jpnn.com, BANJAR - Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2019 di Kota Banjar, Jawa Barat sejak Rabu (27/2) hingga Jumat (1/3) ini menghasilkan sejumlah keputusan penting.
Di antaranya haramnya bisnis multilevel marketing (MLM), politisasi agama serta keputusan lain seperti penegasan status kewarganegaraan, hukum ketaatan pada aturan negara, penerimaan konsep negara-bangsa, serta penegasan dan penyeragaman persepsi tentang Islam Nusantara.
BACA JUGA: Kiai Maruf Bakar Semangat Pelaku Usaha di NU Expo
Dalam pandangan NU, bisnis MLM yang berskema piramida atau Ponzi adalah haram karena mengandung potensi penipuan (gharar) yang bisa merugikan konsumen maupun pelaku bisnis terutama level terbawah. Baik yang dilakukan secara digital atau tatap muka.
Komisi Bahtsul Masail Diniyah Waqi'iyah melakukan pembahasan dengan fokus pada kasus-kasus aktual di masyarakat."Hukum bisnis money game model MLM, baik menggunakan skema piramida, matahari, ataupun ponzi adalah haram," kata pimpinan sidang Asnawi Ridwan.
BACA JUGA: Jokowi Ingatkan Keluarga Besar NU soal Tantangan di Era Revolusi 4.0
Dalam skema matahari, Asnawi mencontohkan agen travel tertentu mewajibkan seseorang bayar Rp. 3 juta bisa pergi umrah dengan syarat orang tersebut mendapatkan 10 jamaah. "Kalau dia tidak bisa mendapatkan 10 jamaah, maka uangnya terpendam di perusahaan," kata Asnawi.
Begitupun dengan bisnis model ponzi atau gali lubang tutup lubang. Asnawi menyebut bisnis model ini adalah bisnis yang menjual barang, namun barangnya tidak ada. "Skema ponzi seperti bitcoin. Beli password, namun barangnya tidak ada. Beli barang, namun barangnya tidak ada," paparnya.
BACA JUGA: Jokowi Apresiasi Kontribusi Besar NU Merawat Keutuhan NKRI
Sementara itu, Komisi Bahtsul Masa'il Maudlu'iyyah (tematik) menghasilkan beberapa keputusan di antaranya adalah warga negara nonmuslim yang hidup di Indonesia ditegaskan bukan sebagai golongan kafir harbi (nonmuslim yang wajib diperangi).
Selain itu, dibahas juga produk-produk hukum perundangan yang dihasilkan dengan proses politik modern tanpa melalui rumus-rumus syariat. Salah satu tim perumus sidang KH Afifuddin Muhajir mengungkapkan bahwa jika negara memerintahkan sesuatu yang diwajibkan oleh syariat, maka sesuatu itu bertambah wajib.
Jika negara memerintahkan sesuatu yang disunnahkan syariat (mubah), maka hukumnya naik jadi wajib. Jika negara memerintahkan sesuatu yang boleh (mubah) menurut syariat, maka ditinjau kemaslahatannya "Kalau mengandung maslahat, wajib ditaati. Jika tidak, maka tidak wajib ditaati. Jika negara memerintahkan sesuatu yang dilarang syariat, maka wajib ditolak dan diluruskan lewat kanal-kanal yang tersedia di konstitusi," papar wakil pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo ini.
Salah satu tema menarik yang dijadwalkan adalah hukum politisasi agama. Namun sayang, masalah ini tidak dibahas karena keterbatasan waktu. Namun, Afifuddin menegaskan bahwa politisasi agama adalah haram. "Tettpi jika mengawal politik dengan tuntunan agama, maka itu wajib," jelasnya.
Selain itu Munas juga menghasilkan definisi standar tentang Islam Nusantara. Ketum PBNU KH. Said Aqil Siroj mengungkapkan bahwa pertama-tama pengurus wilayah dan pengurus cabang harus paham pengertian standar Islam Nusantara yang disepakati, baru mengatur strategi memahamkan masyarakat di wilayahnya. (tau)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi: NU Berkontribusi Besar Merawat NKRI
Redaktur : Tim Redaksi