegaskan bahwa kebutuhan orang Papua saat ini adalah merdeka. Selain karena secara histroris, Papua memang berbeda dengan Indonesia (Nusantara), keinginan untuk membentuk negara sendiri juga lahir karena perlakuan pemerintah Indonesia yang tidak berpihak kepada rakyat Papua.
Pepera yang kemudian menjadi landasan hukum masuknya Papua menjadi bagian dari NKRI, menurutnya tak lebih dari rekayasa politik yang dimainkan oleh pemerintah Indonesia ketika itu bersama sejumlah negara lainnya.
“Status politik Papua sesungguhnya belum final, karena ada kesalahan fatal sebelum dan sesudah Pepera. Tandatangan agrement (Perjanjian masuknya Papua menjadi bagian Indonesia) tidak libatkan orang Papua sebagai masyarakat yang punya hak ulayat, “ sebutnya.
Jack juga secara gamblang menyatakan kebijakan pemberian Otonomi Khusus bagi Papua yang sudah berjalan 1 dekade, nyatanya tidak memberi dampak signifikan bagi kesejahteraan orang Papua.
Belum lagi, pendekatan militer yang selalu dikedepankan Jakarta dalam penyelesaian konflik ataupun gejolak yang terjadi di masyarakat, langkah itu dia nilai sebagai upaya pembungkaman terhadap suara orang Papua. (sr)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Demo Tuntut Wali Kota Mundur Ricuh, Satu Polisi Terluka
Redaktur : Tim Redaksi