"Dengan segala hormat, untuk keputusan grasi itu saya menyatakan tidak sependapat," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj di Jakarta, Jumat (12/10).
Kiai Said beralasan pemberian grasi itu dikhawatirkan melemahkan semangat pengenaan efek jera sebagai tujuan akhir keputusan hukum terhadap terpidana kasus peredaran narkoba.
"Tirulah China dan Singapura. Tidak peduli warga negaranya sendiri, jika terjerat peredaran narkoba hukumannya pasti berat. Mereka jelas non muslim dan bisa, kita kok tidak," tegas Kiai Said.
Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PBNU Andi Najmi Fuaidi, juga menyesalkan pemberian grasi tersebut. Andi menilai keputusan itu sebagai tindakan penggunaan hak konstitusional yang keliru oleh Presiden.
Dia beralasan bahwa peredaran narkoba masuk dalam 20 jenis kejahatan serius yang mengancam setiap bangsa sebagaimana teroris, korupsi, dan pembunuhan massal atau genocida.
"Pemberian grasi adalah hak konstitusional Presiden. Namun demikian pemberian grasi atas terpidana kasus peredaran narkoba teramat sangat mengusik rasa keadilan masyarakat," tegas Andi.
Lebih lanjut Andi mengkhawatirkan langkah Presiden tersebut dapat menimbulkan kegalauan kepada kelompok masyarakat yang tengah berjihad memberantas narkoba.
Diketahui Presiden SBY mengabulkan pengajuan grasi oleh dua gembong narkoba, yakni Deni Setia Maharwan alias Rapi Mohammed Majid, dan Merika Pranola alias Ola alias Tania.
Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha, mengatakan pemberian grasi tersebut dilakukan SBY atas dasar perhatiannya kepada warga negara Indonesia yang dijatuhi vonis hukuman mati dalam kasus pidana. (fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Saatnya Punya Pemondokan Haji Sendiri di Mekah
Redaktur : Tim Redaksi